Abstract
This research aims to find out Islamic Psychology as a new school of psychology, to provide a new path for scientists that the view of humans is not only based on philosophical speculation, and human observation is only on the aspect of self that appears, as in the observation of psychoanalysis, humanistic, and cognitive psychology, but views humans as part of the creator ( hi min ). The research method used is the study of literature on sources that explain how Islamic Psychology as a new school in the field of psychology. Therefore, to achieve the validity in the knowledge of science, epistemology building is needed which presents various approaches in analyzing the sources of knowledge. This is known as Quasi-Scientific which presents three patterns of approach in studying the sources of inter-infantile, and knowledge. This article provides an argument about the use of three patterns of approach in studying humans as a source of knowledge, so as to prove the validity of Islamic psychology
Pendahuluan
Psikologi Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman. Psikologi Islam merupakan sebuah aliran baru dalam ilmu psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Psikologi Islam lebih merupakan pandangan islam tentang manusia yang tidak harus dikaitkan-kaitkan dengan pandangan Psikologi Barat. Berbeda dengan Psikologi Barat yang pandangan filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, maka Psikologi Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis telah menjadi salah satu disiplin ilmu yang menantang. Tak heran jika kini mulai banyak perguruan tinggi yang menjadikan psikologi Islam sebagai salah satu mata kuliah di fakultas-fakultas psikologinya. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, Fakultas Psikologi UIN Jakarta telah mengangkat dua Guru Besar Psikologi Islam, salah satunya adalah Prof Dr Abdul Mujib. Bagaimana konsep psikologi Islam, apa distingsinya dengan psikologi “sekuler” dan bagaimana implementasinya di Fakultas Psikologi UIN Jakarta? Untuk mengetahuinya, Jumat (17/12), Iradatul Aini dari UIN Online mewawancari pakar psikologi Islam di Indonesia itu. Berikut petikannya; “Psikologi Islam adalah satu pendekatan studi dalam memahami kejiwaan dan perilaku manusia yang berdasarkan konsep tauhid, dengan cara integrasi antara ilmu dan iman”. Jangan sampai hati beriman kepada Allah tetapi cara atau pola berpikirnya tidak menopangnya. Artinya, kehadiran Psikologi Islam untuk mengintegrasikan pada semua hal. Karena sebagaimana diketahui, psikologi (sebagai disiplin ilmu) muncul bukan dari orang Islam tapi dari orang Barat dan karya-karya mereka telah banyak memberi kontribusi pada semua bidang kehidupan, sekalipun cara berpikirnya sekuler. Justru kehadiran psikologi Islam memberi nuansa transenden.
Menghadirkan khazanah baru dari dialog antara Islam dan sains modern khususnya ilmu psikologi, yang baru dikembangkan oleh Wilhelm Wundt pada tahun 1879 dan Ivan Pavlov dalam kajian psikologi eksperimentalnya, kemudian diabadikan dalam nama Psikologi Islam atau Psikologi dalam Perspektif Islam merupakan suatu keniscayaan. Paling tidak ada dua sisi yang dapat dilihat dalam menelaah fenomena ini. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya ini sebagai pembanding atau bahkan counter discourse terhadap teori-teori psikologi yang dibangun dari paradigma sekuler. Masyarakat religius, khususnya masyarakat Muslim Indonesia, tidak mungkin menggunakan teori-teori psikologi sekuler. Selain bias budaya, teori-teori tersebut bebas nilai yang menafikan unsur-unsur metafisik dan spiritual-transendental. Masyarakat Muslim lebih tepat menggunakan teori psikologi berbasis keIslaman, karena teori itu dapat mengkaver seleuruh perilakunya dan menunjukkan self-image maupun self-esteem sebagai seorang muslim yang sesungguhnya. Sedang dari sisi praktisnya, pengembangan psikologi Islam merupakan oase baru bagi praktisi psikologi, konseling dan psikoterapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, untuk menciptakan suasana batin yang sejahtera dan bahagia hakiki.
Dalam usianya yang relatif belia (periode puber), psikologi Islam yang dikumandangkan oleh komunitas terbatas baru menghadirkan sajian (1) kajian dalam bentuk diskusi, seminar dan temu ilmiah nasional; (2) pembentukan organisasi, yang pada tingkat nasional terwadahi dalam Asosiasi Psikologi Islami (API) dan Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (Imamupsi); (3) penerbitan buku dan jurnal ilmiah yang bertemakan psikologi Islam; dan (4) memasukkan psikologi sebagai bagian dari mata kuliah wajib atau pilihan di beberapa perguruan tinggi.
Terdapat beberapa alasan mengapa pengembangan psikologi Islam masih berputar pada kalangan terbatas. Pertama, sulit ditemukan sumber daya insani yang memiliki pengetahuan integratif antara Islam dan psikologi. Mereka saling menunggu siapa yang duluan memulai, apakah sarjana agama ataukah sarjana psikologi; Kedua, sulit menggabungkan metodologi pengembangan ilmu, antara empiris (syahadah) versus meta-empiris (ghayb), induktif versus deduktif, apa adanya versus bagaimana seharusnya, bebas etik versus sarat etik, kuantitatif versus kualitatif, positivistik-empiris versus doktriner-normatif dan antroposentris versus teosentris; Ketiga, Psikologi Islam sebagai bagian dari studi Islam memiliki batasan-batasan yang tidak semunya dapat dijangkau oleh metodologi ilmu empiris, sebab tidak semua fenomena keagamaan dapat diukur melalui tes-tes psikologi, seperti masalah kecerdasan spiritual/keruhanian, masalah keimanan dan ketakwaan.
Psikologi Islam merupakan sebuah aliran baru dalam ilmu psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori dan konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subyek dan obyek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga bentuk: (1) Islam sebagai ajaran; (2) Islam sebagai pemahaman dan pemikiran; serta (3) Islam sebagai praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki kebenaran normatif, yakni benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang dan waktu.
Islam sebagai pemahaman dan pemikiran, serta Islam sebagai praktek atau pengamalan selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua adalah fondasi awal untuk melakukan gagasan aktualisasi psikologi Islami. Islam adalah sumber pedoman, pandangan dan tata nilai bagi kehidupan manusia. Disamping itu, karena didapati banyaknya cerita dan konsep tentang manusia dalam Al-Qur’an, Islam sendiri merupakan sumber ilmu pengetahuan. Psikologi Islam adalah wacana psikologi yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah Islam diambil sebagai dasar utama pengembangan psikologi Islam. Beberapa contohnya adalah fitrah, qalbu, ruh, nafs, insan kamil, sabar, syukur dan seterusnya.
Psikologi Islam lebih merupakan pandangan Islam tentang manusia yang tidak harus dikaitkan-kaitkan dengan pandangan Psikologi Barat. Berbeda dengan Psikologi Barat yang pandangan filsafatnya didasarkan pada spekulasi filosofis tentang manusia, maka Psikologi Islam didasarkan pada sumber otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis. Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan Psikologi Islam. Alasan yang paling utama adalah karena Islam mempunyai pandangan sendiri tentang manusia. Al-Qur’an, sumber utama agama Islam, adalah kitab petunjuk, didalamnya terdapat rahasia mengenai manusia. Allah, sebagai pencipta manusia, tentunya tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat Al-Qur’an, memberitakan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya, kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka Al-Qur’an (Wahyu), adalah sumber yang selayaknya dijadikan ajuan utama.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adala studi literatur terhadap sumber-sumber yang menjelaskan bagaimana Psikologi Islam sebagai mahzab baru dalam bidang psikologi. Maka itu untuk mencapai kesahihan dalam ilm pengetahuan tersebut diperlukan bangunan epistemologi yang menghadirkan berbagai pendekatan dalam menganalisis sumber-sumber pengetahuan tersebut. Epsitemologi ini dikenal dengan Quasi-Saintifik yang mengahadirkan tiga pola pendekatan dalam mengkaji sumber ilmu pengetahuan antar bayani, burhani dan irfani. Artikel ini memberikan argumentasi tentang pemanfaatan tiga pola pendekatan tersebut dalam mengkaji manusia sebagai sumber pengetahuan, sehingga dapat membuktikan keahihan ilmu psikologi Islam.
Hasil Dan Pembahasan
Dasar-dasar Pemahaman Psikologi Islam
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai “Psikologi” yang ditawarkan oleh para Psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapat disederhanakan dalam tiga pengertian, pertama, psikologi adalah studi tentang jiwa (psycbe), seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang kesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.
Pengertian pertama, lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Kelebihan dari pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakikat psikologi yang sesungguhnya, sebab Ia dapat mengungkapkan hakikat jiwa yang menjadi objek utama kajian psikologi. Kelemahannya yaitu pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplin filsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokus kajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan dan ingatan. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana psikologi kontemporer adalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokus kajian psikologi tidak lagi hakikat jiwa, melainkan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik hakikat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehinnga psikologi hanya membahas mengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan.
Hakikat psikologi Islam dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.” Hakikat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok: Pertama, psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keIslaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keIslaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi Islam, politik Islam, kebudayaan Islam, dan sebagainya. Penempatan kata “Islam” disini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya.Tentunya hal itu tidak terlepas dari hakikat jiwa, bagaimana cara mempelajari jiwa dan tujuan mempelajari jiwa dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti psikologi agama Islam, psikologi perkembangan Islam, psikologi sosial Islam, dan sebagainya.
Hakikat psikologi Islam dirumuskan sebagai berikut: “kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.” Hakikat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok: Pertama, psikologi Islam merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keIslaman. Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keIslaman yang lain, seperti ekonomi Islam, sosiologi Islam, politik Islam, kebudayaan Islam, dan sebagainya. Penempatan kata “Islam” disini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak atau memiliki pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapat membentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya.Tentunya hal itu tidak terlepas dari hakikat jiwa, bagaimana cara mempelajari jiwa dan tujuan mempelajari jiwa dalam Islam. Melalui kerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti psikologi agama Islam, psikologi perkembangan Islam, psikologi sosial Islam, dan sebagainya.
Ketiga, Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Manusia dilahirkan alam kondisi tidak mengetahi apa-apa, lalu Ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplin yang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsep diri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri atau untuk diri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut adanya penyimpangan perilaku maka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuansa ilahiyah, agar dapat mengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaan hidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari Psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakan diri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasingan, kegersangan, dan kegelisahan.
Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jika orang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, serta mengklaim keabsahan dan objektivitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal-hal yang sama, yaitu mengedepankan pemikiran psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam. Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanya berijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktek kedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak diantara metode dan teknik yang dikembangkan justru menyalahi dan memberontak masalah-masalah normatif yang sudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan konsep psikologinya dilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa psikologi kontemporer barat pada mulanya tidak mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku didunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka teruji secara empiric dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.
Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untuk ‘mengintip’ wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa Psikologi Barat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomena kejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalu mereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulis satu bab khusus untuk ‘Psikologi Timur’. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya dari psikologi yangdirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi (pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakan dimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses dan perkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk), proses penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.Mujib and dkk (2002)
Menurut kepercayaan umat Islam bahwa Al-Quran dan Al-Hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari psikologi Islam adalah Al-Quran dan Al--Hadis. Menurut ajaran Islam, cara untuk memahami manusia dan alam semesta dapat dilakukan melalui dua pintu, yaitu ayat kauniyah dan ayat kauliyah. Diungkapkan oleh Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, untuk menggali manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an dan Al-Hadis (ayat kauliyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan, dan merefleksikan kejadian-kejadian yang berbeda di alam semesta dan terjadi pada diri manusia (ayat kauniyah) dengan menggunakan akal, indera, intuisi. Nashori (2002) Secara umum, sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Karenanya pengembangan teori Psikologi Islam dapat pula dirumuskan dengan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber pokoknya. Secara ringkas, dapat dikatakan al-Qur’an dan al-Hadis adalah rujukan utama psikologi Islam. Psikologi Islam memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah aspek dalam manusia.
Dalam Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa kehidupan manusia tergantung pada wujud ruh dalam badannya. Tentang bagaimana wujudnya, bagaimana bentuknya, dilarang untuk mempersoalkannya. 17:85 (2014) Tetapi bagaimana ruh itu bersatu dengan badan yang kemudian membentuk manusia yang menjadi khalifah itu, dalam alqur’an QS. al-Hijr [15]: 29 dinyatakan
Artinya: “Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. al-Hijr [15]: 29)
Tingkah laku manusia adalah akibat dari interaksi antara ruh dan badan. Walaupun manusia mempunyai ruh dan badan, tetapi Ia dipandang sebagai pribadi yang terpadu. Dalam al-Qur’an Surat al-A’raf [7]:172, Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A’raf [7]:172)
Allah telah mengeluarkan dari sulbi Adam dan keturunannya, generasi demi generasi sebelum mereka diturunkan ke dunia, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka dengan firman-Nya “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Jawab mereka: “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” Dan Allah menyatakan bahwa Ia mengambil kesaksian terhadap mereka akan kedudukan-Nya sebagai Tuhan agar mereka pada hari kiamat, tidak menyatakan bahwa mereka tidak tahu akan hal itu. Dari sini tampak jelas bahwa dalam diri manusia terdapat kesiapan alamiah untuk mengenal Allah dan mengesakan-Nya. Jadi, pengakuan terhadap kedudukan Allah sebagai Tuhan tertanam kuat dalam fitrahnya dan telah ada dalam relung jiwanya sejak zaman azali. Ancok and dkk (2011) Di dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’[4]:1 juga disebutkan bahwa:
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa’[4]:1)
Makna ayat diatas adalah dari satu jiwa, nabi Adam as, Allah menciptakan puluhan miliar jiwa yang berbeda-beda satu sama lain dan berbeda pula dengan jiwa yang menjadi asalnya. Hal semacam ini telah menjadi jelas bagi ilmuwan genetika saat ini. Oleh karena itu, adanya kemiripan dua orang, semata-mata dari aspek genetisnya saja, kemungkinannya hanya terjadi dalam angka satu persepuluh pangkat empat puluh. Dari sini pula kita dapat memahami secara mendalam makna firman Allah berikut ini:O
Artinya: “Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”
Hikmah Allah benar-benar telah menetapkan sebagai penjelasan atas kekuasaan-Nya didalam melakukan penciptaan bahwa makhluk manapun tidak ada yang serupa dengan yang lainnya, sejak Allah memulai penciptaan-Nya sampai hari kiamat. Inilah yang berhasil disingkapkan oleh ilmu genetika pada paruh terakhir abad ke 20.Syarif and Al-Mighwar (2002) Selain ayat-ayat di atas, Allah juga berfirman dalam al-Qur’an Surat Ali Imran [3]: 185 yaitu:
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.( QS. Ali Imran [3]: 185)
Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan psikologi Islam. Alasan yang paling utama adalah karena Islam mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia. Psikologi Islam itu merupakan konsep manusia menurut al-Qur’an. al-Quran sebagai sumber utama agama Islam. al-Qur’an adalah kitab petunjuk, didalamnya banyak terdapat rahasia mengenai manusia. Allah sebagai pencipta manusia, tentu tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia. Lewat al-Quran, Allah memberitahukan rahasia-rahasia tentang manusia. Oleh karena itu Psikologi Islam disusun dengan memakai al-Qur’an sebagai acuan utamanya. Sementara al-Qur’an sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat Islam, tetapi untuk kebaikan umat manusia seluruhnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, Psikologi Islam dibangun dengan arahan untuk kesejahteraan umat manusia.
Jiwa Manusia (an-Nafs) sebagai Pusat Kajian Psikologi Islam
Kajian dalam diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam al-Qur’an. Manusia menempati posisi penting dalam al-Qur’an. Surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah sudah berbicara tentang manusia. Khalaqal insaana min ‘alaq. Salah satu istilah yang berkenaan dengan manusia, yaitu Nafs disebut ratusan kali. Belum lagi istilah al-naas, al-basyar, dan al-insaan. Istilah-istilah tersebut menunjukkan betapa Al-qur’an begitu peduli berbicara tentang manusia. Istilah Nafs termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-qur’an, yaitu sebanyak lebih dari 300 kali. Menurut Sukanto MM (1994), istilah Nafs bisa berarti “aku”, “pribadi”, “diri”, “makna derivatif (nafsu)”, “sesama jenis”. Jiwa atau nafsu bukanlah hal yang berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan dengan badan. Antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas.
Psikologi Islam akan mengkaji jiwa dengan memperhatikan badan. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islam melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islam bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata Tuhan tentang manusia. Oleh karena itu, psikologi Islam sangat memperhatikan apa yang Tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita pahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan Tuhan. Ancok et al. (2011) Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam al-Qur’an Surat Fushshilat [41]:53:
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]:53)
Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa dialam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berilmu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, aql, ruh, qalb, fitrah, dan sebagainya. Menurut Djamaludin Ancok dan Fuad Nashaori ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajiaan mengenai manusia bukanlah kajiaan yang berdiri sendiri tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-hashimi 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Qur’an, tapi juga menggunakan, memikirkan dan merekflesikan kejadian-kejadiaan di alam semesta dengan akal pikiran, indra dan intuisi.
Struktur Jiwa dalam al-Qur’an
Jiwa (nafs) menurut al-Qur’an memiliki beberapa makna, antara lain diartikan sebagai totalitas manusia; 5:32 (2014) atau menunjukkan kepada apa yang terdapat pada diri manusia yang menghasilkan tingkah laku; 13:11 (2014) dan juga menunjukkan kepada diri Allah Swt. 8:12 (2014) An-Nafs diciptakan dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan91:7-8 (2014) mengilhamkan potensi kebaikan, agar manusia dapat menangkap makna kebaikan dan keburukan, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan.Shihab (2007) Sementara keburukan yang dilakukan oleh manusia merupakan bentuk ketiadaan/keterasingan nafs dalam dirinya. Menurut para sufi an-Nafs adalah ruh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan ruh dengan jasad melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh ruh. Jika jasad tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat.
Jiwa Rabbani yaitu jiwa (nafs) yang telah menerima pencerahan dan kehidupan ketuhanan. Jiwa pada tingkatan ini dibagi kepada empat kelompok jiwa, yaitu; a) Jiwa muthmainnah yaitu jiwa yang telah menerima pencerahan dan kehidupan ketuhanan pada fase pemula atau awal. Pada fase ini jiwa telah memperoleh ketenangan dan kedamaian, karena ruh diri telah berhasil bersatu dengan jasmaniahnya, serta jasmaninya telah terlepas dari pengaruh hawa nafsu materi, hewani dan kemakhlukan. Ia bermukim di alam malakut (kemalaikatan); b) Jiwa radhiyah yaitu jiwa yang telah menerima peningkatan pencerahan dan kehidupan ketuhanan yang lebih tinggi. pada fase ini jiwa telah menyatu dengan ruh awalnya yang berada di alam arwah yang tinggi. alam yang sangat lapang, luas, yang tiada batas. Jiwa pada fase ini telah leluasa dalam menggerakkan aktifitas jasmaniah dan ruhaniah dengan lapang, dan tiada satu pun yang dapat mengahalanginya. Lapang dalam menjalankan perintahnya, lapang menjauhi karangan-Nya dan lapang dalam meniti ujian-ujian-Nya yang berat. Ia bermukim di alam jabarut (alam khazanah kekuasaan Allah swt); c) Jiwa mardhiyah yaitu jiwa yang telah menerima peningkatan pencerahan dan kehidupan ke tuhan tertinggi. Pada fase inilah jiwa telah menyatu dengan asal-usul ruhnya yaitu ruh al-A’zham atau Nur Muhammad saw. Jiwa telah benar-benar fana’ ul fana’ dan baqa’ billah (lebur di atas keleburan dan berkekelan dalam bermusyahadah terhadap keagungan (jalaliyah), keindahan (jamaliyah), keperkasaan (qabariyah) dan kesempurnaan (kamaliyah) wujud Allah swt. Ia bermukim di alam lahut (khazanah ketuhanan Allah swt); d) Jiwa kamilah yaitu jiwa telah menerima keadaan ketiga tingkatan jiwa itu. Ia bermukim pada haq ta’ala yang tiada bertempat, tiada berwaktu, dan terlepas dari segala sesuatu selain Allah swt. Itulah jiwa nabi kita Muhammad saw.
Apabila sorang hamba telah dianugrahi oleh Allah swt ketersingkapan batin yang tinggi (mukasyafah al a’la) dan persaksian yang tinggi pula (mushahadul a’la), maka ia dapat melihat dan menyaksikan keadaan-keadaan jiwa itu. Keadaan “jiwa muthmainnah”, ia berbentuk seperti tubuh kasar, namun tubuhnya bagus, kulitnya putih bersih memancarkan Nur-Nya, mata yang indah dan pakaian kbsaran yang agung, kadang-kadang berwarna putih, krem, atau hijau muda. Akan tetapi warna-warna yang ada didunia ini. Lalu keadaan “jiwa radhiyah”, ia hanya terlihat bentuknya saja seperti tubuh kasar, tetapi hanya Nur-Nya saja. Sedangkan “jiwa madhiyah”, ia hanya Nur-Nya yang menerangi seluruh ruangan dan waktu tanpa ada batas. Sedangkan “jiwa kamilah”, ia hanya Allah swt. Yang dapat mengetahuinya, karna ia Nurun a’la Nurin. Hal demikian itu dapat difahami dari firman-Nya berikut ini:
Artinya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-nya. Lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-ku dan masuklah ke dalam surga-ku. (QS. al-Fajr[89]: 27-30)
Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nur[24]: 35).
Jiwa Insani yaitu jiwa yang berada antara jiwa rabbani dan jiwa hewani. Ketika suatu waktu ia mengharapkan keruhaninya ia sadar dan timbul rasa penyesalan, dan di lain waktu ia lebih condong kepada jasmaniyah, ia melakukan pengingkaran dan kedurhakaan dnegan mengikuti tuntutan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniyahnya yang lebih bersifat materialistik dan kemakhlukan. Jiwa ini disebut jiwa lawwamah, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
Artinya: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. al-Qiyamah[75]:2)
Jiwa lawwamah, adalah jiwa yang mendapatkan cahaya hati sehingga bisa tersadar dari kelalaian yang telah diperbuatkannya. Dan apabila telah diterangi oleh cahaya hati, maka jiwa itu menggerakkan diri jasmaniyah itu kepada amal perbuatan yang semakin lebih baik. Jiwa ini bergerak diantara kecenderungan pada rubbubiyah (ketuhanan) dan khalqiyah (kemakhlukan). Bila ia berbuat kejahatan, maka hal itu disebabkan karena perangainya yang berasal dari kegelapan, namun bila ia telah mendapatkan nur dari Allah swt, maka ia segera akan menyesalinya serta bertobat dari kejahatan yang telah diperbuatnya dengan mengucap istighfar serta meminta ampunan-Nya, sehingga ia kembali kepada tuhannya yang maha pengampunan.
Seperti sering kita temukan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari, bahwa ada seorang hamba, setiap hari hati nuraninya selalu mengajak dan menyerukan agar bangun malam untuk melaksanakan shalat malam. Ia berusaha agar dapat memenuhi tuntutan nuraninya, ia menggunakan jam dengan memutar alarm atau belnya pada jam yang diinginkannya. Namun apa yang terjadi, ketika bel itu berbunyi sebagaimana yang ia harapkan, ia terbangun dari tidurnya. Ketika itu ia duduk sejenak, lalu dalam hatinya terdengar ucapan “matikan saja bel jam itu lalu kau pergi tidur lagi, nanti saja” atau “tunggu sebentar” dan sebagainya. Yang lebih fatal lagi bisikan-bisikan jiwa lawwamah itu mengatasnamakan Allah swt. Dan Rasul-Nya, dengan kata-kata, “walaupun kamu tidak bangunyang penting niatnya”, atau “Allah maha tahu. Dia tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya,” atau “Allah mengatakan: bertakwalah menurut kemampuan dan seterusnya”. Namun keesokan harinya, timbul suatu penyesalan, mengapa tadi malam saya tidak melaksanakan shalat malam pada hal sudah bangun.
Dalam peristiwa lain,sering juga terjadi atau terdengar suatu ungkapan yang keluar dari lisan seseorang, “saya sebenarnya bisa saja menghentikan kebiasaan merokok, tetapi masalahnya saya belum minat”. Setelah ia sakit akibat terlalu banyak merokok, timbul suatu penyesalan. Namun, setelah sehat, timbul lagi keinginan untuk merokok dengan alasan, banyak orang yang tidak merokok tetapi juga mengalami sakit jantung atau paru-paru. Atau sebaliknya, banyak orang merokok tetapi ia tetap sehat dan panjang usianya. Padahal dalam hati kecilnya senantiasa mengatakan bahwa merokok itu sebenarnya sangat tidak baik untuk kesehatan jantung, paru-paru, dan sebagainya. Yang penting berbahaya adalah ada beberapa orang pernah datang kepada penulis dan mereka mengeluhkan tentang keadaan dirinya sambil berkata, “pak, saya selalu sehat shalat lima waktu, sudah haji dan berkali-kali umrah, tetapi saya sering menangis, karena saya tidak bisa meninggalkan kebiasaan berzina”. Ada lagi yang memiliki keluhan yang sama, ia selalu menjalankan ibadah tetapi ia tidak bisa meninggalkan kebiasaan berjudi. Mereka mengatakan,”Apabila saya merenung pasti saya menangis dan selalu ingin meninggalkan kebiasaan yang buruk itu. Akan tetapi sering tidak konsisten, seminggu atau satu bulan dapat saya tinggalkan, namun setelah itu terulang lagi dan begitu seterusnya”.
Jiwa Hewani yaitu jiwa yang sejalan dengan watak manusia yang selalu mengajak hati mereka kepada perbuatan syahwat dan kesenangan. Jiwa ini merupakan pengkal kejahatan dan menjadikan jasad sebagai pohon dari semua sifat yang keji dan perilaku tercela, dengan mengajak kepada pekerjaan yang jahat serta meninggalkan perbuatan yang baik. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Swt:
Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kejahatan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya tuhanku maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Yusuf[12]:53)
Jiwa hewani ini disebut dengan “nafsu amarah bisu”. Ia selalu mendorong diri manusia untuk melahirkan perbuatan, sikap dan tindakan kejahatan atau syahwat hewani dan kesenangan kepada kejahatan. Paling tidak dorongan kejahatan itu mengarah kepada tiga hal besar, yaitu; a) Syahwat dan kesenangan terhadap harta benda; sehingga melahirkan kerakusan, perampokan, pencurian, manipulasi, korupsi, bahkan kekerasan fisik, seperti pembunuhan dan penganiayaan; b) Syahwat dari kesenangan terhadap sex; sehingga melahirkan kejahatan dan kekejian berupa perzinaan, pemerkosaan dan penyimpangan seksualitas lainnya, bahkan hanya karena persoalan sex terjadi pembunuhan dan penganiayaan fisik; c) Syahwat dan kesenangan terhadap jabatan dan kedudukan; sehingga melahirkan para pejabat dan pemimpin yang zhalim, tirani, otoriter, bahkan diktator. Akhirnya menindas siapa saja yang akan menghalang-halangi kekuasaannya dengan menghalalkan berbagai macam cara.
Biasanya manusia yang telah dijajah oleh jiwa hewani atau “jiwa amarah bissu” ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang dilakukan itu akan dapat membahayakan dirinya maupun orang lain. Ia sangat menikmati kejahatan dan kekejian yang dilakukannya itu. Batas-batas yang haq dan batil, halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan tercela, manfaat dan mudharat, dosa dan pahala sudah kabur dalam kehidupannya. Orang-orang seperti ini dikatakan oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang lebih hina dari pada binatang melata. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesal lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A’raf [7]:179).
Rasulullah saw, menerangkan tentang tempat orang-orang yang berjiwa amarah bissu, dimana beliau bersabda, “maukah saya beritahukan kepada kalian tentang ahli neraka?yaitu setiap orang yang kejam, rakus, dan sombong” (HR. Bukhori dan Muslim dari Haritsah bin Wahab ra). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “tiadalah pengrusakan dua ekor srigala yang sedang lapar yang dilepas ditengah-tengah rombongan kambing, melebihi dari pengrusakan sifat rakus seseorang terhadap harta dan kemuliaan terhadap agamanya” (HR. Turmudzi dan Ka’ab bin Malik ra). Oleh karena itu, perhatian terhadap kesehatan jiwa merupakan suatu hal yang sangat penting dalam lapangan pendidikan keislaman. Sebab dalam jiwa yang sehat akan menghasilkan akal fikir yang sehat, hati yang tenang, kerja inderawi yang benar, perilaku dan tindakan yang shaleh, jasmani yang sehat dan kuat, serta penampilan yang menyenangkan dan kharismatik.
Struktur Jiwa Berdasarkan Pemahaman Wahyu oleh Para Filosof Muslim
Jiwa menurut Al-Kindi Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi, adalah nama lengkap dari Al-Kindi, Lahir di kota Kuffah, ‘Irak pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi merupakan seorang bangsawan, gelar Al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia Selatan. Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di dinasti ‘Abbasiyah pada masa pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809). Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus, Al-Kindi banyak berperan terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833). Salah satu peranya adalah menjadi staf pengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861). Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-Kindi berhasil mengubah sekaligus mengembangkan beberapa istilah yang menarik perhatian para filosof sesudahnya, seperti: kata al-jirm menjadi al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi) menjadi at-takhayyul, dan sebagainya.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun, sederhana tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Subtansinya berasal dari subtansi tuhan. Hubunganya dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri argumen yang dikemukakan Al-Kindi tentang kelainan roh dan badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah. Roh menentang keinginan hawa nafsu. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang. Dengan perantara rohlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada dua macam pengetahuan; pengetahuan pancaindera dan pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir saja. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya dapat diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan diri dari sifat ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang wujud. Dengan kata lain seseorang harus bersifat zahid. Kalau roh telah dapat meninggalkan keinginan-keinginan badan, bersifat dari segala noda kebendaan, dan senantiasa berfikir tentang hakikat-hakikat wujud, dia akan menjadi suci dan di ketika itu akan dapat menangkap gambaran segala hakikat, tak ubahnya sebagai cermin yang dapat menangkap gambaran dari benda-benda yang ada di depanya.
Pengetahuan dalam paham ini merupakan emanasi karena roh adalah cahaya dari tuhan, roh dapat menangkap ilmu-ilmu yang ada pada tuhan. Tetapi kalau roh kotor, maka sebagai mana halnya dengan cermin kotor, roh tak dapat menerima pengetahuan-pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya berasal dari tuhan. Dalam pandangan Al-Kindi jiwa mempunyai tiga daya: daya bernafsu (apperatitive), daya pemarah (irascible), dan daya berfikir (cognitive faculty). Al-Kindi lebih lanjut membagi akal menjadi tiga macam, yaitu: akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedau dari aktualitas. Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah perbuatan yang merupakan buah dari niat dan kehendak, dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran. Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakanya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-Kindi> ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual.
Jiwa menurut Ibnu Sina Abu Ali al-Husain, adalah nama depan dari Ibnu Sina (Avicena 980-1073), putra dari Abd Allah dari keluarga Isma’il. Sedangkan nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain Ibn Abd Allah Ibn Sina. Dilahirkan di Asfhana, suatu tempat dekat Bukhara, pada tahun 980. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman. Di negeri kelahiranya ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Salah satu pemikiran yang dikembangkan oleh Ibnu Sina adalah dalam masalah logika, dimana ia membagi ilmu menjadi dua macam; tasawwur (hanya tergambar dalam pikiran) dan tasdiq (yang dapat dibuktikan melalui indera). Ia juga mengembangkan beberapa keilmuwan yang lain. Hanya saja dalam pembahasan ini lebih ditenkankan dalam aspek kejiwaan. Terdapat dua aspek yang dibahas oleh Ibnu Sina tentang Jiwa yaitu fisika dan metafisika. Metode eksperimen dipakai dalam segi fisika, sebagai seorang dokter dalam pembahasan fisika juga banyak dipengaruhi oleh lapangan kedokteran. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan banyak mempengaruhi para pemikir setelahnya, tidak hanya di kalangan Arab, namun juga bagi non Arab. Sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada tokoh Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Banyak yang berpendapat temuan filsafat yang terpenting Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran (emanasi). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancarsegala apa yang terdapat di bumi yang berada di bawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat yaitu: pertama sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Pleh karena itu mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Berangkat dari pemikirannya tentang Tuhan timbulah akal - akal pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya, timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Pemikiran Ibnu Sina tentang wujud di sini berbeda dengan yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dan para Sufi.
Kemudian dari dua bagian besar tersebut, Ibnu Sina merinci jiwa dalam tiga bagian; 1) Jiwa tumbuh – tumbuhan, dengan daya Makan, tumbuh dan berkembang biak; 2) Jiwa binatang dengan daya, gerak, menangkap, dan dengan dua bagian: yaitu, menangkap; 3) Jiwa manusia dengan daya, praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak.Ibnu Sina juga memetakan kembali kedudukan akal secara hirarki, yaitu menjadi empat tingakatan; 1) Akal materiil adalah akal yang mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun; 2) Intelectual in habits, ialah akal yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak; 3) Akal actuil, adalah akal yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak; 4) Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sedangkan mengenai jiwa dan badan, Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dan dengan demikian tidak butuh pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih membutuhkan badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Secara sederhana antara jiwa dan badan dua aspek yang saling melengkapi, jika dipisahkan maka menyebabkan disfungsi di antara salah satunya. Pendapat Ibnu Sina tentang jiwa berbeda dengan ilmuwan Islam Al-Ghazali. Ibnu Sina berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat tiga jiwa. Pertama jiwa tumbuhan. Jiwa ini termasuk tingkatan jiwa yang paling rendah dan terdiri dari tiga kemampuan yaitu, nutrisi, tumbuh, dan daya. Dengan semu kemampuan ini manusia dapat berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan. Kedua, jiwa hewani, yang memiliki dua daya yaitu: Daya penggerak dan daya persepsi. Sedangkan pada aspek penggerakan terdiri dari dua daya yaitu 10 daya pendorong dan daya berbuat. Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional, ini mempunyai dua daya yaitu; daya praktis dan 20 daya teoritis. Fungsi pertama adalah menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive, sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al‘alimah , sebab jiwa rasional disebut juga al ‘aql . Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak.
Jiwa menurut Al-Farabi, Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Nasr Muhammad Al-Farabi. Beliau dilahirkan di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. dididik oleh seorang dokter Kristen dan penerjemah Kristen dari Bagdad, dan hidup sebagai seorang sufi di Aleppo dalam istana Shaf al-Dawlah al-Hamdani. Al-Farabi dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr. Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muh}ammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki. Al- Farabi adalah seorang Shi’ah Imamiyah (Shi’ah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki. Di dunia barat ia dikenal sebagai Alpharabius, Farabi, dan Abu-Nasir. Al-Farabi termasuk seorang yang mempunyai intlektualitas yang tinggi, tak heran jika ia banyak mengusai disiplin keilmuwan, seperti ilmu bahasa, ilmu matematika, ilmu logika, ilmu ketuhanan ilmu musik, ilmu astronomi, ilmu perkotaan, ilmu fiqh, ilmu fisika, ilmu mekanika, ilmu tata negara, dan ilmu kalam. Namun dalam pembahasan kali ini lebih terfokus pada displin ilmu kejiwaan yang dikembangkan oleh Al-Farabi hal ini dianggap jarang di kutip dan dibahas oleh para pengkaji Al-Farabi. Dalam masalah jiwa Al-Farabi berkonsentrasi untuk menjelaskan amal iradi (aksi volisional). Untuk itu, ia membedakan iradah dari ikhtiar. Ia berpendapat bahwa iradah dilahirkan oleh rasa rindu dan keinginan yang dibangkitkan oleh rasa dan imajinasi. Sedangkan ikhtiar semata-mata dilahirkan oleh pemikiran dan analisa.
Seolah-olah ia menurunkan pengertian kehendak ke dalam standar kecendrungan, karenanya dimungkinkan jatuh ke alam hewani. Akan tetapi di tempat lain ia berusaha untuk menganalisa tingkat-tingkat amal-amal iradi. Jelas bahwa niat mendahului, tidak bersamaan dengan aksi dan juga disebut azam yakni, persoalan yang disimpan oleh hati bahwa anda akan melakukan hal itu. Sedangkan al-Qasd (unsur kesengajaan) menurut Al-Farabi> terjadi bersamaan dengan aksi. Baik niat, azam maupun qasad merupakan fenomena psikologis yang berlandaskan pada prinsip pemikiran dan analisa. Nilai kehendak terletak pada kebebasanya. Al-Farabi telah menjelaskan bahwa manusia bisa berbuat baik jika kehendak, karena ia bebas untuk mewujudkan apa yang ia kehendaki dan perbuat. Akan tetapi kebebasan ini tunduk kepada hukum-hukum alam, masing-masing diberi fasilitas sesuai kejadianya, perhatian Alla>h mencakup segala hal dan berhubungan dengan setiap orang, dan setiap yang ada ini terjadi atas qada dan qadar-Nya.
Mungkin faktor inilah yang mendorong De Boer untuk mengatakan bahwa Al-Farabi termasuk kelompok jabariah. Kami khawatir jiak hal ini keterusan dalam menafsirkan perhatian tuhan menurut filosof kita ini, karena menurutnya perhatian tuhan adalah pengaturan kokoh dan universal yang tidak mengandung kontradiksi. Sebab, manusia mempunyai bidang sedangkan alam mempunyai sistem, di mana bidang manusia tidak akan terwujud kecuali jika memenuhi persyaratan kehendak. Betapa hal ini mirip sekali dengan harmonia pra estabilita yang dikemukakan oleh Leibniz kira-kira tujuh abad setelah Al-Farabi.Jiwa dalam pandangan Al-Farabi mempunyai daya-daya, ini seirama pendapat yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu; 1) Gerak (motion), antara lain: Makan (nutrition), Memelihara (preservation), dan Berkembang (reproduction); 2) Mengetahui (cognition), yakni: Merasa (sensation) dan Imajinasi (imagination); 3) Berpikir (intellection), yakni: Akal praktis (practical intellect), dan Akal teoritis (theoretical intellect).
Selanjutnya Al-Farabi membagi daya berfikir menjadi tiga tingkatan; Pertama, akal potensial (material intellect), baru melepaskan arti-arti berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya. Kedua, akal aktual (actual intellect) telah dapat mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk actual. Ketiga, akal mustafad (acquired intellect), telah dapat menangkap bentuk semata-mata (pure forms), kalau akal actual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk-bentuk ini berlainan dengan abstracted intelligibes, tidak pernah berada dalam materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan tuhan.Sedangkan dalam masalah teologi, Al-Farabi juga sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh Plato. Sebagaimana dikutip Karen Armstrong, Al-Farabi menunjukan pemikiranya yang sejalan dengan Plato, bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpim sebagaimana ciri pemimpim yang digambarkan oleh Plato, yakni yang dapat membuat kejayaan pada yang dipimpimnya. Nabi Muhammad dapat mengungkapkan kebenaran universal dalam bentuk imajinatif yang dapat dipahami oleh orang awam, sehingga Islam secara ideal cocok dan perkembanganya sangat pesat sekali. Meskipun termasuk seorang sufi, namun ia berpendapat bahwa wahyu sebagai proses yang sepenuhnya alamiah. Filsafat yang digemari oleh Al-Farabi dalam pandangan Karena adalah kajian teologi, sehingga tak heran jika risalahnya dimulai dengan kajian tentang tuhan. Mengenai konsep tuhan pandangan Al-Farabi> mengimani apa yang dikonsepkan oleh Aristoteles dan Plotinus, bahwa “dialah yang pertama dari semua wujud”.
Menurutnya, manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan individu lain untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Untuk itu -dalam negara ideal- harus ada pembagian tugas bagi setiap individunya. Jika semua berjalan proporsional, kebutuhan negara dan warga negara akan tercapai. Tak kalah pentingnya adalah etika. Sebagai bagian penting filsafat, Al-Farabi menganggap apabila orientasi moral berhasil, maka warga dalam negara ideal ini dapat dikatakan sebagai warga ideal. Pendapat Al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi Al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut Al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya Al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat Al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi Al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Struktur Jiwa Berdasarkan Pemahaman Wahyu dengan Pendekatan Irfani
Pandangan tentang struktur jiwa berdasarkan pemahaman wahyu dengan pendekatan irfani, atau epistemology yang sering digunakan dalam pemikiran tasawuf, dalam kajian ini pemikiran Imam Ghazali menjadi rujukan utama. Terutama berkenaan dengan konsep dan struktur jiwa manusia. Al-Ghazali lahir pada 450 H/1058 M di Tus, salah satu kota di Khurasan yang pada saat itu dipenuhi oleh beberapa paham keagamaan. Meskipun kota ini mayoritas dihuni oleh kalangan muslim Sunni, namun juga banyak komunitas Kristen dan muslim Syi’ah. Al-Ghazali terdidik dalam lingkungan muslim yang taat beribadah kepada Allah. Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana, dan ia sangat dekat sekali dengan para ulama’ saat itu. Ia sangat mengharap putranya menjadi ulama’ yang selalu mengabdikan dirinya pada umat. Pemikiran Al-Ghazali tentang manusia tidak terlepas pula dengan pemikiran-pemikiran filosof klasik. Menurutnya, manusia memiliki identitas esensial dalam dirinya yang tidak akan berubah-ubah, yaitu An-Nafs (jiwa). An-nafs dalam pandangan Al-Ghazali adalah substansi manusia yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan tempat. ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukanlah dilihat dari fisiknya. Sebab fisik tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa An-Nafs.
Dengan demikian, Al-Ghazali membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut dengan an-nafs. Persoalan tentang ganjaran, hari akhir, dan konsep kenabian tidak ada artinya jika An-Nafs tidak ada. Sebab, hanya an-nafs-lah yang membedakan manusia dengan manusia lainnya, dan yang mempertanggung jawabkan amal perbuatannya didunia kelak di akhirat adalah an-nafs. Bukan fisik. Bukti lain yang ia lontarkan adalah tentang perbedaan makhluk hidup dangan manusia. Tumbuhan hanya bisa bergerak monoton. Ini merupakan prinsip dasar tumbuhan (An-Nafs Al-Nabatiyah). Juga terdapat pada hewan. Hewan memiliki prinsip lebih tinggi dari tumbuhan. Selain memiliki prinsip gerak, hewan juga memiliki prinsip rasa (syu’ur). Prinsip ini disebut dengan prisip Al-Nafs Al-Hayawaniyah. Begitupun dengan manusia, selain memiliki prinsip gerak dan rasa, manusia juga memiliki prinsip berfikir dan memiliki kehendak dalam memilih perbuatan. Prinsip ini yang dinamakan dengan Al-Nafs Al-Insaniyah. Ketika seseorang dalam keadaan hampa aktifitas dan menghentikan segala aktifitasnya, ada satu yang tidak akan pernah berhenti, yaitu kesadaran diri. Kesadaran diri ini merupakan prinsip dasar manusia. Al-Ghazali dalam mengupas hakikat manusia, beliau menggunakan empat term, yaitu: (1) al-qalb; (2) al-ruh; (3) al-nafs; dan (4) al-‘aql. Keempat istilah ini ditinjau dari segi fisik memiliki perbedaan arti. Menurut Al-Ghazali keempat istilah tersebut masing-masing memiliki dua arti, yaitu arti khusus dan arti umum.
Qalb (Hati, Kalbu) Kata qalb memiliki dua makna yakni; (1) Qalb yang berarti sepotong daging yang memiliki bentuk buah shanaubar, yang terletak pada sebelah kiri dada. Merupakan daging yang khusus dan di dalamnya ada lobang dan di dalam lobang itu ada darah yang hitam yang menjadi sumber ruh dan tambangnya. Makna yang pertama ini tidak dipakai dalam membahas yang berkaitan dengan agama ataupun ilmu mu’amalah (pengetahuan yang berkaitan dengan interaksi manusia karena hal ini berkaitan dengan ilmu sains atau ilmu kedokteran bukan ilmu agama. (2) Qalb yang berarti sesuatu yang halus (lathifah) yang bersifat rabbani ruhani. Makna qalb yang kedua ini mempunyai kaitan dengan sepotong daging yang dapat dilihat oleh mata. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakikat manusia. Dia adalah komponen utama manusia yang berpotensi memiliki daya tangkap atau persepsi, yang mengetahui dan mengenal, yang ditujukan kepadanya segala pembicaraan dan penilaian, dan yang dikecam dan dimintai pertanggungjawaban. Meski demikian, qalb dengan makna lathifah mempunyai kaitan dengan hati yang kasat mata dan kebanyakan akal manusia akan selalu bingung untuk mengetahui bagaimana keterkaitan tersebut. Adapun keterkaitannya itu sesungguhnya mirip dengan keterkaitan perangai-perangai yang terpuji dengan tubuh, dan sifat-sifat dengan yang disifati atau keterkaitannya antara orang yang memakai alat dengan alatnya atau keterkaitannya antara yang menempati dengan sesuatu yang ditempati.
Ruh (nyawa) Dalam hal ini ruh juga mempunyai dua makna yakni; (1) Sesuatu yang abstrak (tidak kasat mata), yang bersemayam dalam rongga “hati biologis’, dan mengalir melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh. Adapun mengalirnya dalam tubuh dengan membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman ke dalam semua anggota badan, adalh ibarat melimpahnya cahaya dari pelita yang dikelilingkan ke seluruh penjuru rumah. Setiap kali pelita itu sampai ke sebuah ruangan, maka ruangan itu menjadi terang karenanya.Adapun permisalan kehidupan adalah ibarat di atas dinding-dinding rumah. Sedangkan ruh diibaratkan pelita/lampu. Dan berjalannya ruh atau gerakannya adalah seperti gerakan lampu pada sudut-sudut rumah dengan digerakkan lampu pada sudut-sudut rumah dengan digerakkan oleh penggeraknya. Para dokter apabila mengatakan perkataan ruh secara umum, maka yang mereka maksudkan yakni mirip dengan bukhar (uap atau gas) lembut yang dimatangkan oleh kehangatan hati. Akan tetapi hal ini tidak dibahas dalam ilmu Imu mu’amalah karena hal demikian dipakai dokter dalam mengobati tubuh.Kedua (2) Bagian dari manusia yang halus (lathifah), yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan mencerap. Dan itulah yang dimaksud dalam firman Allah Swt. “katakanlah: “ruh itu termasuk Tuhanku” (al-Isra: 85). Begitulah, ruh memang ciptaan Allah yang amat menakjubkan, membuat kebanyakan akal dan pemahaman manusia tak berdaya meliputi pengetahuan tentang hakikatnya.
Nafs, Kata nafs juga mengandung beberapa makna (jiwa, sukma, diri, nafsu dan sebagainya). Namun dalam hal ini yang dibahas hanya dua makna saja; Pertama, terdapat dalam bahasa indonesia yang sama dengan kata ‘nafsu’ memiliki cakupan emosi atau amarah (ghadhab) dan ambisi atau hasrat (syahwah) dalam diri manusia. Makna yang inilah yang sering kali dipakai dalam kalangan para ahli tasawuf, karena mereka mengartikan kata nafs sebagai sesuatu yang mencakup sifat-sifat tercela pada diri manusia. Kedua, yang halus yang telah disebutkan di mana pada hakikatnya dialah manusia, yaitu: sesuatu yang abstak yang membentuk diri manusia secara hakiki. Tetapi nafsu itu disifati dengan sifat-sifat yang bermacam-macam menurut keadaannya. Jika ia dalam keadaan selalu tenang dan tenteram (dalam menerima ketentuan Allah Swt.) dan terhindar dari gelisah yang disebabkan oleh berbagai macam godaan ambisi, maka ia disebut nafs muthmainnah (jiwa yang tenteram) . Seperti dalam firman Allah Swt.,
Artinya: “Wahai nafs muthmainnah, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai sepenuhnya.” (QS Al-Fajr[89]:27).
Apabila tidak sempurna ketenangannya, tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu-shahwat dan penentang atasnya, maka disebut nafsu lawwamah karena dia mencaci pemiliknya ketika ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya.
Artinya: “dan aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mengecam” (QS. al-Qiyamah[75] : 2).
Jika nafsu itu tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu-shahwat dan dorongan-dorongan syaitan, maka dinamakan nafsu yang mendorong kepada kejahatan (ammarah bis suu’).
Aql (Akal) Kata akal juga memiliki beberapa makna, namun yang akan dibahas hanya dua arti yakni: Aql adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di hati. Yang dimaksud dengan kata aql adalah bagian (dari manusia) yang memiliki kemampuan untuk menyerap pengetahuan. Dan kita mengetahui bahwa dalam diri setiap orang ada sesuatu wadah yang menampung pengetahauan. Selanjutnya, pengetahuan adalah sifat yang menetap dalam wadahtersebut, jadi, pengetahuan tidak identik dengan wadah yang menampungnya. Oleh sebab itu, kata “akal” adakalanya juga untuk menyebutkan tentang wadah pengetahuan dalam diri orang itu. Dan itulah yang dimaksudkan Rasulullah Saw., “yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal”. Sebab, pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat aradh (aksiden), tidak dapat dibayangkan sebagai ciptaan (makhluk) yang pertama. Tentunya wadahnya telah tercipta sebelumnya atau bersamaan dengannya. Juga karena tidak mungkin ditujukan pembicaraan kepadanya. Dalam kelanjutan hadits itu disebutkan bahwa Allah Swt. Berkata kepadanya “datanglah!” maka ia pun datang. Kemudian diperintahkan kepadanya, “pergilah!” maka ia pun pergi.
Dalam diri manusia, Al-Ghazali membagi tiga bagian. Pertama, An-Nafs sebagai substansi manusia tidak bertempat dan berdiri sendiri. Kedua, Ar-Ruh sebagai panas alami (Al-Hararah Al-Ghariziyyah) yang mengalir pada pembulu-pembulu nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan—Kedua—Al-Jism adalah bagian tubuh yang tersusun dari materi. Namun, dalam pandangan Al-Ghazali, Al-Nafs tetap menjadi esensi manusia, bukan Al-Ruh. Karena Al-Ruh juga ada pada selain manusia. Al-ruh menyatu dengan Al-Jism, seakan ia mengalir dalam aliran-aliran darah pada Jism. Oleh karena itu Al-Jism tanpa Al-Ruh dan Al-Nafs adalah benda mati. Di dalam diri manusia terdapat jiwa An-Nabatiyah, jiwa An-Hayawaniyah dan jiwa Al-Insaniyyah. Dalam jiwa An-Nabatiyah yang ada dalam diri manusia memiliki tiga daya. Pertama, memiliki daya nutrisi (Al-Ghadiyah). Kedua, daya tumbuh (Munmiyat). Dan Ketiga, jiwa reproduksi (Al-Mutawallidah). Dengan jiwa ini, badan manusia berpotensi makan, tumbuh, dan berkembang. Dalam jiwa sensitif (An-Nafs Al-Hayawaniyah) terdapat daya pesepsi (An-Nafs Al-Mudrikah), dan daya persepsi terdiri atas daya pendorong (Al-Ba’itsah) dan daya berbuat (Al-Fa’il). Dalam hal ini Al-Ghazali menyebut yang pertama adalah Irodah dan yang kedua qudrah. Tentunya dalam daya iradah tidak secara spontanitas seseorang akan mengerjakan sesuatu. Namun disana ada informasi yang ingin ia capai.
Daya persepsi terdiri atas daya tangkap dari luar (Mudrikat Min Dhahir), dan daya tangkap dari dalam (Mudrikat Min dhakhil). Daya persepsi dari luar dengan menggunakan daya tangkap panca indera. Masing-masing panca indera menangkap informasi-informasi. Informasi yang ditangkap oleh panca indera kemudian diolah oleh daya tangkap dari dalam, dan sewaktu-waktu akan direproduksi jika dibutuhkan. Daya tangkap dari dalam memiliki lima bagian dalam pengelolahannya. Pertama, Al-Hiss Al-Musytarak. Kedua, Al-Khayaliyah. Ketiga, Al-Wahmiyah. Keempat. Al-dzakirah. Kelima, Al-Mutakhoyyilah. Al-Hiss Al-Musytarak berfungsi menerima gambar-gambar dari objek yang ditangkap panca indera, dan Al-Khoyaliyah menyimpan gambar yang dicerna oleh Al-Hiss Al-Mustadrak. Langkah selanjutnya yang dicerna adalah makna dari yang dipandang. Hal ini yang dinamakan oleh daya Al-Wahmiyah. Makna yang ditangkap oleh Al-Wahmiyah kemudian disimpan oleh Ad-Dzakirah. Daya tertinggi adalah Al-Mutakhalliyah atau Al-Mufakkirah. Daya ini memisah dan menghubungkan gambar atau benda yang dilihat. Daya-daya di atas masih belum merupakan daya yang dimiliki oleh manusia. Pada tahap ini manusia dianggap sama dengan hewan. Yang membedakan adalah keterbukaan jiwa Al-Mutakhoyyilah kepada jiwa rasional yang dimiliki oleh manusia. Sehingga jiwa al-mutakhoyyilah pada manusia menjadi jiwa Al-Mufakkiroh. Ada hubungan erat antara jiwa manusia dengan jiwa Al-Mufakkirah. Sedangakan jiwa al-mutakhaiyyilah yang ada pada hewan adalah tertutup. Akibatnya, aktifitas hewan monoton.
Jiwa rasional memiliki dua daya. Al-‘amilat (Praktis) dan Al-‘Alimat (teoritis). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh teoritis. Jiwa teoritis menyampaikan gagasan-gagasan teori kepada akal praktis. akal teoriris memiliki empat kemampuan. Pertama, al-hayulani (Akal Material). Kedua, al-‘aql bil malakat (Habitual Intellect). Ketiga, al-‘aql bi al-af’al (Akal Aktual). Keempat, Al-Aql Al Mustafad (akal perolehan). Akal Al-Hayulani tingkat akal yang paling rendah dan masih bersifat potensi belaka. Seperti akal pada anak kecil, walau memiliki potensi namun tidak dapat berkembang. Jika akal tersebut mulai berkebang dan menemukan titik kebenaran maka akal tersebut dinamakan dengan ‘Aql Bi Al-Malakat. Ketika akal lebih berkembang lagi dengan metode silogisme atau kerja akal lebih rasional lagi maka akal ini dinamakan dengan ‘Aql Bi Al-‘Af’al. Tingkat akal yang lebih tinggi disebut Al-‘Aql Al-Mustafad. Yang dimaksud dengan akal mustafad adalah tingkat kemampuan intelek yang didalamnya selalu hadir pengetahuan-pengetahuan intelektual. Akal ini diperoleh dengan tanpa usaha seperti akal-akal sebelumnya. Akal sebelumnya bersidat aktif menciptakan pengetahuan, namun akal mustafad adalah akal pasif, tatapi pengetahuan-pengetahuan itu selalu hadir denga tanpa berfikir seperti akal-akal sebelumnya. Akal ini hanya dimiliki oleh beberapa orang khusus saja.
Kesimpulan
Psikologi Islam merupakan sebuah aliran baru dalam ilmu psikologi yang mendasarkan seluruh bangunan teori dan konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subyek dan obyek kajian dalam ilmu pengetahuan, harus dibedakan kepada tiga bentuk: (1) Islam sebagai ajaran; (2) Islam sebagai pemahaman dan pemikiran; serta (3) Islam sebagai praktek atau pengamalan. Islam sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku pada semua tempat dan waktu, bersifat absolut dan memiliki kebenaran normatif, yakni benar berdasarkan pemeluk agama tersebut, sehingga bebas ruang dan waktu. Islam sebagai pemahaman dan pemikiran, serta Islam sebagai praktek atau pengamalan selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Dan itu semua adalah fondasi awal untuk melakukan gagasan aktualisasi psikologi Islami.
Islam adalah sumber pedoman, pandangan dan tata nilai bagi kehidupan manusia. Disamping itu, karena didapati banyaknya cerita dan konsep tentang manusia dalam Al-Qur’an, Islam sendiri merupakan sumber ilmu pengetahuan. Psikologi Islam adalah wacana psikologi yang didasarkan pada pandangan dunia Islam. Pandangan-pandangan yang berasal dari khazanah Islam diambil sebagai dasar utama pengembangan psikologi Islam.
References
- Mujib Abdul, dkk PT Raja Grafindo Persada: Jakarta; 2002.
- Nashori Fuad, Pustaka Pelajar: Yogyakarta; 2002.
- 17:85 QS, Al-Qur'an. 2014.
- Ancok Djamuludin, dkk Pustaka Pelajar: Yogyakarta; 2011.
- Syarif Adnan, Pustaka Hidayah: Bandung; 2002.
- 5:32 QS, Al-Qur'an. 2014.
- 13:11 QS, Al-Qur'an. 2014.
- 8:12 QS, Al-Qur'an. 2014.
- 91:7-8 QS, Al-Qur'an. 2014; 91
- Shihab M. Quraish, Mizan: Jakarta; 2007.