Abstract
This study aims to reveal the pattern of relations between Muhammadiyah and the Indonesian Muslim Party (Parmusi). In this study, the author used the historical research method, following four steps. First, heuristics or collection of primary and secondary sources centered at the Muhammadiyah Central Library of Yogyakarta, the National Library of Jakarta, and the National Archives Office of the Republic of Indonesia (ANRI) Jakarta. Second, source criticism which includes external criticism to test the authenticity and internal criticism to determine the credibility of the source. Third, the interpretation or interpretation of historical facts resulting from the second step by conducting analysis and synthesis. Fourth, historiography or writing of historical work. The results showed that in the process of founding Parmusi in 1968, Muhammadiyah had played an important role as a midwife born in Parmusi. In the development of Parmusi until this party merged in the United Development Party (PPP) in 1973, Muhammadiyah's relations with Parmusi showed a more ideological rather than organizational relationship pattern.
Pendahuluan
Muhammadiyah merupakan gerakan pembaruan Islam modern yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868 – 1923) pada 18 November 1912 di kampung Kauman Yogyakarta. Sejak berdirinya, Muhammadiyah lebih mengutamakan kiprah kegiatannya di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Muhammadiyah tidak berkiprah dalam bidang politik, dan atau tidak menjadikan dirinya sebagai partai politik.1
Garapan usaha Muhammadiyah di bidang keagamaan terutama diarahkan untuk pemurnian dalam kehidupan Islami, pelurusan dalam ibadah mahdhoh, dan pembaruan dalam metode beramal duniawiyah. Sementara garapan usaha Muhammadiyah di bidang sosial dan pendidikan lebih ditujukan untuk peningkatan kualitas kehidupan umat, perbaikan kesejahteraan masyarakat, menolong kesengsaraan umat, dan membentuk peradaban yang berdimensi rahmatan lil alamin.1
Meskipun Muhammadiyah, secara organisasi lebih mengutamakan kiprah kegiatannya di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan, namun para pemimpin Muhammadiyah banyak yang aktif dan terlibat dalam bidang politik. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan yang pernah tercatat sebagai anggota Budi Utomo (1909), Jami’at al Khair (1910), dan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1911).1 K.H Fachruddin ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena penghargaan atas kontribusi perjuangannya dalam kegiatan politik dengan menentang guru ordonansi tahun 1925.[ii] Selanjutnya, K.H. Mas Mansur, Ketua PP Muhammadiyah periode 1937 – 1942, lebih dikenal karena keterlibatannya dalam politik praktis sebagai pelopor yang aktif mendirikan Majelisul islam A’la Indonesia(MIAI) pada 1937 dan Partai Islam Indonesia (PII) pada 1938. K.H. Mas Mansur juga terlibat aktif dalam dua organisasi politik, yakni Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang berdiri pada 1939 dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI) yang berdiri pada 1941.2
Pasca Indonesia merdeka, Muhammadiyah juga ikut terlibat secara aktif dalam membidani kelahiran partai Islam Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesua). Masyumi merupakan partai islam yang sejak kelahirannya dianggap sebagai satu-satunya wadah saluran aspirasi politik umat Islam. Di dalam Masyumi, selain banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif dalam kepengurusan Masyumi, secara organisasi Muhammadiyah berpern sebagai anggota istimewa Masyumi, dan secara ideologi, Muhammadiyah dan Masyumi dapat dikatakan seiring dan sejalan.1
Setelah Masyumi bubar pada 1960 dan ketika ada upaya untuk menghidupkan kembali Masyumi pada awal Orde Baru, Muhammadiyah ikut terlibat secara aktif dalam proses pendirian dan kelahiran Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Kajian penelitian yang berusaha mengungkap relasi Muhammadiyah dan Parmusi penting untuk dilakukan karena masih sangat jarang yang meneliti. Jika kiprah Masyumi sudah banyak diteliti, anatara lain oleh Syaifullah mengenai Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi 2 penulis ini juga telah melakukan penelitian mengenai Muhammadiyah dan Masyumi di Yogyakarta, 1945 – 1960 (dalam Jurnal Patrawidya, Vol. 16, No. 3, September 2015).[ii] Mengenai Parmusi, sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan. Di antaranya, terutama penelitian Syariduddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966 – 2006 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 3
Metode Penelitian
Penelitian sejarah memiliki metode penelitian tersendiri yang berbeda dengan penelitian untuk ilmu sosial humaniora lainnya, seperti Sosiologi, Ilmu Politik, Antropologi, Filsafat dan Sastra. Metode untuk melakukan penelitian sejarah disebut metode penelitian sejarah atau metode sejarah. Mengutip Gottschalk (1985: 32), metode sejarah dapat diartikan sebagai proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu, yang identik dengan sumber sejarah. Dalam menempuh metode sejarah, terdapat empat langkah pokok yang harus ditempuh, yaitu: (1) heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berisi data-data sejarah, (2) kritik atau seleksi atas sumber-sumber sejarah, (3) interpretasi atau penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah sebagai hasil dari langkah kritik, dan (4) historiografi atau penulisan karya sejarah.1
Langkah heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah dalam penelitian ini dilakukan dengan melacak sumber-sumber tertulis (arsip atau bahan-bahan dokumenter). Pelacakan terhadap sumber-sumber tertulis difokuskan pada bahan-bahan dokumenter yang dikeluarkan oleh lembaga atau organisasi yang diselidiki, yakni Pimpinan Pusat (PP ) Muhammadiyah di Yogyakarta. Mengenai sumber-sumber Sejarah yang berasal dari tangan pertama atau sumber primer, biasanya disebut dengan nama arsip atau bahan-bahan documenter. Menurut Sartono Kartodirdjo, bahan-bahan dokumenter yang tersedia dalam sejarah Indonesia dapat dibagi dalam lima jenis, yaitu: (1) otobiografi, (2) surat-surat pribadi, catatan atau buku harian dan memoirs, (3) surat-surat kabar, (4) dokumen-dokumen pemerintah, lembaga atau organisasi, dan (5) cerita roman.2
Langkah kedua, kritik, ditempuh setelah sumber-sumber data dapat dikumpulkan cukup memadai. Langkah kritik sumber dilakukan untuk memilih dan memilah sumber-sumber data sejarah yang penting dan relevan dengan penelitian ini. Ada dua kategori kritik sumber yang perlu dilakukan dalam penelitin ini, yakni kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji keaslian (otentisitas) sumber, sebaliknya kritik intern diadakan untuk menguji tingkat kepercayaan (kredibilitas) sumber.
Setelah menempuh kritik, peneliti melakukan langkah ketiga, yakni interpretasi dengan cara analisis dan sintesis. Analisis ditempuh dengan cara menjabarkan sebuah pokok bahasan ke dalam bagian-bagian subpokok bahasan, sedangkan sintesis dilakukan dengan cara menyatukan bagian-bagian subpokok bahasan ke dalam satuan bahasan yang bulat.
Sebagai langkah terakhir, peneliti melakukan historiografi, upaya semacam rekonstruksi tertulis mengenai model perkembangan Muhammadiyah dan atau Aisyiyah yang dianalisis dengan perspektif sejarah, terutama aspek kronologi dan kausalitas. Mengacu pada pendapat Kuntowijoyo, historiografi yang ditempuh peneliti mengikuti tiga bagian, yakni pengantar, hasil penelitian, dan simpulan.[iii]
Hasil dan Pembahasan
Kelahiran dan Perkembangan Parmusi
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan pada 20 Februari 1968, dan disahkan oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soeharto No. 70 tahun 1968. Pimpinan Pusat pertama partai ini adalah Djarnawi Hadikusuma sebagai Ketua dan Lukman Harun sebagai Sekretaris. Keduanya berasal dari dan merupakan kader Muhammadiyah.4
Organisasi masyarakat (ormas) Islam yang bertindak sebagai pendukung Parmusi dan telah mendorong kelahiran partai ini ada sebanyak 16 buah ormas. Semuanya memberikan persetujuan resmi dengan tanda tangan pengurus dan distempel. Ormas yang terbesar adalah Muhammadiyah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa tulang punggung utama dan bidan kelahiran Parmusi adalah Muhammadiyah.5
Dengan kehadiran Parmusi, otomatis partai Islam ini tampial menjadi wadah partai Islam yang menampung dan menyalurkan aspirasi dari kekuatan nyata dalam masyarakat Islam yang belum tersalurkan melalui partai Islam yang lain (PSII, NU dan Perti). Masyarakat Islam yang belum tersalurkan aspirasi politiknya adalah kaum muslim modernis yang pada umumnya tinggal di wilayah perkotaan. Mereka sebagian besar adalah warga Muhammadiyah yang dalam periode 1945 – 1960 dikenal sebagai pendukung utama dan tulang punggung partai politik Islam Masyumi. Dengan demikian, sejak awal dalam proses pembentukan Parmusi, partai ini diharapkan akan menjadi “pewaris sah” Masyumi. Harapan ini disampaikan oleh Tim 7 yang menginginkan rehabilitasi partai politik Islam Masyumi. Yang dimaksud Tim 7 adalah 7 tokoh eks Masyumi, yaitu: Syafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmita, Assat, Moh. Roem, Kasman singedimeja, Hamka, dan Muhammad Natsir. 6
Ternyata, dalam perkembangannya, Parmusi ini sejalan dengan perjuangan Orde Baru yang akan melaksanakan pembangunan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta untuk mewujudkan tujuan kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni masyarakat yang adil dan makmur yang diridloi Allah SwT. Pemerintah Orde Baru tidak perlu khawatir dan menyangsikan Parmusi karena organisasi masyarakat (ormas) pendukung partai ini telah berjuang sekuat tenaga bahu-membahu dengan pemerintah dalam upaya menumpas gerakan G30S 1965 yang diduga kuat didalangi oleh PKI. Hal ini dinyatakan langsung oleh Ketua Umum Parmusi, Djarnawi Hadikusumo, dalam sambutannya pada saat kelahiran partai baru Parmusi tanggal 23 Februari 1968.4
Dukungan kuat dari ormas-ormas Islam atau kelompok-kelompok yang beraspirasi politik Islam kepada pemerintah Orde Baru, menurut Nurcholis Majdid, menimbulkan konsekuensi logis bahwa pemerinah Orde Baru dalam banyak segi lebih baik bagi kaum muslim dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Lama. Yakni, masa pemerintahan Presiden Soekarno baik periode Demokrasi Parlmenter maupun Demokrasi Terpimpin.[v] (Tamara, 1988: 38).
Adapun susunan pengurus periode pertama Pimpinan Pusat Parmusi berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 70 tanggal 20 Februari 1968,1 sebagai berikut:
Ketua Umum : Djarnawi Hadikusuma (Muhammadijah)
Ketua Umum : Djarnawi Hadikusuma (Muhammadijah)
Ketua : Agus Sudono (GASBIINDO)
Ketua : M. Sanusi (Muhammadijah)
Ketua : J. Naro (Al Waslijah)
Ketua : Daud Badarudin (KBIM)
Ketua : Nj. Hadijah Razak (Wanita Islam)
Ketua : Omar Tusin (SNII)
Sekretaris Djendral : Lukman Harun (Muhammadijah)
Sekretaris : Amura (HSBI)
Sekretaris : Imran Kadir (Al Ittihadijah)
Sekretaris : Anwar Bey (PUI)
Sekretaris : Siregar Pahu (Al Waslijah)
Sekretaris : Said Sungkar (Matlaul Anwar)
Sekretaris : M. Sjariki (Nahdlatul Wathan)
Sekretaris : Rafilus Ishak (PORBISI)
Sekretaris : Darusasamin (PGAI RI)
Anggota-anggota : Affandi Ridwan (PUI
Aisjah Aminy (HSBI)
Abdulkarim (PITI)
M. Said (Nahdlatul Wathan)
Faisal Basir (Al Irsjad)
O.K. Azis (Al Waslijah)
Gozal (Al Ittihadijah)
Nj. Latjuba (Wanita Islam)
Uwes Abubakar (Matalul Anwar)
Djazman (Muhammadijah)
Ibrahim Usman (GASBIINDO)
Maizir Achmadyas (KBIM)
Ismail H. Mataroum (Alumni HMI)
Nj. Rohana ZA (Muhammadijah)
Daris Tamin (Muhammadijah)
Hasbullah (Alumni HMI)
Ichsanuddin (Masbi)
Ir. M. Alala (Alumni HMI)
Djarnawi Hadikusuma merupakan tokoh Parmusi sekaligus tokoh Muhammadiyah yang paling berpengaruh sepanjang tahun 1970-an, bahkan meski ia tidak lagi menjabat sebagai Ketua Parmusi. Tokoh ini dilahirkan pada 4 Juli 1920 di kampung Kauman. Ia adalah anak dari Ki Bagus Hadikusuma, Ketua PP Muhammadiyah periode 1942 – 1953. Pendidikannya ditempuh di Standaarschool (Sekolah Rakyat/Dasar 6 tahun) Muhammadiyah, kemudian di Kweekschool Muhammadiyah yang pada 1935 berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Djarnawi sempat melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UII meski tidak diselesaikan.[i]
Dalam pengamatan James L. Peacock, sosok Djarnawi sebagai tokoh Parmusi dan tokoh Muhammadiyah (sebagai Sekretaris PP Muhammadiyah periode 1975 – 1980), lebih menonjol sebagai sosok seorang guru yang pada saat berceramah suaranya keras namun pandai humor. Ia juga telah menulis setidaknya lima judul buku. Djarnawi menggambarkan hubungan Muhammadiyah dan Parmusi bersifat tidak langsung bagaikan “seorang ayah yang membuahkan anak, dan pada pemilu berikut anak itu memerlukan dukungan ayah berupa satu juta suara pemilih”,7
Lebih jauh, Peacock menyebutkan bahwa Djarnawi selepas tamat Kweekschool bertugas sebagai guru di luar Jawa hingga 1940. Pada masa Revolusi Fisik (1945 – 1949), Djarnawi masuk dalam dinas ketentaraan hingga berpangkat letnan dan ikut berjuang dalam mengusir Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, serta pernah terluka. Pada 1949 – 1970, Djarnawi aktif kembali sebagai guru, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.8
Pengangkatan M.S. Mintaredja sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Soeharto pada bulan Juni 1968, menurut M.S. Mintaredja, merupakan bukti bahwa Soeharto menghargai Muhammadiyah dan Parmusi karena pertimbangan beliau diangkat sebagai menteri berasal dari dan mewakili unsur keduanya. M.S Mintaredja diangkat menjadi menteri setelah diundang ke istana dan diminta kesediaannya oleh Presiden Soeharto. M.S. Mintaredja segera menemui Djarnawi Hadikusuma (Ketua Parmusi) dan Marzuki Jatim (Ketua Majelis Hikmah PP Muhammadiyah) untuk meminta pertimbangan, serta berikutnya menemui Faqih Usman, Ketua PP Muhammadiyah, untuk meminta restu dan dukungan.[i]
Pada 15 – 18 April 1970, Parmusi mengadakan Sidang Dewan Partai di Jakarta yang dihadiri oleh anggota dewan partai dari wilayah tingkat I partai se-Indonesia, selain dari pengurus pusatnya. Bahkan beberapa tokoh penting eks-Masyumi juga hadir dan ikut memberikan sambutan, di antaranya: Muhammad Natsir, Mohammad Roem, dan Prawoto Mangkusasmito. Ketua Umum Parmusi, Djarnawi Hadikusuma menegaskan sikap Parmusi yang mendukung pemerintah Orde Baru. Beliau mengajak seluruh keluarga besar Bulan Bintang untuk menjaga kekompakan perjuangan umat Islam dalam turut berpartisipasi menyukseskan pembangunan lima tahun (PELITA) dan dalam upaya mencapai kemenangan umat Islam pada emilu yang akan datang ialah Pemilu 1971.8
Muhammad Natsir dalam pidato sambutan menyatakan harapannya agar Parmusi dapat menarik hati orang-orang di luar agar memilih Parmusi. Beliau komitmen untuk menggunakan sisa umurnya guna membantu keluarga besar Bulan Bintang baik yang berada di dalam Parmusi maupun di luar. Sementara Moh. Roem lebih banyak berceritera mengenai usahanya yang tidak berhasil dalam mendekati pemerintah agar setuju dirinya menjadi Ketua Umum Parmusi sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Parmusi di Malang pada bulan November 1968. Sebaliknya, Prawoto Mangkusasmito lebih memberikan petunjuk praktis agar Parmusi dapat memenangkan Pemilu 1971 yang akan datang dengan cara bercermin pada keberhasilan pemilu sebelumnya, Pemilu 1955.9
Dalam perkembangan berikutnya, tepatnya pada 5 Pktober 1970, terjadi pembajakan (kudeta) terhadap pimpinan Parmusi (Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun) yang dilakukan oleh J. Naro dan Ali Imron Kadir. Kedua orang itu mengumumkan kepengurusan tandingan Parmusi. J. Naro mengangkat dirinya sebagai Ketua Parmusi dan Ali Imron Kadir sebagai Sekretaris Parmusi. Tokoh-tokoh Parmusi lainnya yang ikut dalam gerbong Parmusi-nya J. Naro dan Ali Imron Kadir adalah Gazal Datuk Raja Api, Anwar Bey, Darusamin, Amura, Said Sungkar Ihsanuddin Ilyas, dan Syarif Usman.10
Latar belakang timbulnya kudeta atas kepemimpinan Parmusi yang dilakukan oleh J. Naro dan Ali Imron Kadir, menurut kedua orang itu karena Parmusi di bawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma – Lukman Harun telah melakukan penyimpangan strategi partai yang membuat Parmusi menjadi kekuatan oposisi yang menentang pemerintah Orde Baru. Selain itu, kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma – Lukman Harun dianggap telah menimbulkan kegoncangan dan gejala perpecahan.10
Tindakan J. Naro dan Ali Imron Kadir merupakan kudeta yang pertama kali dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Di samping itu, tindakan kedua orang tersebut bersifat inkonstitusional dan menyalahi anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Parmusi. Bahkan, tindakan Naro – Imron Kadir yang membajak kepemimpinan Parmusi Djarnawi – Lukman Harun menimbulkan reaksi penolakan dari para pengurus cabang Parmusi di berbagai daerah dan ormas-ormas pendukung Parmusi, tidak terkecuali Muhammadiyah sebagai pendukung Parmusi.11
Pada akhirnya, konflik internal Parmusi dapat diatasi dengan intervensi pemerintah. Yakni, keluarnya SK Presiden Nomor 77/Tahun 1970 yang menunjuk M. S Mintaredja, S.H. untuk memimpin sebagai formatur dan Ketua Umum Parmusi. Pada 20 November 1970, M.S. Mintaredja berhasil menyusun kepengurusan baru di mana beliau menjadi Ketua Umum Parmusi, dan Sekretaris Jenderal dijabat oleh Sulastomo.[i]
Dalam perkembangan berikutnya, pada 17 Maret 1971, Pimpinan Pusat Parmusi mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh M.S. Mintaredja sebagai Ketua dan Sulastomo selaku Sekretaris. Beberapa poin penting dari pernyataan PP Parmusi tersebut adalah bahwa Parmusi tidak akan mendirikan negara baru, tidak akan mengubah UUD 1945 dan Pancasila. Parmusi mendukung Dwi-Fungsi ABRI yang ikut berperan dalam kehidupan sosial-politik bangsa, ikut mendukung dan mensukseskan pembangunan lima tahun (PELITA), serta mendukung penetapan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI dalam sidang MPR yang akan datang.[ii]
Dalam Pemilu 1971, perolehan kursi Parmusi dalam parlemen hanya mendapatkan 24 kursi (7 %) dari 360 kursi anggota DPR yang dipilih oleh rakyat. Sebagai partai yang dipandang menjadi penerus partai Islam Masyumi dan pada Pemilu 1955 Masyumi menempati ranking kedua setelah PNI, perolehan Parmusi sangat tidak signifikan. Hasil Pemilu 1971 menunjukkan perolehan kursi DPR secara berurutan adalah sebagai berikut. Ranking pertama ditempati Golongan Karya (Golkar) yang mendapatkan 68 % kursi DPR, diikuti PNI 22 % kursi, NU dengan 16 %, dan Parmusi urutan keempat dengan 7 % kursi DPR.12
Biro Humas Lembaga Pemilihan Umum menyebutkan bahwa daftar calon tetap anggota DPR, DPRD I dan DPRD II, dari Parmusi berjumlah 468 orang. Jumlah sebanyak itu membuat daftar calon tetap dari Parmusi menempati posisi ketiga terbanyak setelah PNI dengan 677 orang, dan Golkat sebanyak 549 orang. Bahkan, daftar calon tetap dari Parmusi lebih banyak dari NU yang berjumlah 421 orang.13
Eksistensi Parmusi berakhir dalam tahun 1973 dengan kebijakan fusi partai yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru. Proses kelahiran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berawal dari anjuran Presiden Soeharto yang disampiakan pada 7 Februari 1970 mengenai penyederhanaan partai politik. Kesepakatan yang berhasil diambil oleh para elite partai politik sebelum terjadinya fusi tahun 1973 adalah pengelompokan 3 kategori kelompok partai, yakni: (1) kelpmpok Partai Persatuan Pembangunan (PPP), (2) Kelompok Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan (3) kelompok Golongan Karya.14
Pada 1973, PPP terbentuk sebagai hasil fusi dari empat (4) partai politik Islam, yaitu: PSII, NU, Parmusi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia). Sementara itu, ada lima (5) partai dari kalangan Nasionalis dan Nasrani yang bergabung dan melebur diri dalam PDI, yakni: PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katholik. Sedangkan kelompok Golongan Karya (Golkar) dimanifestasikan oleh ormaspol Golkar yang memenangkan Pemilu 1971 sebagai partai pemerintah Orde Baru..
Pola Relasi Muhammadiyah dan Parmusi
Ketika Parmusi didirikan pada 1968, Muhammadiyah terlihat menyambut dengan sangat baik kelahiran Parmusi. Dalam Press-release Muhammadiyah menyatakan bersyukur atas berdirinya Parmusi yang pembentukannya diparakarsai oleh Muhammadiyah bersama ormas-ormas lainnya pada tanggal 20 Februrai 2019 yang telah disahkan oleh Presiden Soeharto.[i] Dengan bukti press-release tersebut, jelas bahwa kedudukan Muhammadiyah adalah sebagai bidan yang melahirkan Parmusi. Parati Islam ini dipandang sebagai penerus Masyumi yang telah bubar dalam tahun 1960.
Bedanya, Parmusi tidak memiliki keanggotaan istimewa sebagaimana halnya Masyumi. Sehubungan dengan itu, relasi atau hubungan Muhammadiyah dan Parmusi tidak bersifat organisatoris, tetapi hanya bersifat ideologis. Dikatakan bersifat ideologis karena baik Parmusi maupun Masyumi sama-sama memperjuangkan Islam di panggung politik nasional. Persamaan Parmusi dengan Muhammadiyah adalah sama-sama menjadi wadah perjuangan kaum muslim modernis. Hanya saja, jika Parmusi berjuang di panggung politik nasional, maka Muhammadiyah berjuang di level sosial kemasyarakatan.
Pasca lahirnya Parmusi, Muhammadiyah merasa ikut memiliki tanggung jawab untuk membina dan menjaga hubungan baik dengan Parmusi karena posisi Muhammadiyah sebagai bidan kelahiran Parmusi. Dalam Mukamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta pada 21 – 26 September 1968, Muhammadiyah mengeluarkan amanat dan sekaligus komitmen untuk menjaga hubungan timbal balik yang erat antara Muhammadiyah dengan Parmusi. Muhammadiyah juga ikut mengarahkan anggotanya yang aktif dalam Parmusi agar menjalin hubungan yang akrab dengan Parmusi, sehingga partai ini dapat menyalurkan aspirasi politik dan kepentingan Muhammadiyah.[ii] Akan tetapi, sekalipun Muhammadiyah merasa ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan Parmusi, Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan Parmusi. Muhammadiyah bukan underbouw-nya Parmusi, apalagi menjadi onderdil atau malahan kaki tangan Parmusi.15
Menurut Syarifuddin Jurdi, terdapat tiga pola hubungan antara Muhammadiyah dengan Parmusi, yakni: (1) hubungan saling membutuhkan, (2) ketegangan hubungan, dan (3) berakhirnya hubungan. Dalam pola hubungan saling membutuhkan (1968 – 1969), Muhammadiyah memerlukan Parmusi sebagai wadah saluran politik formal yang vacum sepeninggal bubarnya Masyumi sebagai alat dakwah Muhammadiyah dalam bidang politik. Dalam hal ini, Parmusi dapat dianggap sebagai proyek atau amal usaha politik Muhammadiyah. Sebaliknya, Parmusi memerlukan Muhammadiyah untuk dijadikan sebagai tulang punggung dan basis utamanya.[i]
Ketegangan hubungan antara Muhammadiyah dengan Parmusi (1970 – 1971) terjadi setelah ada peristiwa pembajakan kepengurusan Parmusi pimpinan Djarnawi Hadikusuma – Lukman Harun oleh J. Naro – Imran Kadir. Hubungan Muhammadiyah dan Parmusi berakhir (1971 – 1972), terutama setelah munculnya keputusan Muktamar Muhammadiyah 1971 di Ujung Pandang.[ii]
Analisis Syarifuddin Jurdi mengenai tiga pola relasi Muhammadiyah – Parmusi itu sudah sangat jelas, namun untuk pola yang kedua, menurut penulis istilahnya kurang tepat. Hubungan Muhammadiyah – Parmusi tegang hanya tertuju kepada kepengurusan Parmusi di bawah pimpinan J. Naro – Imran Kadir dan bukan kepada kepengurusan Parmusi yang dipimpin oleh dua kader Muhammadiyah, Djarnawi – Lukman Harun. Muhammadiyah tidak mengakui kepengurusan Parmusi pimpinan J. Naro – Imran Kadir, dan hanya mengakui Parmusi di bawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma – Lukman Harun. Dengan demikian, yang terjadi bukanlah ketegangan hubungan melainkan semacam keprihatinan hubungan.
Dalam perkembangan relasi Muhammadiyah – Parmusi, melalui Muktamar ke-38 di Ujung Pandang, 21 – 26 September 1971, Muhammadiyah memutuskan untuk menjaga jarak dengan semua partai politik yang ada. Muhammadiyah menyatakan tidak memiliki hubungan organisatoris atau afiliasi dengan partai politik apapun, termasuk dengan Parmusi. Keputusan Muktamar Ujung Pandang tersebut dikenal sebagai “Khittah Muhammadiyah 1971” atau “Khittah Muhammadiyah Ujung Pandang”16
Dengan keputusan muktamar Ujung Pandang itu, Muhammadiyah dan Parmusi tidak memiliki relasi organisatoris, di mana Muhammadiyah bukan underbouw dan tidak berafiliasi dengan Parmusi. Namun dalam praktiknya, Muhammadiyah sebagai salah satu pemrakarsa yang membidani kelahiran armusi dan adanya kesamaan ideologi Islam, Muhammadiyah tetap mendukung perjuangan Parmusi.[iv]
Latar belakang munculnya keputusan muktamar Ujung Pandang 1971 tidak dapat dilepaskan dari terjadinya kericuhan atau konflik yang melanda partai Islam baru tersebut. Manuver J. Naro yang membentuk kepengurusan baru Parmusi sebagai pimpinan tandingan untuk mendongkel kepengurusan Parmusi di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun tidak dapat diterima oleh Muhammadiyah. Terbukti, dalam rapat pleno Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta tanggal 22 – 25 Januari 1971, Muhammadiyah menyatakan bahwa peristiwa proklamasi pengurus tandingan Parmusi pimpinan J. Naro tidak sesuai dengan aturan yang ada di dalam Parmusi. Muhammadiyah menganggap peristiwa itu sebagai inskonstitusional, dan tetap mendukung kepengurusan Parmusi di bawah pimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusuma. Bahkan, Muhammadiyah sempat mengajukan surat kepada Presiden Soeharto pada 19 Oktober 1970 untuk menjelaskan sikap Muhammadiyah mengenai konflik di dalam kepengurusan armusi.17
Relasi Muhammadiyah dan Parmusi, baik secara ideologis maupun organisatoris, berakhir pada 5 Juli 1972. Pada hari itu, pimpinan Parmusi dan pimpinan Muhammadiyah menandatangani sebuah nota kesepakatan dan kesepahaman bahwa “antara Partai Muslimin Indonesia dan Muhammadiyah tidak ada hubungan organisatoris dan tidak ada hubungan afiliasi/politik.” Dari pihak pimpinan Parmusi yang menyatakan adalah Ketua Parmusi, M.S. Mintaredja, dan dari pihak Muhammadiyah adalah Ketua PP Muhammadiyah, A.R. Fachruddin. Pernyataan bersama tersebut ditandatangani oleh kedua pimpinan Parmusi dan Muhammadiyah itu.18
Kesimpulan
Temuan yang penting dalam paper ini adalah bahwa relasi Muhammadiyah dan Parmusi berlangsung sekitar 4 tahun (1968 – 1972). Pada awal kelahirannya, Muhammadiyah berperan sangat penting sebagai bidan yang melahirkan Parmusi. Muhammadiyah menyumbangkan dua kader utamanya, Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun untuk menjadi ketua dan sekretaris Parmusi sejak awal kelahiran partai islam yang dipandang sebagai penerus partai Islam masyumi yang eksis dari 1945 hingga 1960. Relasi Muhammadiyah dan Parmusi yang sangat baik dan akrab menjadi tegang ketika terjadi kup dalam kepengurusan Parmusi oleh H.J. Naro dan Ali Imran Kadir. Ketegangan relasi Muhammadiyah dan Parmusi tersebut berpengaruh besar dalam hasil Pemilu 1971, di mana kursi yang diperoleh Parmusi di bawah NU, PNI dan Golkar.
Pola relasi Muhammadiyah dan Parmusi menunjukkan sifat yang lebih ideologis ketimbang organisatoris. Sekalipun Muhammadiyah merupakan ormas yang memelopori dan membidani kelahiran Parmusi, namun di dalam Parmusi tidak ada keanggotaan istimewa sebagaimana halnya Masyumi. Berkenaan dengan itu, relasi organisatoris antara Muhammadiyah dan Parmusi tidak terjalin. Pola relasi Muhammadiyah dan Parmusi lebih berorientasi ideologis karena sejak awal berdirinya Parmusi, partai Islam modernis ini diharapkan untuk menjadi penerus Masyumi. Sehingga, ada keterikatan ideologis antara Muhammadiyah dan Parmusi.
Ucapan Terima Kasih
Kalimat syukur kepada Ilahi Rabbi dan ucapan terima kasih kepada pihak yang berperan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian; Universitas Muhammadiyah Sidoarjo yang menyelenggarakan seminar Nasional AIK
References
- Darban Ahmad Adaby, Fragmenta Gerakan Muhammadiyah dari Masa ke Masa.
- Suwarno M, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta; 2010.
- Syaifullah Gerak, Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1997;141-142.
- Tamara Nasir, 1988.
- Anonymous Partai, Indonesia Muslimin, Partai Muslimin Indonesia, pronted archieve, Semarang: Pimpinan Partai Muslimin Indonesia Wilajah Djawa Tengah. 1968;26-27.
- Jurdi Syarifuddin, Pustaka Pelajar: Yogyakarta; 1966.
- Budiyanto Gunawan, LPPM: Yogjakarta; 2010.
- Peacock James L, Penerbit Cipta Kreatif: Jakarta; 1986.
- Mintaredja S, R Permata: Djakarta; 1970.
- Muhammadiyah Suara, Nomor 8 Tahun Ke-50 1970.
- Yusuf H., Elsevier BV: Jakarta; 1989.
- Muhammadiyah dan Politik: Catatan Kecil tentang Perjalanan Politik Warga Muhammadiyah. Makalah, disampaikan pada Kajian Tematik III yang diselenggarakan Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah di Kampus UM Magelang, 9 Agustus. 2008.
- Pemilu Lihat Siaran. 1971;p. III-p. III.
- Jurdi Syarifuddin,
- Pp Tim Diktilitbang Dan Lpi, Penerbit Kompas: Jakarta; 2010.
- Nashir Haedar,
- Muhammadiyah Suara, 1971; 3:10-10.
- Resmi Muhammadijah Berita, Muhammadijah Berita Resmi. 1972;p. iii-p. iii.