Integrative Islamic Learning Shapes Students’ Religious Attitudes in Social Studies
Pembelajaran Islam Terpadu Mempengaruhi Sikap Keagamaan Siswa dalam Mata Pelajaran Ilmu Sosial
DOI:
https://doi.org/10.21070/jims.v7i2.1648Keywords:
Islamic Values, Integrative Learning, Social Studies, Religious Attitudes, Primary EducationAbstract
General Background: Developing students’ religious attitudes is a crucial aspect of character education in primary schools, particularly in the context of Social Studies learning. Specific Background: Integrative learning based on Islamic values offers opportunities to incorporate moral and spiritual dimensions alongside cognitive and psychomotor skills. Knowledge Gap: However, limited studies examine how such integrative approaches manifest in improving students’ daily religious practices and attitudes. Aims: This study investigates how integrative Islamic-based learning in Social Studies shapes the religious attitudes of fourth-grade students. Results: Findings indicate that students exposed to integrative learning demonstrate significant improvements in cognitive understanding, affective disposition, psychomotor engagement, and the practical application of religious values in daily life. Novelty: This study highlights a comprehensive framework linking Islamic values to multiple learning domains, providing evidence beyond conventional moral education approaches. Implications: The findings suggest that embedding spiritual and moral elements within standard curricular subjects can foster holistic development, guiding educators in designing value-oriented learning activities that influence both classroom behavior and everyday practices.
Highlights:
-
Integrative learning promotes holistic development across cognitive, affective, and psychomotor domains.
-
Practical application of religious values in daily life is enhanced.
-
Provides a model for embedding moral-spiritual education within standard subjects.
Keywords: Islamic Values, Integrative Learning, Social Studies, Religious Attitudes, Primary Education
Pendahuluan
Perkembangan zaman yang ditandai dengan banyaknya inovasi di berbagai bidang menuntut masyarakat untuk memiliki kompetensi yang unggul agar mampu bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan sosial. Pendidikan menjadi faktor penting dalam menunjang profesionalitas dan kredibilitas seseorang. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu tanpa adanya diskriminasi. Pendidikan tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak tipikal, tetapi juga bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas, yang dahulu dikenal dengan istilah anak berkebutuhan khusus, merupakan individu dengan keterbatasan tertentu yang dapat berupa fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berdampak terhadap perkembangan mereka. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat 2, 3, dan 4 mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial, anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; dan anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil sehingga mereka semua berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan komitmen tinggi dalam menyediakan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas dengan menunjuk sejumlah sekolah sebagai sekolah inklusif. Sekolah inklusif merupakan inovasi pendidikan yang bertujuan mewujudkan pemerataan akses pendidikan bagi semua warga negara. Sekolah ini memungkinkan penyandang disabilitas untuk belajar bersama siswa lain dalam satu lingkungan yang setara, tanpa diskriminasi, dan dengan memperhatikan kebutuhan individual mereka [1]. Dalam pendekatan konstruktivisme, proses pembelajaran di sekolah inklusif menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang belajar melalui pengalaman, interaksi sosial, dan keterlibatan langsung dalam kegiatan belajar. Agar pembelajaran inklusif berjalan efektif, guru dituntut untuk mampu mengakomodasi keberagaman karakteristik peserta didik, serta
menciptakan suasana kelas yang aman, mendukung, dan responsif terhadap kebutuhan semua peserta didik. Guru tidak hanya bertugas meningkatkan capaian akademik peserta didik reguler, tetapi juga menyusun strategi pembelajaran yang sesuai untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas (PDPD). Kolaborasi antara guru reguler sebagai guru kelas dan Guru Pendamping Khusus (GPK) menjadi sangat krusial dalam pelaksanaan Pendidikan Inklusif. GPK berperan mendukung guru dalam memberikan intervensi khusus berdasarkan kebutuhan PDPD.
Pada pelaksanaannya, sekolah inklusif di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, antara lain kurangnya kesiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif yang bermutu, keterbatasan GPK, kurangnya bahan ajar yang sesuai, media pembelajaran yang kurang memadai, dan lemahnya pengelolaan kelas. Guru kelas juga sering kali belum memiliki kompetensi atau kesiapan dalam merancang dan menerapkan pembelajaran yang adaptif. Sekolah inklusif dituntut tidak hanya membuka akses secara fisik, tetapi juga menyesuaikan proses pembelajaran agar mampu memenuhi kebutuhan belajar semua peserta didik. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru memiliki peran penting sebagai fasilitator yang menyediakan pengalaman belajar bermakna, bukan sekadar sebagai penyampai materi.
Sekolah penyelenggara inklusif perlu memiliki pedoman yang kuat untuk menjamin mutu pendidikan. Mutu pendidikan inklusif yang baik dapat ditinjau dengan terpenuhinya Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang ditetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses. SNP Permendikbudristek Nomor 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pembelajaran yang bermutu. Standar ini mencakup tiga komponen utama, yaitu: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran di dalamnya menekankan proses pembelajaran yang interaktif, partisipatif, kontekstual, dan memberikan ruang bagi penguatan karakter serta pengembangan potensi peserta didik sesuai dengan tahap perkembangan dan kebutuhan mereka. Dalam konteks sekolah inklusif, pelaksanaan pembelajaran menuntut adaptasi dan strategi khusus agar anak berkebutuhan khusus dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, standar proses dapat dijadikan pedoman oleh setiap guru dalam pengelolaan proses pembelajaran serta menentukan komponen- komponen yang dapat mempengaruhi pendidikan [2].
Berdasarkan hasil observasi pada tanggal 26 November 2024, SD Muhammadiyah 2 Tulangan merupakan salah satu sekolah inklusif swasta di Kabupaten Sidoarjo yang telah menyelenggarakan pendidikan inklusi sejak tahun 2012. Sekolah ini memberikan layanan pendidikan yang setara bagi semua peserta didik, termasuk 39 PDPD yang tersebar di berbagai jenjang kelas. Branding sekolah inklusif menjadi motivasi sendiri untuk sekolah memberikan pelayanan yang maksimal untuk PDPD dengan berbagai jenis hambatan. SD Muhammadiyah 2 Tulangan secara aktif mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inklusif dan ramah anak melalui berbagai program untuk megembangkan potensi PDPD. Oleh karena itu, penting untuk menelaah bagaimana pelaksanaan pembelajaran di sekolah ini diimplementasikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pemerintah, khususnya dalam kerangka pendidikan inklusif.
Beberapa penelitian membahas mengenai Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar, yang dilakukan Zanuar Prastiwi dan Muhammad Abduh. Penelitian tersebut menganalisis terkait “Implementasi Pembelajaran Inklusi di Sekolah Dasar”. Penelitian tersebut menganalisis terkait proses penerapan pembelajaran inklusif yang menekankan pendekatan yang berpusat pada siswa, mengadaptasi modifikasi kurikulum berdasarkan kebutuhan individu, dan memastikan bahwa guru pembimbing khusus mengelola lingkungan belajar secara efektif. Penelitian yang lain dilakukan oleh Desy Eka Citra Dewi dan Elfahmi Lubis yang berjudul “Implementation of Adaptive Management To Improve The Quality of Process Standards In Inclusion Schools”. Penelitian ini berfokus pada manajemen adaptif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk mengkaji bagaimana sekolah mengelola pembelajaran bagi PDPD.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah secara khusus dilakukan untuk meninjau sejauh mana pelaksanaan pembelajaran dan pemberian praktik layanan tambahan di SD Muhammadiyah 2 Tulangan telah memenuhi indikator dalam Permendikbudristek Nomor 16 Tahun 2022. Peninjauan ini memuat pelaksanaan proses pembelajaran dengan mempertimbangkan prinsip inklusivitas dan pendekatan konstruktivistik dalam setiap aspeknya. Penelitian ini diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai praktik pembelajaran di sekolah inklusif, khususnya bagaimana guru menerapkan standar proses dalam konteks keberagaman siswa. Penelitian ini juga bertujuan memberikan kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan inklusif yang adaptif, serta menjadi bahan evaluasi dan acuan pengembangan bagi pihak sekolah serta pemangku kebijakan dalam meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Metode
Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Jenis penelitian digunakan untuk memahami lebih lanjut terkait implementasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan sekolah inklusif dengan mengacu pada SNP Permendikbudristek No. 16 tahun 2022 agar dapat meningkatkan mutu sekolah. Studi kasus dilakukan dengan mengeksplorasi secara mendalam terhadap suatu proses, kejadian, program, atau
aktivitas [3]. Oleh karena itu, peneliti harus melakukan analisis mendalam terhadap suatu fenomena tertentu dalam konteks nyata kehidupan sehari hari untuk mengungkap keunikan yang ada pada fenomena tersebut.
Penelitian ini dilakukan di SD Muhammadiyah 2 Tulangan sebagai salah satu sekolah dengan branding sekolah inklusif di Kota Sidoarjo. SD Muhammadiyah 2 Tulangan juga merupakan rujukan bagi sekolah lain yang akan menyelenggarakan sekolah inklusif untuk melakukan study banding. Guru kelas 6 Qatar dan Penanggung Jawab (PJ) inklusi dipilih sebagai subjek penelitian. PJ Inklusi bertugas sebagai koordinator dari penyelenggaraan program inklusif sekaligus sebagai GPK yang bertanggung jawab membuat bahan ajar, PPI, dan memberi layanan khusus secara berkesinambungan pada PDPD. Guru kelas 6 Qatar sebagai guru kelas yang didalam kelasnya terdapat peserta didik dengan maupun tanpa pendampingan GPK. PDPD tanpa pendampingan menjadi tanggung jawab guru kelas selama pembelajaran. Guru kelas berkewajiban membimbing, mengarahkan, dan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan untuk semua peserta didik.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terstruktur yang ditujukan pada guru kelas 6 Qatar dan PJ Inklusi untuk menggali data terkait implementasi pelaksanaan praktik pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan. Observasi langsung juga dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana proses implementasi dilakukan. Peneliti menggunakan triangulasi yang melibatkan pengumpulan data dan analisis data menggunakan berbagai sumber data, metode, teori, atau peneliti. Pendekatan triangulasi sumber digunakan dalm penelitian ini untuk menggali informasi mendalam dari 2 narasumber yang memiliki tugas berbeda untuk memperkuat, memperluas, atau melengkapi informasi dari berbagai pihak dalam konteks yang sama, tetapi dengan peran dan perspektif yang berbeda. Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada [4]. Triangulasi sumber data digunakan menggali kebenaran informasi tertentu dengan menggunakan berbagai sumber data seperti hasil wawancara, hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Tringulasi melibatkan pengumpulan dan analisis data menggunakan berbagai sumber data, metode, teori, atau peneliti. Analisis data dalam peneltiian ini menggunakan prosedur dari Miles dan Huberman yang terdiri atas tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan [5]. Prosedur ini juga sejalan dengan pendapat ahli yang menyatakan bahwa analisis data kualitatif dilakukan secara berkelanjutan selama dan setelah proses pengumpulan data berlangsung [6]. Secara skematis proses analisis data menggunakan model analisis data interaktif Miles dan Huberman dapat dilihat pada bagan berikut :
Figure 1. Model Analisis Data Miles dan Huberman
Prosedur pertama adalah mereduksi data yang artinya dalam penelitian ini peneliti perlu melakukan penyederhanaan dan pengorganisasian data mentah ke dalam bentuk yang lebih fokus dan bermakna melalui kegiatan seperti membuat ringkasan, mengkode, dan mengelompokkan data. Prosedur kedua adalah penyajian data yang artinya menyajikan data dalam bentuk tabel, bagan, narasi dan sejenisnya sehingga memudahkan peneliti dalam menarik kesimpulan. Kemudian terakhir yaitu penarikan kesimpulan yang artinya peneliti memberikan kesimpulan serta verifikasi data yang diperoleh untuk memastikan validitas temuan. Keabsahan data dalam penelitian ini diperoleh melalui triangulasi teknik, yaitu dengan membandingkan dan mengonfirmasi data dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Peneliti berperan sebagai instrument utama dalam penelitian ini, mulai dari proses pengumpulan data hingga analisis dan penyimpulan. Untuk mendukung pengumpulan data, peneliti juga menggunakan instrument bantu seperti pedoman wawancara, alat perekam suara, catatan lapangan, dan kamera untuk dokumentasi visual.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam terkait impelemtasi pelaksanaan pembelajaran sesuai standar proses Permendikbud 2022 di sekolah inklusif. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi sumber untuk menggali informasi mendalam dari 2 narasumber yang memiliki tugas berbeda untuk memperkuat, memperluas, atau melengkapi informasi dari berbagai pihak dalam konteks yang sama, tetapi dengan peran dan perspektif yang berbeda. Pada bab ini disajikan hasil temuan penelitian berdasarkan wawancara pada dua narasumber dengan peran
yang berbeda, observasi, dan dokumentasi yang dilakukan di Sekolah Inklusif SD Muhammadiyah 2 Tulangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam bentuk implementasi pelaksanaan pembelajaran yang sesuai standar proses Permendikbud 2022.
Penyelenggaraan sekolah inklusif juga didukung dengan pelaksanaan kegiatan pembelajaran, suasana kelas, pendampingan, dan penguatan karakter sesuai dengan panduan pelaksanaan pendidikan inklusif. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2024/2025 dengan instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara dan lembar observasi disusun berdasarkan indikator pada standar proses Permendikbud 2022 bagian pelaksanaan pembelajaran serta panduan pelaksanaan pendidikan inklusif Permendikbud 2022. Seluruh data diperoleh secara triangulatif, yaitu dengan membandingkan berbagai sumber data seperti hasil dokumentasi kegiatan, hasil observasi, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.
SD Muhammadiyah 2 Tulangan merupakan sekolah swasta di Kabupaten Sidoarjo yang memiliki branding sebagai sekolah inklusif. Hingga saat ini, SD Muhammadiyah 2 Tulangan memiliki 39 PDPD dengan jenis hambatan yang berbeda-beda. Beberapa hambatan yang dimiliki diantaranya ASD, Slow Learner, Speech Delay, ADHD, Boderline, Disleksia, Intelektual, Pendengaran, dan Penglihatan.
Figure 2. Jenis Hambatan PDPD di SD Muda
Meskipun beberapa PDPD memiliki jenis hambatan yang sama, sekolah tetap memfasilitasi PDPD dengan menyediakan program serta pendampingan yang sesuai dengan kebutuhan. Pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan tidak jauh berbeda dengan sekolah umum. Perbedaan terletak pada sistem sekolah yang menggunakan model two-teachers dengan melibatkan guru GPK untuk mendampingi PDPD saat pelaksanaan pembelajaran.
A. Pelaksanaan Pembelajaran
Bagian ini menyajikan temuan kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup pada pelaksanaan pembelajaran inklusif di SD Muhammaiyah 2 Tulangan. Data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi yang dirangkum pada tabel berikut.
No | Aspek | Wawancara Guru | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Melibatkan peserta didik dalam menyusun rencana belajar, menetapkan target individu/kelompok, dan memonitor pencapaian hasil belajar | PD tidak dilibatkan secara langsung dalam penyusunan rencana belajar Guru menetapkan kesepakatan batas waktu pengumpulan tugas dan memberipengayaan bagi yang selesai lebih cepat. | PD dengan komunikasi baik dilibatkan, menggunakan pertanyaan langsung atau visualsupport; jika komunikasi terbatas, GPK menentukan rencana sesuai kebutuhan. | Guru menyampaikan rencana belajar secara terbuka GPK memstimulus pemahaman PDPD dengan visual schedule guru dan GPK memberi peringatan waktu sebelum pengumpulan tugas | Data wawancara dan observasi menunjukkan kesamaan pola bahwa pelibatan PD dan PDPD berbeda tingkatnya, PD mendapat kesepakatan umum, sedangkan PDPD mendapatkan intervensi personal. Observasi memperkuat bahwa GPK berperan aktif dalam memodifikasi penyampaian rencana dan target menggunakan media visual. Hal ini menunjukkan adanya penerapan prinsip diferensiasi dalam pelaksanaan kegiatan pendahuluan sesuai Standar Proses. |
Berdasarkan tabel 1, hasil wawancara dengan guru kelas menunjukkan pelibatan peserta didik reguler dalam penyusunan rencana belajar belum dilakukan secara langsung. Perencanaan pembelajaran sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru. Guru kelas berupaya membangun rasa tanggung jawab dan disiplin belajar melalui kesepakatan bersama di awal pembelajaran, terutama terkait batas waktu pengumpulan tugas. Kesepakatan ini bersifat mengikat untuk semua PD, tanpa membedakan tingkat kemampuan. Selain itu, guru memberikan pengayaan berupa soal tambahan kepada PD yang mampu menyelesaikan tugas lebih cepat. Strategi ini digunakan agar PD tetap memiliki aktivitas pembelajaran yang bermakna sambil menunggu PD yang lain menyelesaikan tugasnya. Pemantauan pencapaian hasil belajar dilakukan melalui observasi langsung terhadap proses kerja PD, kecepatan penyelesaian, serta hasil akhir tugas yang dikumpulkan.
GPK menjelaskan bahwa proses pelibatan PDPD dilakukan dengan pendekatan individual yang mempertimbangkan kemampuan komunikasi dan kesiapan belajar masing-masing PDPD. Apabila PDPD memiliki kemampuan komunikasi yang baik, GPK memberikan kesempatan untuk menentukan urutan atau bagian materi yang ingin dipelajari terlebih dahulu. Hal ini bertujuan menumbuhkan motivasi intrinsik. GPK menggunakan media bantu seperti visual support (kartu bergambar atau pilihan aktivitas) dan visual schedule yang memuat urutan kegiatan belajar untuk PDPD yang kurang komunikatif. Terkadang GPK melakukan negosiasi sederhana seperti, “Mau belajar dulu atau main dulu? Kalau mau main dulu, waktunya hanya 5 menit ya! Setelah itu kita belajar”. Strategi ini dilakukan untuk mengurangi resistensi terhadap tugas. Namun, apabila kondisi PDPD tidak memungkinkan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, rencana pembelajaran akan langsung ditetapkan oleh GPK sesuai kebutuhan PDPD.
Hasil observasi menunjukkan bahwa temuan di lapangan memperkuat keterangan hasil wawancara baik dari guru kelas maupun GPK. Terlihat pada awal pembelajaran guru mengajak seluruh peserta didik duduk melingkar atau berbaris membentuk kereta untuk menyampaikan rencana belajar secara lisan. PDPD duduk di dekat GPK, yang langsung mengambil peran untuk memberikan penjelasan ulang secara individual menggunakan visua schedule agar PDPD lebih mudah memahami urutan kegiatan yang akan dilakukan pada hari itu. Sebelum memulai tugas, guru menetapkan target individu kepada peserta didik, sedangkan GPK memastikan bahwa PDPD memahami instruksi dan pemberian tugas sesuai kemampuan masing-masing. Saat mendekati waktu pengumpulan tugas, guru memberikan peringatan waktu seperti “10 menit lagi” atau “5 menit lagi” kepada seluruh kelas, dan GPK mengulangi peringatan tersebut secara langsung kepada PDPD untuk memastikan mereka memahaminya.
Hasil triangulasi dari wawancara guru kelas, wawancara GPK, dan observasi menunjukkan adanya pembagian peran yang jelas namun saling melengkapi dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran di kelas inklusi.
No | Kegiatan | Guru Kelas | GPK |
1111 | Penyusunan rencana belajar | Menyampaikan tujuan pembelajaran, mata pelajaran, dan alur kegiatan.Memberi ruang peserta didik untuk bertanya dan menyampaikan usulan.Menyesuaikan kegiatan dengan preferensi peserta didik. | Menggunakan visual schedule alur kegiatan.Menyusun strategi pendekatan individual dengan komunikasi verbal atau bantuan visual. |
223 | Menetapkan target individu/kelompokMonitoring pencapaian hasil belajar | Menetapkan target individu atau kelompok.Pengamatan langsung saat proses belajarPemberian refleksi | Menetapkantargetindividu secara adaptif dengan visual supportMenetapkan target langsung saat PDPD belum mampu berinteraksiPengamatan langsung saat proses belajarKetercapaian targetdalam program penilaian harian |
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa perencanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi aktif seluruh peserta didik sejak tahap awal pembelajaran. Guru kelas menyampaikan tujuan pembelajaran, mata pelajaran yang akan dipelajari, serta alur kegiatan. Peserta didik juga diberikan kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan preferensi terhadap metode atau aktivitas belajar. GPK turut membantu PDPD dalam pemahaman rencana belajar melalui visual schedule yang menampilkan urutan kegiatan secara sistematis
Penggunaan visual schedule sejalan dengan teori Cognitive Load yang menyatakan bahwa penyajian informasi secara visual mampu mengurangi beban kognitif dan mempercepat pemahaman, khususnya bagi peserta didik dengan gaya belajar visual atau hambatan bahasa [7]. Hal ini diperkuat oleh temuan yang menunjukkan bahwa visual schedule dapat meningkatkan prediktabilitas aktivitas dan mendukung pengembangan regulasi diri pada anak berkebutuhan khusus[8].
Penetapan target belajar dilakukan secara adaptif dan partisipatif. Guru kelas menetapkan target individu maupun kelompok melalui kesepakatan bersama peserta didik. Target individu ditentukan berdasarkan batas waktu penyelesaian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing peserta didik. Sementara itu, target kelompok dikemas dalam bentuk kegiatan kolaboratif yang mengacu pada Project Based Learning (PBL), Game Based Learning (GBL), dan pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT). Pendekatan ini sejalan dengan konsep student-centered learning yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam perencanaan dan pencapaian tujuan belajar [9].
GPK menetapkan target individu PDPD dengan mempertimbangkan kemampuan komunikasi dan kebutuhan personal. Apabila PDPD mampu berkomunikasi, mereka diajak berdiskusi untuk menentukan urutan kegiatan belajar. Sebaliknya, apabila komunikasi masih terbatas, GPK menggunakan visual support berupa gambar atau simbol sebagai media pilihan, sesuai prinsip komunikasi augmentatif dan alternatif [10]. Dalam kondisi tertentu, ketika anak belum siap berinteraksi atau secara emosional belum terkondisi, GPK menetapkan kegiatan secara langsung untuk menjaga konsistensi dan struktur pembelajaran.
Monitoring pencapaian hasil belajar dilakukan secara berkesinambungan oleh guru kelas dan GPK selama proses pembelajaran. Guru kelas memantau keterlibatan peserta didik melalui interaksi langsung, tanya jawab, identifikasi kesulitan belajar, pemberian bantuan, dan refleksi sederhana. Sementara itu, GPK memantau tingkat kemandirian PDPD, penggunaan media atau alat bantu, serta ketercapaian target harian yang di tetapkan GPK dalam Program Pembelajaran Individual (PPI). Pelaksanaan PPI di SD Muhammadiyah 2 Tulangan dirancang untuk terintegrasi secara optimal dalam kegiatan pembelajaran reguler. Strategi ini mencerminkan penerapan assessment for learning yang menekankan penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran untuk memberikan umpan balik konstruktif yang mendukung perkembangan belajar peserta didik [11].
Kesamaan yang muncul dari semua sumber adalah adanya upaya sistematis untuk memastikan seluruh peserta didik, baik PD maupun PDPD dapat memahami rencana belajar dan target yang harus dicapai. Perbedaan terletak pada pendekatan yang dilakukan guru kelas dan GPK saat kegiatan pendahuluan. Guru kelas menggunakan metode kolektif dengan instruksi umum yang sama untuk semua PD, sedangkan GPK menyesuaikan metode dengan kebutuhan individual PDPD. Perbedaan ini perlu dilakukan karena karakteristik peserta didik yang beragam dan pembagian peran yang diatur dalam sistem pembelajaran inklusif, sehingga kegiatan tetap dapat dilakukan dengan kondusif.
Kegiatan pendahuluan tidak hanya berfungsi sebagai pembuka pembelajaran, tetapi juga sebagai tahap adaptasi bagi PDPD. Bagi PD, kesepakatan umum melatih kedisiplinan dan kemampuan manajemen waktu. Bagi PDPD, pendampingan personal membantu menciptakan rasa aman, struktur yang jelas, dan pemahaman yang lebih baik terhadap alur pembelajaran. Observasi membuktikan bahwa kedua pendekatan ini berjalan paralel dan konsisten, menandakan bahwa strategi yang diterapkan merupakan bagian dari prosedur rutin, bukan improvisasi sesaat.
No | Aspek | Wawancara Guru | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Berinteraksi secara dialogis denganmodifikasi cara | Membentuk kelompok heterogen, penugasan kolaboratif, rotasi tempat duduk 2 minggu sekali, membangun sikap saling menghargai. membangun sikap saling menghargai. | Memanfaatkan aktivitas bersama sebagai mediasosialisasi, memilih teman sebaya yang kooperatif,menyediakan mainan kelompok,memfasilitasi interaksi awal dengan pertanyaan sederhana. | Guru dan GPK mendorongkomunikasi 2 arah melalui diskusi,penugasan kelompok, pengaturan tempat duduk, dukungan teman sebaya. | Strategi dilakukan dengan konsisten, guru membentuk struktur interaksi, GPK memfasilitasiadaptasi sosial PDPD. |
2 | Berkomunikasi efektif dan aktif | Mengenali minat, ketidaksukaan,karakteristik PDPD, menggunakan topik yang disukai untuk membangunkenyamanan, memberi ruang untuk saling terbuka dan meminta bantuan | Melibatkan PDPD dalam aktivitaskolaboratif, memberi informasi ke guru terkait PD yangdapat menjadi pendukungkomunikasi PDPD | Guru dan GPK memfasilitasiinteraksi dengan bahasa sederhana,visual support, dan aktivitaskontekstual. | Keduanyamenciptakankomunikasi aman dan inklusif, observasi mendukungpenerapan di kelas |
3 | Berkolaborasi untuk menumbuhkan gotong royong | Mengajak PD dan PDPD terlibat dalam aktivitas bersamaseperti piket, permainanberkelompok, dan diskusi kelompok. | Mengidentifikasi PD yang mampu mendukung PDPDdalam kerja sama kelompok. | Kegiatan gotong royong terlihat saat piket, tugaskelompok, dan permainanedukatif. | Strategi salingmelengkapi, gurumembangun kegiatan,GPK memilihdukungan teman sebaya. |
4 | Memantik ide, imajinasi, dankecakapan hidup | Menyesuaikan materi dengan minat PDPD, kegiatan kreatif,eksperimen sederhana, mengaitkanpembelajaran dengan pengalaman nyata. | Memodifikasikegiatan praktiksesuai kemampuan PDPD,menggunakan variasi media pembelajaran, mengintegrasikanlife skill dalam PPI | Life skilldilakukan rutin, PDPD terlibat dalam jual belisederhana, melipat baju, dancraftivity. | Konsistensi cukuptinggi dari kolaborasi Guru dan GPK, guru memantik ide, GPK memodifikasi agarsesuai kemampuan individu PDPD. |
5 | Memfasilitasi sumber belajar variatif | Menggunakan buku teks, media digital,perpustakaan, internet, dan platform visual-interaktif. | Menggunakan buku modifikasi, APE,media digital, praktik langsung, danaplikasi edukatif | Guru memutar videopembelajaran,menyediakan buku kreatif, APE, dan media digital | Kedua pihak memanfaatkan sumber belajarvariatif, disesuaikan kebutuhan. |
6 | Variasi metode pembelajaran khusus | Worksheet diferensiasi gaya belajar, CTL,kooperatif, eksperimen langsung. | Permainan edukatif, tanya jawab,eksperimen, pembelajarantambahan di luar jam umum. | Metode bervariasi, pembelajarantambahandilakukan di ruang sumber. | Strategi mendukung: guru variasikanmetode, GPKmemberi penjelasan tambahan. |
7 | Mengakomodasi keberagaman | Pemberian edukasi untuk saling menghormati, | Modifikasi worksheet inklusi disesuaikanhambatan individual.PPI sesuaikarakteristik PDPD | Pembelajaraninklusif terlihat dari modifikasi materi dankegiatan. | Konsistensi kuat antara hasilwawancara dengan temuan di lapangan |
8 | Modifikasi isi materi | Tidak melakukan modifikasi untukmateri pada worksheet regular | Memodifikasi WS sesuai kemampuan masing-masingindividu | Modifikasi terlihat di WS inklusi &kegiatan. | Modifikasi selaras antara GPK dan hasil observasi. |
9 | Mengembangkan dan mengomunikasikan gagasan baru | Memberi pertanyaan pemantik atau memanggil nama PDPD untuk berani mengomunikasikan gagasan | Membantu menjelaskan maksud PDPD agar dapat dipahami orang lain | PDPD mengemukakan pendapat dan berani maju presentasi, GPK memberi bimbingan secara verbal/visual. | Strategi mengembangakan kemampuan PDPD untuk berani mengomunikasika gagasan, sejalan dengan temuan hasil observasi |
10 | Membiasakan manajemen diri | Mengingatkanmenyelesaikan tugas, mengajak mengerjakan tugas bersama,memberi negosiasi untuk memotivasi. | Menggunakan visual support, jadwalharian, penjelasan kegiatan jangkapendek & panjang agar PDPD mandiri | PDPD mengikuti jadwal kegiatan yang diberikandengan lancar. | Data konsisten, guru membangunkebiasaan, GPK memfasilitasi alat bantu visual PDPD |
Berdasarkan tabel 3. Diketahui bahwa kegiatan inti dalam pembelajaran inklusif di SD Muhammadiyah 2 Tulangan memenuhi prinsip Standar Proses No. 16 Permendikbudristek 2022, di mana interaksi dialogis, komunikasi efektif, kolaborasi, pengembangan ide, dan pengakomodasian keberagaman menjadi inti proses belajar. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa guru kelas dan GPK memiliki peran yang saling melengkapi dalam mewujudkan prinsip tersebut, dengan kombinasi strategi yang konsisten dan adaptif terhadap kondisi nyata di kelas.
Hasil wawancara menunjukkan guru berperan sebagai pengatur struktur interaksi di kelas dalam menciptakan interaksi dialogis. Guru membentuk kelompok belajar heterogen yang mencampurkan peserta didik regular dan PDPD secara merata. Strategi ini diiringi dengan rotasi tempat duduk setiap dua minggu sekali agar setiap peserta didik memiliki kesempatan berinteraksi dengan teman yang berbeda, sehingga menghindarkan kecenderungan memilih- milih teman. Guru juga mengatur penugasan kelompok yang mendorong kerja sama, baik dalam menyelesaikan tugas akademik maupun aktivitas sederhana seperti berbagi crayon saat mewarnai. Strategi yang dilakukan guru bertujuan agar PDPD merasa diterima dan PD juga dapat belajar untuk menghargai keberagaman melalui interaksi yang terjalin selama pelaksanaan pembelajaran.
GPK melengkapi strategi ini melalui adaptasi sosial yang lebih personal. GPK memilih teman sebaya yang kooperatif untuk mengajak PDPD berinteraksi, memfasilitasi momen kebersamaan seperti duduk melingkar, makan bersama, atau sekadar bercakap ringan. GPK memberikan dorongan verbal, dengan memulai percakapan dan memberikan pertanyaan sederhana seperti "Bawa bekal apa?" atau "Berangkat sama siapa?" untuk PDPD yang belum memiliki inisiatif memulai percakapan. Selain itu, GPK menyediakan mainan atau aktivitas berkelompok sebagai pemicu interaksi sosial, terutama bagi PDPD yang belum menguasai komunikasi verbal dengan baik.
Hasil temuan di lapangan memperlihatkan bahwa interaksi ini berjalan secara alami. Guru kelas memandu pembelajaran dengan diskusi dua arah, sementara GPK memastikan PDPD tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga peserta aktif. Guru juga melakukan pendekatan dalam interaksi dialogis dengan mengajak peserta didik regular maupun PDPD untuk mengerjakan tugas bersama atau meminta bercerita tentang dirinya. Bimbingan yang diberikan juga beragam, seperti membacakan cerita, mengajak peserta didik melakukan tanya jawab, atau membantu peserta didik mengerjakan tugas dengan mendikte jawaban. Kegiatan ini tidak hanya membangun keterampilan akademik, tetapi juga mepererat kedekatan melalui interaksi antara guru dan semua peserta didik
Dalam menciptakan komunikasi efektif dan aktif, Guru berpendapat bahwa komunikasi efektif perlu dibangun melalui proses pengenalan terhadap minat, ketidaksukaan, dan karakteristik masing-masing PDPD. Tahap awal ini penting untuk memahami kebutuhan dan preferensi PDPD sehingga guru dapat menyesuaikan pendekatan komunikasi yang digunakan. Dalam proses pembelajaran, guru mengajak PDPD berbicara mengenai hal-hal yang disukai hingga aktivitas kesehariannya, dengan tujuan menciptakan rasa nyaman dan membangun hubungan emosional yang positif. Pendekatan ini membuat PDPD merasa diakui sebagai bagian dari kelas, sehingga meningkatkan rasa percaya diri mereka. Kondisi tersebut berdampak pada keterbukaan PDPD untuk berbagi cerita dan meminta bantuan kepada guru ketika mengalami kesulitan dalam belajar. Dengan demikian, komunikasi yang terjalin tidak hanya memudahkan guru dalam menyampaikan materi, tetapi juga menciptakan suasana belajar yang lebih inklusif dan suportif.
GPK memperkuat komunikasi efektif ini melalui kegiatan kolaboratif yang memerlukan kerja sama, seperti piket bersama atau diskusi kelompok. Ia juga memberikan informasi kepada guru kelas tentang peserta didik regular yang memiliki potensi menjadi teman yang dapat mendukung kemampuan interaksi dan berbahasa bagi PDPD. Dengan cara ini, interaksi antara PDPD dan peserta didik regular tidak hanya terjadi karena pengaturan guru, tetapi juga tumbuh melalui dukungan sosial alami dari teman sebaya.
Hasil observasi menunjukkan bahwa komunikasi ini tidak terputus di tengah pembelajaran. Guru dan GPK menggunakan bahasa sederhana, bantuan visual, dan aktivitas kontekstual untuk mempermudah pemahaman. Bagi PDPD yang kesulitan berkomunikasi verbal, GPK menyediakan dukungan berupa visual support dan arahan bertahap, memastikan pesan dapat tersampaikan dan diterima dengan baik.
Pembelajaran inklusif di sekolah ini juga menginternalisasi nilai gotong royong. Guru kelas secara sengaja merancang kegiatan kolaboratif yang melibatkan seluruh peserta didik, seperti kegiatan piket kelas, permainan edukatif, diskusi kelompok, hingga proyek sederhana. Berdasarkan hasil wawancara, guru memberi arahan kepada peserta didik regular untuk mengajak PDPD beristirahat, makan, dan minum bersama pada waktu istirahat. Sebelum merancang kegiatan, guru terlebih dahulu berkoordinasi dengan GPK untuk memperoleh informasi mengenai aspek perkembangan PDPD yang masih perlu ditingkatkan, baik dalam ranah komunikasi, kognisi, maupun sosialisasi. Kolaborasi ini penting mengingat GPK memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai kebutuhan dan karakteristik PDPD. Bentuk kegiatan lain yang digunakan untuk menumbuhkan semangat gotong royong di antaranya adalah pelaksanaan piket kelas, permainan berkelompok, dan aktivitas yang melibatkan seluruh peserta didik. Berbagai kegiatan dilakukan guru untuk menumbuhkan jiwa gotong royong sekaligus memperkuat keterampilan komunikasi dan interaksi sosial antar peserta didik di lingkungan kelas inklusif.
Kolaborasi juga dilakukan dengan GPK melalui pelaksanaan piket kelas dan keterlibatan PDPD dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini, GPK mengidentifikasi dan menginformasikan kepada guru kelas terkait peserta didik regular yang dinilai mampu memberikan dukungan kepada PDPD dalam bersosialisasi, berkomunikasi, dan belajar bersama. Strategi ini bertujuan agar PDPD merasa memiliki teman dan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelas, sehingga nilai kebersamaan dan gotong royong dapat terinternalisasi secara alami melalui pengalaman langsung.
Berdasarkan hasil observasi, nilai gotong royong antara peserta didik regular dan PDPD terlihat saat bekerja sama menyapu lantai, merapikan kursi, atau menata buku saat kegiatan piket kelas. GPK mendampingi PDPD dengan memberi instruksi sederhana dan memberikan pujian setiap kali tugas berhasil dilakukan. Bentuk kolaborasi ini mengajarkan keterampilan sosial, rasa tanggung jawab, dan gotong royong secara alami.
Berdasarkan hasil wawancara, Guru kelas menciptakan suasana belajar yang dapat memantik ide dan daya imajinasi dengan menyelaraskan materi pembelajaran dengan minat serta hal-hal yang disukai PDPD. Pendekatan ini membuat PDPD merasa tertarik untuk mengikuti kegiatan belajar, sehingga mendorong mereka lebih berani bertanya dan berpartisipasi aktif.
Pendekatan pembelajaran berbasis kecakapan hidup diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran melalui kegiatan life skill dan craftivityyang bertujuan melatih keterampilan motorik PDPD. Materi yang digunakan mengacu pada kegiatan yang dilakukan sehari-hari, sehingga relevan dengan pengalaman nyata peserta didik. Kegiatan tersebut meliputi pembuatan popup, menganyam, dan aktivitas kreatif lainnya yang memungkinkan PDPD mengembangkan koordinasi motorik halus sekaligus kreativitas. Kegiatan life skill ini tidak hanya dilakukan di sekolah, tetapi juga dijadikan target yang harus dipraktikkan di rumah setiap hari. Pemantauan perkembangan dilakukan melalui buku hijau yang mengacu pada metode Contextual Teaching and Learning (CTL), sehingga pembelajaran lebih terarah, terukur, dan kontekstual.
Guru kelas menggunakan strategi dalam membantu PDPD agar dapat berani berimajinasi dan mengungkapkan ide dalam pembelajaran. Startegi dilakukan dengan menyesuaikan materi serta aktivitas sesuai dengan minat mereka. Pendekatan ini membuat PDPD lebih mampu untuk duduk tenang, fokus melihat, mendengarkan, dan terlibat dalam kegiatan belajar. Guru juga mengajak PDPD berinteraksi secara langsung melalui pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepada mereka, sehingga memberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat, ide, atau imajinasinya secara lebih percaya diri.
GPK mendukung aspek ini dengan melakukan modifikasi penyesuaian worksheet atau materi pembelajaran dengan unsur-unsur yang disukai PDPD, seperti benda, aktivitas, nama sendiri, atau nama teman yang disenangi. Strategi ini mampu menarik perhatian PDPD dan memicu PDPD dalam memberi respon atau komentar terkait gambar atau kegiatan yang disajikan. Dengan demikian, suasana belajar tidak hanya lebih menyenangkan, tetapi juga mendorong keterlibatan aktif, eksplorasi ide, serta pengembangan kreativitas secara alami. GPK menekankan Pembelajaran berbasis kecakapan hidupp pada pemahaman konsep uang, karena berkaitan langsung dengan keterampilan jual-beli yang dapat diterapkan PDPD dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, program life skill juga mencakup berbagai aktivitas sehari-hari seperti mencuci baju, membersihkan kotak bekal, melipat baju, dan melipat mukena. Integrasi kecakapan hidup dalam pembelajaran dilakukan melalui latihan membuat kalimat berpola, yang tidak hanya meningkatkan keterampilan berbahasa dan komunikasi PDPD, tetapi juga mengaitkan pembelajaran akademik dengan kebutuhan praktis mereka. aspek praktik dalam PPI juga menjadi bekal dalam meningkatkan kecakapan hidup PDPD.
Berdasarkan keterangan GPK lebih lanjut, motivasi langsung diberikan agar PDPD berani berimajinasi dan mengungkapkan ide saat pelaksanaan pembelajaran. GPK mendorong PDPD untuk mengangkat tangan saat ingin menyampaikan pendapat, dan apabila PDPD tidak menunjukkan inisiatif, GPK akan secara langsung meminta mereka mengangkat tangan serta menjawab pertanyaan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Pendekatan ini terbukti efektif, terutama bagi PDPD dengan kemampuan komunikasi yang baik, yang umumnya dapat berpartisipasi secara mandiri selama proses pembelajaran. Adaptasi pembelajaran dilakukan melalui modifikasi kegiatan praktik agar sesuai dengan kemampuan dan kenyamanan PDPD. Contohnya, dalam kegiatan wawancara, PDPD diperbolehkan hanya mewawancarai teman atau guru yang sudah dikenal. Selain itu, sumber belajar juga dimodifikasi dari berbagai media, termasuk buku yang disesuaikan, media pembelajaran interaktif, Alat Permainan Edukatif (APE), pengalaman langsung melalui praktik, serta pemanfaatan media digital seperti aplikasi MIKA dan permainan edukatif calistung. Pendekatan ini memungkinkan PDPD mengembangkan imajinasi, keterampilan komunikasi, dan keberanian mengungkapkan ide dalam suasana belajar yang aman dan terarah.
Observasi menunjukkan antusiasme tinggi dari PDPD ketika terlibat dalam kegiatan praktis ini. Mereka mampu mengikuti instruksi, berpartisipasi aktif, dan menunjukkan kemajuan pada keterampilan motorik maupun sosial. Guru kelas memanfaatkan berbagai sumber belajar, mulai dari buku teks, media digital, koleksi perpustakaan, hingga platform visual seperti YouTube, Canva, dan Pinterest. GPK menambah keberagaman ini dengan buku modifikasi, Alat Permainan Edukatif (APE), aplikasi MIKA, permainan edukatif calistung, dan praktik langsung. Semua sumber belajar ini disesuaikan dengan kebutuhan, gaya belajar, dan hambatan masing-masing peserta didik.Hasil observasi membuktikan bahwa penggunaan sumber belajar ini efektif meningkatkan keterlibatan peserta didik. PDPD terlihat fokus saat mengamati video pembelajaran singkat dan mampu mengikuti instruksi pada worksheet kreatif yang disiapkan khusus.
Variasi Metode dan Pembelajaran Khusus juga diberikan. Guru kelas menggunakan metode beragam seperti Contextual Teaching and Learning, pembelajaran kooperatif, eksperimen langsung, diskusi, dan permainan edukatif. Sementara itu, GPK mengintegrasikan metode tanya jawab, eksperimen, dan penjelasan tambahan di luar jam belajar umum. Pemberian penjelasan atau pembelajaran khusus di luar jam belajar umum juga diberikan GPK kepada PDPD tanpa pendampingan. Pemberian jam khusus dilakukan untuk memberi pemahaman lebih lanjut terkait materi serta pemberian program untuk PDPD tanpa pendampingan agar kemampuan mereka tetap meningkat meskipun didampingi GPK
Observasi menunjukkan bahwa variasi metode ini membuat pembelajaran lebih dinamis, mencegah kejenuhan, dan membuka kesempatan lebih luas bagi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Berdasarkan hasil wawancara, Guru dan GPK sama-sama mengakomodasi keberagaman karakteristik peserta didik. Bagi PDPD, akomodasi dilakukan melalui modifikasi isi materi dengan berbagai teknik seperti penyederhanaan (simplifikasi), penggantian (substitusi), pengurangan (omisi), dan penyesuaian format penugasan sesuai kemampuan PDPD. Materi juga disusun sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangan peserta didik dengan mengacu pada RPP inklusi dan PPI. Observasi memperlihatkan bahwa modifikasi ini efektif: PDPD mampu menyelesaikan tugas sesuai kemampuan, dan bila mengalami kesulitan, materi kembali disesuaikan hingga dapat dikerjakan mandiri.
Pada aspek pengembangan gagasan baru dan manajemen diri saat proses pembelajaran, Guru kelas mendorong semua peserta didik untuk mengemukakan gagasan dengan memanggil nama mereka secara langsung dan memberikan pertanyaan terbuka. GPK membantu menjelaskan maksud ucapan PDPD agar dapat dipahami oleh seluruh kelas. Kesempatan presentasi di depan kelas juga diberikan sebagai kesetaraan kesempatan belajar untuk membangun rasa percaya diri. Dalam hal manajemen diri, guru melatih kemandirian peserta didik melalui pengingat penyelesaian tugas, sementara GPK menyediakan visual support dan jadwal harian. Pendekatan ini memudahkan PDPD memahami urutan kegiatan dan mengatur prioritas.
Hasil triangulasi memperlihatkan tingkat kesesuaian yang sangat tinggi antara wawancara dari guru kelas, GPK, dan hasil temuan observasi. Guru kelas dan GPK memiliki strategi yang berbeda fokus namun saling melengkapi. Guru kelas fokus pada pengelolaan umum yang meliputi mengatur struktur kelas, membangun budaya menghargai, merancang kegiatan kolaboratif, dan memastikan semua peserta didik terlibat dalam proses pembelajaran. GPK fokus pada adaptasi individual, yakni memilih teman sebaya yang mendukung perkembangan PDPD, menggunakan media khusus, memodifikasi materi, serta mendampingi PDPD dalam komunikasi dan interaksi sosial. Hasil observasi mengonfirmasi bahwa strategi tersebut diterapkan secara konsisten, meliputi interaksi nyata yang terlihat dalam kelompok belajar, komunikasi dua arah yang terjalin dengan bantuan stimulus, gotong royong yang terwujud dalam piket kelas, kreativitas yang muncul dalam kegiatan life skill, dan kemandirian PDPD yang meningkat melalui dukungan visual support. Triangulasi juga memperlihatkan bahwa meskipun ada perbedaan penekanan antara guru kelas dan GPK, hal itu justru memperluas cakupan praktik inklusif. Guru kelas menciptakan kerangka besar yang berlaku untuk seluruh peserta didik, sedangkan GPK mengisi detail kebutuhan individual. Sinergi ini membentuk sistem pembelajaran inklusif yang holistik, di mana tidak ada peserta didik yang terabaikan, sekaligus selaras dengan prinsip Standar Proses Nomor 16 Permendikbudristek Tahun 2022, yang menekankan interaksi dialogis, komunikasi efektif, kolaborasi, pengembangan ide, serta pengakomodasian keberagaman peserta didik.
Pengaturan kelompok belajar heterogen dan rotasi tempat duduk yang dilakukan guru kelas memungkinkan interaksi lintas karakteristik peserta didik, sehingga mencegah eksklusivitas dan meningkatkan toleransi. PDPD ditempatkan bersama peserta didik reguler untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, menghargai perbedaan, dan mengurangi sekat sosial. Strategi ini selaras dengan konsep social integration dalam pembelajaran kooperatif [12], yaitu bahwa kolaborasi dalam kelompok heterogen memungkinkan siswa dari latar belakang dan kemampuan berbeda saling bergantung secara positif, sehingga memupuk empati, kebersamaan, dan motivasi belajar. GPK melengkapi strategi ini dengan memilih teman sebaya yang suportif dan memfasilitasi momen kebersamaan, yang sejalan dengan konsep peer-mediatedinterventionyang terbukti efektif dalam meningkatkan interaksi sosial anak berkebutuhan khusus [13].
Pendekatan guru yang diawali dengan pengenalan karakter, minat, dan ketidaksukaan PDPD sejalan dengan teori student-centered communication, di mana komunikasi dibangun berdasarkan pemahaman personal terhadap peserta didik untuk menciptakan rasa aman psikologis. Dukungan GPK dalam menyediakan visual support dan penggunaan bahasa sederhana mengacu pada teori Cognitive Load yang menyatakan bahwa penyajian informasi visual mampu mengurangi beban kognitif, khususnya bagi peserta didik dengan hambatan bahasa. Aktivitas berkelompok seperti diskusi, pemecahan soal bersama, dan permainan edukatif dilakukan untuk membangun kerja sama, keterampilan sosial, serta komunikasi alami antar peserta didik. Guru dan GPK membimbing peserta didik untuk menerima keberadaan PDPD dan memberi dukungan sesuai kemampuan yang dimiliki PDPD. Guru kelas dan GPK bekerja sama dalam mengembangkan komunikasi PDPD melalui pembiasaan komunikasi dua arah. Strategi ini sejalan dengan teori komunikasi efektif yang menekankan bahwa komunikasi hanya terjadi jika ada umpan balik (feedback) yang memungkinkan pertukaran pesan secara dua arah dan meningkatkan pemahaman Bersama [4].
No | Jenis Sumber Belajar | Pengguna | Fungsi |
1 | Buku teks, internet | Guru Kelas | Referensi utama materi ajar reguler |
2 | Media digital (YouTube, Canva,Pinterest) | Guru Kelas dan GPK | Menyajikan materi secara menarik dan multimodal |
3 | Benda konkret, Alat PermainanEdukatif (APE) | GPK | Membantu pemahaman PDPD saat pelaksanaan pembelajaran |
4 | Aplikasi edukatif (Mika, gamecalistung) | GPK | Mendukung pembelajaran interaktifberbasis digital untuk PDPD |
5 | Pengalaman langsung (praktikkontekstual) | Guru Kelas dan GPK | Mengaitkan pembelajaran dengan dunia nyata (life skill, CTL) |
Berdasarkan tabel 4, guru dan GPK menyesuaikan sumber belajar dengan kebutuhan peserta didik. Guru kelas memanfaatkan buku teks, media digital, dan pengalaman langsung. Sedangkan GPK menggunakan media konkret, APE, dan aplikasi edukatif untuk membantu pemahaman PDPD. Pendekatan ini sejalan dengan teori Cognitive Load Sweller, yang menyatakan bahwa materi harus disajikan dengan mempertimbangkan kapasitas pemrosesan informasi siswa, serta prinsip pembelajaran multimodal yang menekankan penyajian materi melalui berbagai saluran sensorik untuk meningkatkan pemahaman, terutama bagi siswa dengan kebutuhan khusus [15].
Penggunaan bahan ajar dilakukan dengan modifikasi isi materi secara adaptif, menyesuaikan potensi, dan tahapan perkembangan PDPD. GPK secara khusus mengenali karakteristik dan kebutuhan PDPD sebagai dasar dalam menyusun bahan ajar dan menetapkan pendekatan pembelajaran yang relevan. Bahan ajar disusun dalam bentuk Worksheet Creative yang dimodifikasi menjadi bahan ajar utama dan digunakan secara rutin dalam proses pembelajaran. Modifikasi materi mengacu pada RPP Inklusif dan PPI yang disusun khusus untuk memenuhi target individual PDPD. Beberapa model modifikasi disesuaikan dengan kemampuan kognitif PDPD
No | Model Modifikasi | Deskripsi |
1 | Eskalasi | Percepatan atau perluasan materi bagi PDPD dengan potensi di atas rata-rata |
2 | Duplikasi | Materi dibuat sama persis dengan PD reguler tanpa perubahan |
3 | Simplifikasi | Materi disederhanakan sesuai kemampuan PDPD |
4 | Substitusi | Materi diganti sebagian dengan konten yang lebih sesuai |
5 | Omisi | Materi dihapus jika tidak memungkinkan dicapai oleh PDPD |
Berdasarkan tabel 5, pemilihan model modifikasi didasarkan pada observasi langsung dan komunikasi dengan orang tua. Pendekatan ini selaras dengan prinsip Universal Design for Learning (UDL), yang menekankan pentingnya fleksibilitas dalam penyajian materi untuk memastikan akses setara bagi semua siswa. Modifikasi dilakukan untuk memenuhi capaian individual PDPD yang tercantum dalam RPP Inklusif dan Program Pembelajaran Individual (PPI). Selain materi, adaptasi kegiatan juga dilakukan, seperti memodifikasi tugas wawancara agar PDPD hanya mewawancarai orang yang sudah dikenal untuk mengurangi kecemasan.
Kegiatan kontekstual juga digunakan melalui life skill dan craftivity seperti mencuci peralatan makan, menyapu, melipat baju, mencucui baju, membuat popup, dan menganyam yang diintegrasikan untuk menumbuhkan kemandirian. Kogeiatan kotekstual yang dilakukan di sekolah juga akan diterapkan di rumah sebagai praktek lanjutan yang telah dipelajari di sekolah. Strategi ini relevan dengan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) yang menyatakan bahwa pembelajaran bermakna terjadi ketika materi dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa [16]. GPK juga memberikan pendekatan secara personal dengan memberi pertanyaan langsung, memotivasi keberanian , dan memberikan instruksi sesuai kemampuan PDPD. Secara keseluruhan, strategi ini telah mencerminkan prinsip Standar Proses dalam SNP dan semangat Education for All, yakni menyediakan pembelajaran inklusif, adaptif, dan berbasis pada kebutuhan setiap peserta didik.
No | Aspek | Wawancara Guru | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Mengapresiasi bakat, minat, dan kemampuan peserta didik | Guru memberikan reward berupa benda maupun gambar yang disukai PD, serta apresiasi verbal untuk memberikan penguatan positif.Guru juga membangun budaya saling menghargai antar-PD dan mendorong mereka untuk saling memberi apresiasi. | Guru pendamping khusus mengikutser-takan PDPD dalam lomba sesuai potensi, memberi reward seperti bintang atau hadiah yang disepa-kati, dan pujian verbal langsung untuk memotivasi serta mempertahan-kan perilaku positif. | Guru meminta PDPD menampilkan bakat di depan kelas, mengarahkan PD lain untuk menghargai secara kondusif, memberi tepuk tangan atau pujian verbal. GPK memberi pujian sederhana dan gesture positif. | Data wawancara saling meleng-kapi. Observasi membuktikan praktik apresiasi sesuaipenjelasan guru kelas dan GPK. Dokumentasi mendukung melalui foto dan catatan kegiatan yang memper-lihatkan pembe-rian pengharga-an dan keterliba-tan PDPD dalam lomba. |
Berdasarkan data pada tabel 6, wawancara dari guru kelas dan GPK menunjukkan adanya keselarasan strategi apresiasi terhadap bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Guru kelas fokus pada penguatan motivasi internal dan pembentukan budaya saling menghargai di kelas, dengan cara memberikan reward berupa gambar atau benda yang disukai peserta didik, serta apresiasi verbal. Pendekatan ini sejalan dengan peran guru sebagai fasilitator yang menumbuhkan interaksi positif antar peserta didik.
GPK melengkapi strategi ini dengan pemberdayaan potensi melalui partisipasi dalam lomba atau kegiatan kompetitif yang sesuai dengan kemampuan PDPD. Selain itu, GPK juga menerapkan sistem reward seperti bintang atau hadiah kecil yang disepakati bersama, serta memberikan pujian verbal langsung untuk membangun kepercayaan diri PDPD. Dengan demikian, meskipun fokus guru kelas dan GPK berbeda, keduanya saling melengkapi, yakni guru kelas menekankan penguatan di dalam kelas, sedangkan GPK menekankan pengembangan potensi ke ranah eksternal. Hasil Observasi menunjukkan konsistensi dengan data wawancara. Guru dan GPK secara nyata melaksanakan praktik apresiasi di kelas, diantaranya PDPD diminta menampilkan bakat mereka di depan kelas dengan peserta didik lain diarahkan untuk memberi penghargaan, baik melalui tepuk tangan maupun pujian verbal. Sedangkan GPK juga membangun rasa percaya diri dengan menambah motivasi verbal dan gesture positif. Hal ini membuktikan bahwa apresiasi yang dilakukan bukan hanya wacana, tetapi telah diimplementasikan secara nyata, sehingga memperkuat
data wawancara.
Hasil triangulasi dari wawancara, observasi, dan dokumentasi menunjukkan tingkat kesesuaian tinggi. Data dari wawancara guru kelas dan GPK saling melengkapi, sementara observasi mengonfirmasi praktik yang telah dijelaskan. Dokumentasi berupa foto dan catatan kegiatan memperkuat bukti adanya pemberian penghargaan, keterlibatan PDPD dalam lomba, dan interaksi positif di kelas.
PDPD memerlukan pembiasaan secara bertahap untuk mengatur dirinya dalam proses belajar. Di SD Muhammadiyah 2 Tulangan, GPK menggunakan visual support dan time table harian agar PDPD memahami urutan kegiatan dan dapat mempersiapkan diri secara mandiri. Strategi ini sejalan dengan pendekatan Structured Teaching (TEACCH) yang menekankan pentingnya struktur visual dan rutinitas, serta teori regulasi diri yang menyebutkan bahwa keterampilan ini dapat dilatih melalui bantuan eksternal yang konsisten [17]. Sementara itu, guru kelas melatih regulasi diri PDPD melalui pengingat verbal, pendampingan langsung, dan negosiasi positif, seperti memberi izin bercerita setelah tugas selesai. Pendekatan ini sesuai dengan prinsip Premack dan teori Zone of Proximal Development, di mana dukungan orang dewasa diperlukan agar siswa dapat berkembang menuju kemandirian belajar [18].
Pada tahap penutup pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan, guru dan GPK melakukan pembiasaan secara bertahap agar peserta didik mampu mengatur dirinya dalam proses belajar. GPK menggunakan visual support dan time table harian agar PDPD memahami urutan kegiatan dan dapat mempersiapkan diri secara mandiri. Guru kelas juga mengajak semua peserta didik melakukan refleksi singkat untuk meninjau kembali materi dan kegiatan yang telah dilaksanakan. Refleksi ini dibantu dengan pertanyaan pemandu atau penggunakaan media visual apabila PDPD masih terbatas dalam hal kognitif dan berbahasa. Guru juga memberikan penguatan positif seperti pujian, tepuk tangan, atau reward sederhana guna meningkatkan motivasi belajar. Perilaku positif dapat diperkuat melalui reinforcement seperti pujian, tepuk tangan, atau hadiah, sehingga siswa termotivasi untuk mengulang perilaku tersebut di masa depan [19]. Penutup pembelajaran dilengkapi penyampaian informasi kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan pada pertemuan selanjutnya.
B. Suasana kelas
Bagian ini menyajikan hasil penelitian suasana kelas inklusif, termasuk strategi menciptakan lingkungan aman, menyenangkan, serta mendorong partisipasi peserta didik. Ringkasan disusun pada tabel berikut.
No | Aspek | Wawancara Guru | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Menciptakan suasana belajar yang gembira, pembelajaran yang ramah, menarik, aman, dan bebas dari perundungan | Menciptakan pembelajaran ramah anak, kreatif, daninovatif sesuai tagline sekolah.Merangkul semua PD tanpadiskriminasi.Mencegahperundunganmelalui edukasi saling menghargai dan pemahamankeberagaman | Mengenalipreferensi PDPD, memberi reward dan dukungan emosional,mengatur tempat duduk sesuaipengaruh distraksi, mencarikan teman yang kooperatif,menyesuaikanlingkungan sosial sesuaikarakteristik individu | Kelas kondusif,PD regulermembantu PDPD tanpa diminta,tidak terlihat perilakumengejek. Guru mengingatkan untuk salingmenghargai. Pembelajaran dimodifikasidengan permainan berkelompok | Data menunjukkan kesesuaian strategi guru kelas dan GPK dalam menciptakan lingkungan aman dan ramah. Guru fokus membangun budaya saling menghar-gai, GPK fokus mengatur kondisi fisik dan sosial yang sesuai kebutuhan siswa |
2 | Memberikan kesempatankepada Peserta Didik untuk berani mengemukakanpendapat dan bereksperimen | Menggunakan pertanyaanpemantik,membahas hal yang menarik minat PD, memfasilitasi dengan media benda konkret, melakukanpembelajaran di luar kelas. | Memberi stimulus berupa pertanyaan pemantik, umpan balik, dan motivasi kepada PDPD untuk beranimenyampaikan pendapat. | Guru mengajukan pertanyaanterbuka, memberi waktu PD berpikir. GPK menstimulus pemahaman PDPD danmemotivasi untuk beranimengangkat tangan danberpendapat. | Strategi guru dan GPK salingmelengkapi. Guru membangunpartisipasi seluruh PD, sedangkan GPK memberidukunganindividual bagi PDPD. |
3 | Memberikan kesempatan bagi Peserta Didik untukmengaktualisasikan diridengan pemberian modifikasi waktu | Tidak memberi perpanjangan waktu karena target sudah disepakati sejak awal | Tidak memberi perpanjanganwaktu. Penjelasan ulang dilakukandengan Bahasa sederhana,menggunakanmedia/APE sesuai PPI. | Waktu belajar disepakati di awal.GPK memberi penjelasantambahan dan melaksanakan pembelajarankhusus di luar jam umum. | Konsisten antara wawancara danobservasi, strategi fokus padakonsistensi waktu namun memberi dukungantambahan melalui penjelasan khusus. |
Hasil wawancara mengungkapkan bahwa guru kelas menciptakan suasana belajar yang ramah dan menyenangkan melalui kegiatan pembelajaran yang sejalan dengan tagline sekolah, yaitu pembelajaran ramah anak, belajar menyenangkan, kreatif, dan inovatif. Penerapan konsep ini bertujuan agar peserta didik tidak merasa tertekan, menghindari kebosanan, dan tetap memiliki motivasi belajar yang tinggi. Guru juga berupaya merangkul semua peserta didik tanpa membeda-bedakan, sehingga tercipta rasa nyaman, aman, dan bahagia selama berada di sekolah. Guru kelas juga aktif dalam pencegahan perundungan (bullying) di kelas inklusif dengan memberikan edukasi mengenai pentingnya saling menghargai dan memahami perbedaan. Edukasi ini dilakukan secara strategis, misalnya dengan memberikan penjelasan kepada siswa reguler ketika PDPD tidak berada di kelas, sehingga guru dapat menyampaikan pesan secara terbuka tanpa membuat PDPD merasa tersisihkan. Upaya ini menunjukkan adanya kepekaan sosial dalam membangun lingkungan inklusif.
Sementara itu, GPK menerapkan pendekatan yang lebih personal. Fokus utamanya adalah memahami kebutuhan emosional dan preferensi PDPD terlebih dahulu, seperti mengetahui hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai. Pendekatan ini mempermudah GPK dalam menciptakan rasa aman dan nyaman bagi PDPD. Untuk menjaga fokus belajar, GPK melakukan pengaturan tempat duduk yang strategis, menjauhkan PDPD dari sumber distraksi, dan menempatkan mereka dekat dengan teman yang kooperatif. GPK juga mempertimbangkan sensitivitas sensorik tertentu yang mungkin mengganggu proses belajar. Selain itu, pemberian reward yang relevan dengan minat peserta didik menjadi strategi motivasi emosional yang efektif. Tidak hanya lingkungan fisik yang diatur, tetapi juga lingkungan sosial melalui seleksi interaksi positif, sehingga PDPD merasa diterima secara fisik maupun psikologis.
Dalam aspek mendorong keberanian mengemukakan pendapat, guru kelas menggunakan metode pemantik seperti pemberian pertanyaan terbuka, topik yang sesuai minat PD, serta menggunakan media pembelajaran variatif atau mengajak peserta didik melakukan pembelajaran di luar kelas. Hal ini bertujuan menciptakan suasana diskusi aktif yang melibatkan semua peserta didik. GPK, di sisi lain, memberikan dukungan spesifik kepada PDPD yang sering kali merasa kurang percaya diri untuk berbicara di depan umum. Dukungan ini mencakup memberikan pertanyaan pemantik, memberi umpan balik positif walau jawaban belum tepat, dan memotivasi secara berkelanjutan. Dengan demikian, kolaborasi guru kelas dan GPK membentuk sistem yang mendukung partisipasi kolektif sekaligus memperhatikan kebutuhan individual.
Terkait pemberian kesempatan mengaktualisasikan diri, kedua pihak sepakat untuk tidak memberikan perpanjangan waktu pengerjaan tugas karena waktu sudah disepakati sejak awal. Namun, GPK menindaklanjutinya dengan penjelasan ulang di luar jam umum, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, media visual, atau APE yang disesuaikan dengan Program Pembelajaran Individual (PPI). Strategi ini menunjukkan adanya keseimbangan antara konsistensi aturan kelas dan fleksibilitas dukungan pembelajaran.
Hasil lapangan memperlihatkan bahwa strategi yang dijelaskan dalam wawancara terlihat nyata di lapangan. Kelas berlangsung dalam suasana kondusif di mana peserta didik berinteraksi dan membantu PDPD secara sukarela, seperti mengambilkan barang yang terjatuh atau bekerjasama saat kegiatan kelompok. Tidak ada perilaku mengejek atau mengucilkan. Sebaliknya, interaksi diwarnai oleh dukungan antar peserta didik Guru kelas terlihat konsisten memberikan penguatan verbal untuk mengingatkan peserta didik saling menghargai, sementara kegiatan pembelajaran diintegrasikan dengan permainan berkelompok yang membuat suasana belajar lebih menyenangkan. Pada aspek keberanian berpendapat, guru memberikan pertanyaan terbuka dan memberi waktu yang cukup untuk PD berpikir. GPK berperan untuk membantu PDPD dengan memberi stimulus agar PDPD tetap dapat berpartisipasi, misalnya mengajak PDPD berpikir bersama, mendorong PDPD untuk berani mengangkat tangan, dan membimbing PDPD menyampaikan pendapat.
Pada aspek modifikasi waktu, praktik sesuai dengan kesepakatan awal. Semua peserta didik mengerjakan tugas dalam batas waktu yang telah ditentukan. Akan tetapi, GPK memberikan dukungan tambahan melalui bimbingan belajar secara individu dan pemberian pembelajaran khusus di luar jam pelajaran umum. Pemberian pembelajaran di luar jam umum dilakukan setelah kegiatan mengaji atau di ruang sumber. Kegiatan yang dilakukan diantaranya
memberikan pemahaman ulang terkait materi yang kurang dipahami serta pelaksanaan program akademik dan praktik yang ada di PPI.
Hasil temuan observasi tidak hanya mendukung hasil wawancara, tetapi juga memperlihatkan detail interaksi sosial yang menunjukkan keberhasilan strategi inklusif yakni adanya inisiatif bantuan dari PD tanpa diminta, serta pemanfaatan kegiatan kebersamaan untuk menumbuhkan rasa saling menghargai satu sama lain
Triangulasi antara wawancara, observasi, dan dokumentasi menghasilkan gambaran menyeluruh tentang implementasi suasana kelas inklusif di SD Muhammadiyah 2 Tulangan. Kesamaan data yang ditemukan terlihat pada lingkungan yang aman dan ramah untuk semua peserta didik, pencegahan perundungan melalui edukasi keberagaman, pemberdayaan partisipasi peserta didik melalui pertanyaan pemantik dan pembelajaran kontekstual, serta dukungan khusus bagi PDPD melalui pengaturan tempat duduk, dukungan teman sebaya, penggunaan media khusus, dan pemberian pembelajaran tambahan.
Perbedaan data yang ditemukan dapat memperkaya hasil temuan pada penelitian ini. Guru kelas membangun budaya kelas secara menyeluruh, memastikan semua peserta didik terlibat dalam menciptakan suasana positif. Sedangkan GPK berfokus pada penyesuaian berbasis kebutuhan individu, baik fisik, emosional, maupun sosial. Lebih lanjut, pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan mencerminkan upaya nyata dalam menciptakan suasana belajar yang ramah, aman, menyenangkan, dan bebas dari diskriminasi, sebagaimana tercantum dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
No | Fokus Suasana Kelas | Strategi Guru Kelas | Strategi GPK |
1 | Menyenangkan, Ramah, menarik, aman, dan bebas dari perundungan | Menyesuaikan pembelajaran dengan tagline sekolahMemberi pemahaman untuk saling menghargaiMenangani perundungan | Mengenalkan PDPD kepada peserta didik regulerMenginisiasi kegiatan kebersamaan.Menjadi penengah jika terjadi perundungan atau pertengkaran. |
2 | Memberi kesempatan PDPD mengemukakan pendapat dan berekperimen | Memberikan pertanyaan pemantik dan apresiasi verbal.Menggunakan metode pembelajaran bervariasi | Memberikan bimbingan verbal dan motivasiMembantu pengaturan pengerjaan tugasMeodifikasi kegiatan eksperimen |
3 | Mengaktualisasi diri | Menetapkan kesepakatan waktu | Memberikan pengingat waktu secara spesifikMemastikan aktivitas sesuai minat dan kemampuan PDPD.Memberi pembelajaran khusus bagi PDPD tanpa pendampingan |
Berdasarkan tabel 8, dapat diketahui bahwa suasana belajar dirancang secara kreatif, inovatif, dan bebas dari diskriminasi untuk menjaga antusiasme dan kenyamanan peserta didik. Guru menyampaikan:
“Kegiatan pembelajaran disesuaikan dengan tagline sekolah yakni pembelajaran yang ramah anak, belajar menyenangkan, kreatif, inovatif agar anak tidak bosan. Guru juga merangkul semua anak agar semua nyaman dan senang di sekolah.” (W/GK/RM/30-7-2025).
Kondisi lingkungan belajar yang positif sangat penting dalam kelas inklusif, mengingat keberagaman kebutuhan peserta didik. Pembelajaran yang ramah dan menyenangkan menjadi prasyarat agar setiap peserta didik dapat merasa aman secara emosional dan psikologis. Suasana kelas yang mendukung dan bebas dari tekanan meningkatkan partisipasi serta kesejahteraan psikologis siswa [20]. Dalam konteks pencegahan perundungan, guru kelas mengadopsi pendekatan proaktif dengan memberikan pemahaman bahwa setiap individu memiliki kemampuan dan ketidakmampuan yang berbeda. Strategi ini bertujuan agar peserta didik reguler memahami perbedaan dan saling menghargai antar satu sama lain. Guru menyampaikan:
“Pendekatan dilakukan dengan mengumpulkan peserta didik saat PDPD tidak ada di kelas, agar guru dapat memberikan pemahaman secara to the point terkait adanya keberagaman, sehingga memberantas adanya diskriminasi. Kita jelaskan juga hambatan PDPD yang ada di kelas mereka apa, serta hal apa saja yang menjadi pemcu kurangnya kenyamanan PDPD. Namun, saat ada kejadian perundungan atau pertengkaran, guru langsung memanggil siswa yang terlibat dan menyelesaikan hari itu juga.” (W/GK/RM/30-7-2025).
Sejalan dengan pendapat tersebut, GPK juga berperan aktif dalam mencegah dan menangani perundungan. Salah satu upayanya adalah mengenalkan PDPD kepada peserta didik reguler untuk menciptakan komunikasi yang positif. GPK menginisiasi kegiatan kebersamaan seperti bermain atau makan bersama agar hubungan sosial semakin erat, sehingga PDPD merasa dianggarp keberadaannya dan tidak mengalami diskriminasi. Apabila terjadi perundungan atau pertengkaran, GPK juga bertindak sebagai penengah dan menjembatani penyelesaian masalah di antara pihak yang terlibat. Index for Inclusion menegaskan bahwa pendidikan inklusif harus mendorong terciptanya rasa memiliki (sense of belonging) melalui interaksi positif dan kegiatan kebersamaan yang memperkuat hubungan sosial antar peserta didik, sehingga setiap anak merasa dihargai dan terbebas dari diskriminasi [21].
Untuk menumbuhkan keberanian dan partisipasi aktif seluruh peserta didik, guru menerapkan strategi yang mendorong keterlibatan dalam proses belajar. Saat pembelajaran berlangsung, guru memberikan pertanyaan pemantik, memberi poin bagi peserta didik yang aktif, serta memberikan apresiasi verbal kepada mereka yang berani bertanya atau menjawab. Selain itu, guru kelas juga menggunakan teknik memanggil langsung nama PDPD untuk dimintai pendapat, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi. GPK turut memberikan bimbingan dan dukungan verbal agar PDPD lebih percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya. Bantuan awal dari guru atau pendamping secara bertahap mengembangkan kemandirian dan partisipasi aktif siswa.
Metode pembelajaran yang digunakan guru pun bervariasi, seperti games edukatif, diskusi tanya jawab, dan eksperimen langsung. Variasi ini memungkinkan semua peserta didik dengan gaya belajar yang berbeda, termasuk PDPD, untuk tetap terlibat secara aktif. Selaras dengan hal itu, GPK berkontribusi dalam memastikan bahwa pembelajaran inklusif tidak hanya menekankan keterlibatan, tetapi juga memberi ruang aktualisasi diri melalui pengaturan waktu belajar. Meskipun perpanjangan waktu pengerjaan tugas tidak diberikan secara otomatis, guru dan peserta didik membuat kesepakatan di awal pengerjaan, disertai pengingat berkala.
“Biasanya sebelum anak mulai mengerjakan, kita sepakati dulu waktunya. Sedangkan GPK juga memberi reminder kepada PDPD kapan tugas harus selesai dan dikumpulkan.” (W/GK/RM/30-7-2025).
GPK memberikan pembelajaran khusus bagi PDPD yang tidak mendapatkan pendampingan selama jam belajar umum sebagai upaya untuk membantu mereka mengaktualisasikan diri. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang sumber, di mana PDPD mendapatkan kesempatan untuk mempelajari kembali materi yang telah disampaikan di kelas sesuai dengan kemampuan kognitif masing-masing. Selain itu, GPK memberikan penugasan yang telah disesuaikan dengan target pada penilaian program harian. Penugasan ini bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki PDPD tnpa pendampingan. Layanan di resource room (ruang sumber) merupakan bagian dari model pembelajaran inklusif yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk memperoleh pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya, dengan tujuan mengembangkan potensi diri secara optimal dan memfasilitasi pencapaian tujuan pembelajaran individu [22]. Dengan strategi-strategi tersebut, SD Muhammadiyah 2 Tulangan berhasil membangun suasana kelas yang kondusif, inklusif, dan partisipatif. Kolaborasi antara guru kelas dan GPK menjadi faktor kunci keberhasilan, karena keduanya saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan belajar, sosial, dan emosional semua peserta didik.
C. Pendampingan
Bagian ini memaparkan strategi pendampingan guru kelas dan GPK, meliputi penyesuaian tempat duduk, penggunaan alat bantu, dan dukungan personal. Hasil dirangkum pada tabel berikut.
No | Aspek | Wawancara Guru Kelas | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Memberi tantangan, dukungan, dan bimbingan dengan modifikasi tempat duduk dan penggunaan alat bantu khusus | Guru memberikan pembelajaran menantang namun sesuai kemampuan PDPD, misalnya melalui permainan edukatif seperti TTS untuk melatih berpikir kritis. Tugas disesuaikan minat PDPD, menggunakan media menarik. Tempat duduk diatur strategis: PDPD yang membutuhkan pendampingan duduk di dekat guru atau GPK. Guru memastikan semua mendapat kesempatan bertanya dan mengemukakan ide. | GPK memberikan tantangan melalui permainan edukatif, khususnya matematika, untuk memicu daya pikir kritis dan konsentrasi. Tempat duduk dimodifikasi: PDPD dengan pendampingan duduk di samping GPK, lainnya di dekat guru. GPK menggunakan APE dan media khusus sesuai hambatan. | Terlihat guru dan GPK memodifikasi tempat duduk sesuai kebutuhan PDPD. Guru memberi penugasan bervariasi dan memandu PDPD secara personal. GPK memberi bimbingan dekat dan menggunakan alat bantu seperti media visual dan APE. | Wawancara guru dan GPK konsisten saling melengkapi: guru fokus pada kesetaraan kesempatan belajar dan adaptasi tugas, GPK pada dukungan teknis dan media khusus. Observasi mengonfirmasi strategi tersebut, sementara dokumentasi foto memperlihatkan penataan tempat duduk, penggunaan APE, dan interaksi langsung. |
Berdasarkan tabel 9, hasil wawancara dengan guru kelas menunjukkan bahwa pendampingan dilakukan melalui tantangan belajar yang terukur dan adaptif. Guru menyesuaikan materi dan tugas dengan minat PDPD, serta menggunakan permainan edukatif seperti teka-teki silang (TTS) sebagai tugas tambahan untuk mengasah kemampuan berpikir sekaligus memberi pembelajaran menantang. Tempat duduk diatur sedemikian rupa untuk memudahkan interaksi, di mana PDPD yang membutuhkan bantuan ditempatkan dekat guru atau GPK. Guru memberi kesetaraan akses yang ditekankan dengan memberi kesempatan untuk semua peserta didik dalam bertanya dan mengemukakan pendapat.
GPK melengkapi strategi ini dengan memberi bimbingan belajar disertai penggunaan media khusus dan permainan edukatif yang dirancang untuk meningkatkan konsentrasi dan keterampilan berpikir PDPD. Modifikasi tempat duduk jika dilakukan secara optimal, misalnya PDPD yang membutuhkan pendampingan duduk di sebelah GPK untuk memudahkan arahan langsung. Selain itu, GPK menggunakan Alat Permainan Edukatif (APE) dan media visual sesuai hambatan yang dimiliki PDPD. Kedua narasumber memiliki fokus berbeda tetapi saling melengkapi. Guru kelas menitikberatkan pada penciptaan lingkungan belajar yang inklusif dan setara, sedangkan GPK fokus pada pemenuhan kebutuhan teknis individu PDPD melalui dukungan langsung dan media pembelajaran khusus.
Hasil temuan lapangan menguatkan hasil wawancara. Guru kelas dan GPK terlihat bekerja sama mengatur posisi duduk PDPD sehingga mereka mendapat dukungan optimal. Guru memberikan variasi penugasan, sedangkan GPK secara aktif mendampingi dengan bimbingan personal. Penggunaan media visual dan APE teramati membantu PDPD memahami materi dan menyelesaikan tugas secara mandiri. Ini menunjukkan bahwa strategi pendampingan tidak hanya direncanakan tetapi diimplementasikan secara nyata.
Triangulasi antara wawancara, observasi, dan dokumentasi menunjukkan konsistensi tinggi. Data wawancara guru kelas dan GPK saling mendukung sedangkan observasi membuktikan praktik tersebut dilakukan. Hal ini menegaskan bahwa pendampingan yang diberikan bukan sekadar formalitas, tetapi praktik nyata yang dilakukan secara berkesinambungan.
Pendampingan PDPD dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip pembelajaran diferensiasi, di mana materi, proses, dan lingkungan belajar dimodifikasi sesuai kemampuan dan karakteristik peserta didik [23]. Guru kelas memberikan pembelajaran yang menantang namun sesuai kapasitas PDPD melalui games seperti teka-teki silang atau tugas yang dilengkapi gambar sesuai minat PDPD. Selama pembelajaran berlangsung, guru juga menggunakan model pembelajaran games berkelompok disertai kuis dan pemberian poin untuk kelompok yang aktif. Kuis kelompok, interaksi sosial dan kerja sama antar siswa dapat meningkatkan prestasi akademik sekaligus mengembangkan keterampilan sosial melalui saling ketergantungan positif dan akuntabilitas individu dalam pembelajaran kooperatif. Pendampingan pembelajaran juga dapat disesuaikan dengan kondisi PDPD. Jika situasi di kelas kurang kondusif, pembelajaran dapat dialihkan ke ruang sumber. Penempatan kursi juga diatur agar memudahkan guru dalam memberikan perhatian.
“Di SD Muhammadiyah 2 Tulangan, PJ inklusi memberi saran agar PDPD diletakkan di barisan kedua agar mudah terpantau. Namun beberapa hambatan juga disesuaikan dengan kebutuhan yang dimiliki PDPD” (W/GPK/RM/30-7- 2025).
Berdasarkan hasil wawancara, tempat duduk juga diatur dengan mempertimbangkan kebutuhan individual dan hambatan yang dimiliki PDPD. Ketentuan tempat duduk PDPD disusun berdasarkan hasil konsultasi dan sharing rutin dengan pihak UPTD ABK Kabupaten Sidoarjo sebagai bentuk kolaborasi dalam mengoptimalkan layanan pendidikan inklusif. PDPD dengan hambatan ASD ditempatkan di tempat yang jauh dari jendela, pintu, dan area ramai untuk
menghindari distraksi rangsangan sensorik seperti suara, cahaya, atau gerakan. Hambatan slowlearner ditempatkan dekat guru atau barisan kedua dari depan untuk membantu PDPD dalam menerima instruksi yang jelas, mudah dijangkau untuk dibimbing langsung, dan memperkecil gangguan dari teman sebaya. Speech Delay ditempatkan dekat guru dan teman sebaya yang komunikatif agar PDPD dapat meniru komunikasi teman dan mudah dipantau oleh guru dalam latihan bahasa dan komunikasi. PDPD dengan hambatan ADHD ditempatkan di barisan belakang, menjauhi jendela, dan teman yang aktif untuk meminimalisir distraksi dan memudahkan pendampingan oleh GPK. Hambatan Boderline ditempatkan dekat guru atau peserta didik yang bisa membantu secara akademik dan social. Disleksia ditempatkan di depan atau barisan tengah dekat dengan papan tulis dan media visual. Untuk membantu PDPD melihat tulisan lebih jelas. Hambatan intelektual ditempatkan dekat guru dan teman yang dapat membantu memberi pengulangan materi dan bimbingan individual. Gangguan pendengaran ditempatkan di dekat guru atau di barisan kedua dari depan.
Penempatan ini dilakukan agar PDPD mudah menerima pembelajaran dengan melihat artikulasi gerak bibir, membaca ekspresi wajah, menerima suara lebih jelas, dan menanggulangi apabila Alat Bantu Dengar (ABD) mengalami kendala. Hambatan gangguan penglihatan ditempatkan di barisan depan sedekat mungkin dengan sumber visual atau papan tulis untuk memperjelas pendengaran dan memusatkan perhatian. Penataan tempat duduk dilakukan secara strategis untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif serta mendukung partisipasi aktif PDPD dalam proses pembelajaran bersama peserta didik reguler
Kesetaraan akses belajar terjamin melalui pemberian kebebasan semua peserta didik untuk bertanya dan mengemukakan pendapat selama pembelajaran. Guru juga memberikan pendampingan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan, termasuk PDPD tanpa pendampingan. Kesetaraan akses belajar juga diberikan saat pengumpulan tugas, guru memberikan pertanyaan sesuai kebutuhan PDPD untuk mengukur sejauh mana pemahaman mereka, meskipun materi dan soal telah dimodifikasi. GPK berperan penting dalam mendukung proses ini dengan menyediakan APE dan media belajar yang sesuai kebutuhan PDPD. Efektivitas penggunaan alat bantu ini dinilai tinggi apabila selama proses mengerjakan tugas, PDPD mampu menyelesaikannya secara mandiri. Pembelajaran inklusif harus memastikan semua peserta didik memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses belajar, dengan menyediakan dukungan yang tepat, memodifikasi materi sesuai kebutuhan, dan menggunakan media pembelajaran yang memungkinkan setiap anak menunjukkan kemampuan terbaiknya [21].
Dengan kolaborasi guru kelas dan GPK, pendampingan yang diberikan tidak hanya memenuhi kebutuhan akademik, tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang inklusif, adaptif, dan memotivasi. Hal ini mendukung tujuan pendidikan inklusif yang memastikan semua peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang dalam lingkungan yang ramah [24].
C. Penguatan Karakter
Bagian ini menguraikan temuan strategi penguatan karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila. Ringkasannya disajikan pada tabel berikut.
No | Aspek | Wawancara Guru Kelas | Wawancara GPK | Observasi | Triangulasi |
1 | Penguatan karakter bagi PDPD dalam pembelajaran inklusif | Guru membiasakan PDPD mengikuti kegiatan keagamaan (salat berjamaah, memberi salam, menjaga sopan santun) dan memastikan mereka memahami tata cara ibadah. Guru memfasilitasi interaksi dengan peserta didik reguler melalui kegiatan kebersamaan, cooperative learning, dan proyek kelompok. Nilai mandiri dilatih dengan tugas sesuai kemampuan, nilai kritis melalui pertanyaan pemantik dan diskusi, nilai kreatif lewat eksperimen sederhana, media digital, dan ekstrakurikuler berbasis minat. | GPK menanamkan nilai- nilai agama dan perilaku sosial seperti menghargai saat berbicara, menyelesaikan pekerjaan, meminta izin, dan menaati aturan. GPK memfasilitasi PDPD berinteraksi dengan teman reguler, membantu memilih kegiatan sesuai potensi, mendorong kerja sama kelompok, memberi bimbingan verbal untuk keberanian berbicara,dan menyediakan media pembelajaran kreatif sesuai minat. | Terlihat guru dan GPK membimbing PDPD dalam kegiatan ibadah, kerja kelompok heterogen, diskusi kelas, eksperimen sederhana, serta aktivitas kreatif berbasis minat. PDPD berinteraksi positif dengan teman reguler, menunjukkan keberanian mengemukakan pendapat, dan menggunakan media pembelajaran variatif. | Data wawancara guru dan GPK saling melengkapi.Observasi mengonfirmasi bahwa praktik penguatan karakter dilaksanakan sesuai pernyataan keduanya.Dokumentasi foto dan catatan kegiatan menunjukkan kegiatan keagamaan, kerja kelompok, eksperimen, dan penggunaan media kreatif. |
Berdasarkan wawancara dengan guru kelas, penguatan karakter PDPD di SD Muhammadiyah 2 Tulangan dilaksanakan secara terintegrasi dalam pembelajaran. Guru membiasakan PDPD untuk mengikuti kegiatan keagamaan seperti salat berjamaah, memberi salam, dan menjaga sopan santun. Selain itu, guru memastikan bahwa PDPD memahami tata cara ibadah dengan bimbingan langsung. Nilai sosial dan kebersamaan ditanamkan melalui interaksi dengan peserta didik reguler, misalnya dalam kegiatan kebersamaan, permainan kelompok, dan proyek berbasis cooperative learning. Guru juga mengembangkan nilai mandiri dengan memberikan tugas menantang namun tetap sesuai kemampuan, melatih bernalar kritis melalui pertanyaan pemantik dan diskusi, serta memfasilitasi kreativitas melalui eksperimen sederhana, media digital, dan kegiatan ekstrakurikuler sesuai minat.
Sementara itu, GPK menekankan pembiasaan nilai-nilai agama dan perilaku sosial secara lebih detail, seperti menghargai orang lain ketika berbicara, menyelesaikan pekerjaan sebelum meminta hak, menaati aturan berpakaian seperti penggunaan kaus kaki, meminta izin, serta disiplin terhadap tata tertib kelas. GPK juga berperan aktif memfasilitasi interaksi PDPD dengan teman reguler, membantu memilih kegiatan yang sesuai dengan potensi, mendorong kerja sama kelompok heterogen, memberi stimulus verbal untuk menumbuhkan keberanian berbicara di depan umum, dan menyediakan media pembelajaran kreatif yang sesuai minat. Secara umum, kedua narasumber memiliki fokus yang berbeda namun saling melengkapi. Guru kelas menekankan penguatan karakter secara makro di tingkat kelas dengan pembiasaan dan aktivitas kolaboratif, sedangkan GPK memberikan penguatan karakter secara mikro melalui bimbingan langsung, pengaturan perilaku, dan pemanfaatan media yang sesuai kebutuhan individu.
Hasil observasi di kelas menunjukkan bahwa pernyataan guru kelas dan GPK didukung oleh praktik nyata. PDPD terlihat mengikuti kegiatan sholat bersama peserta didik lain dengan pendampingan guru atau GPK. PDPD juga diberi kesempatan menjadi imam sholat serta memberi taiyah singkat sesuai dengan kemampuannya. Kegiatan pembelajaran menampilkan suasana kolaboratif, di mana PDPD dilibatkan dalam kelompok belajar heterogen yang mendorong interaksi sosial positif. Aktivitas seperti eksperimen sederhana, permainan edukatif kelompok, diskusi kelas, dan proyek kreatif berbasis minat berlangsung dengan partisipasi aktif PDPD. Selain itu, teramati bahwa PDPD berani mengemukakan pendapat saat diskusi dan menunjukkan perilaku sosial seperti menghargai saat teman berbicara. Penggunaan media pembelajaran yang variatif, seperti alat peraga, media visual, dan perangkat digital sederhana, memfasilitasi partisipasi mereka. Observasi ini mengonfirmasi bahwa penguatan karakter dilakukan secara konsisten dalam keseharian pembelajaran, bukan sekadar program insidental.
Triangulasi data menunjukkan adanya konsistensi tinggi antara hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pernyataan guru kelas dan GPK mengenai kegiatan keagamaan, interaksi sosial, kerja sama kelompok, dan fasilitasi kreativitas terkonfirmasi dalam pengamatan langsung di kelas. Dokumentasi berupa foto dan catatan kegiatan mendukung bukti pelaksanaan, seperti pelibatan PDPD dalam salat berjamaah, kerja kelompok, eksperimen, dan penggunaan media kreatif.
Penguatan karakter dalam pembelajaran merupakan elemen kunci dalam implementasi pembelajaran inklusif yang efektif. Di SD Muhammadiyah 2 Tulangan, upaya penguatan karakter dilaksanakan secara kolaboratif oleh guru kelas dan guru pendamping khusus (GPK). Penguatan karakter bagi PDPD dilaksanakan secara terintegrasi oleh guru kelas dan GPK melalui pendekatan yang mengakomodasi keragaman kebutuhan, kemampuan, dan latar belakang peserta didik. Dalam dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, PDPD dibiasakan mengikuti kegiatan keagamaan seperti salat berjamaah, memberi salam, dan menjaga sopan santun. Kegiatan ini dibimbing langsung oleh guru atau GPK untuk memastikan PDPD memahami tata cara ibadah sesuai syariat islam dan berperilaku yang baik.
“GPK menanamkan nilai agar PDPD tetap dapat menjalankan ibadah meskipun memiliki keterbatasan. Adapun karakter lain yang secara rutin kita tanamkan adalah memberi aturan untuk menghargai orang lain ketika berbicara, menuntaskan pekerjaannya, melakukan tugas sebelum meminta hak, membentuk perilaku baik dan menjaga kesopanan, kapan harus berbicara dan mendengarkan, aturan memakai kaus kaki, meminta izin, dan tetap menaati aturan yg berlaku” (W/GPK/RM/30-7-2025).
Pada dimensi berkebinekaan global, guru dan GPK aktif mengenalkan PDPD kepada peserta didik reguler melalui kegiatan kebersamaan seperti bermain atau makan bersama. Strategi ini bertujuan membangun rasa diterima,
mengurangi risiko diskriminasi, dan menciptakan komunikasi positif. Guru juga memfasilitasi PDPD untuk percaya pada potensi yang dimilikinya melalui pendekatan komunikasi dua arah, kolaborasi dengan orang tua, serta pemilihan ekstrakurikuler sesuai minat dan bakat PDPD. Nilai gotong royong dikembangkan melalui model cooperative learning seperti permainan kelompok dan proyek bersama, di mana PDPD ditempatkan dalam kelompok heterogen untuk mendorong kerja sama dan interaksi sosial. GPK berperan membantu PDPD mengambil peran sesuai kemampuannya untuk meningkatkan interaksi positif, empati, dan saling menghargai antar peserta didik.
Kemandirian atau nilai mandiri dibangun dengan membiasakan PDPD mengerjakan tugas sendiri sebelum meminta bantuan. Guru dan GPK memberikan tugas yang menantang namun masih sesuai dengan kemampuan PDPD, seperti teka teki silang dengan materi yang telah dimodifikasi. Pendekatan ini mengacu pada teori regulasi diri Schunk & Zimmerman yang menekankan pentingnya latihan bertahap agar siswa mampu mengatur diri. Nilai bernalar kritis dilatih dengan memberi kesempatan PDPD untuk menjawab pertanyaan pemantik, mengikuti diskusi, dan mengemukakan pendapat secara lisan. GPK membantu dengan memberikan stimulus atau pendampingan verbal agar PDPD berani mengutarakan gagasan di depan kelas. Sedangkan nilai kreatif difasilitasi melalui kegiatan eksperimen sederhana, penggunaan media digital yang sesuai gaya belajar, dan ekstrakurikuler berbasis minat untuk memberi ruang prakarsa. Kreativitas pada anak berkembang ketika mereka didukung untuk mencoba, berinovasi, dan bereksperimen sesuai minatnya [25]. Dengan demikian, penguatan karakter bagi PDPD di SD Muhammadiyah 2 Tulangan tidak hanya menjadi bagian dari pembiasaan perilaku positif, tetapi juga selaras dengan indikator Standar Proses Permendikbud 2022 dan prinsip pendidikan inklusif, di mana setiap anak diberi ruang untuk berkembang sesuai potensi dan kebutuhannya.
Pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan telah menunjukkan ketercapaian yang sesuai dengan indikator pelaksanaan pembelajaran sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022. Guru dan GPK menjalankan proses pembelajaran yang inklusif dan adaptif, dengan melibatkan PDPD secara aktif dalam setiap tahap kegiatan pembelajaran.Pada kegiatan pendahuluan, guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas dan memotivasi peserta didik agar siap mengikuti proses belajar. Pendekatan ini sesuai dengan prinsip bahwa pembelajaran efektif harus diawali dengan kesiapan mental dan keterlibatan peserta didik [26]. Apersepsi yang diberikan juga dimodifikasi sesuai kebutuhan PDPD, sehingga mampu membangun kesiapan kognitif.Kegiatan inti pembelajaran dirancang dengan menggunakan berbagai strategi pembelajaran yang inklusif. Guru dan GPK melakukan modifikasi materi dan pendekatan pembelajaran secara individual untuk mengakomodasi kemampuan beragam peserta didik. Penggunaan visual support dan time table harian bagi peserta didik penyandang disabilitas menjadi alat bantu penting dalam memahami alur kegiatan dan mengelola proses belajar secara mandiri. Hal ini sesuai dengan prinsip Universal Design for Learning yang menekankan pentingnya variasi media pembelajaran agar dapat diakses oleh semua peserta didik [27]. Pendampingan yang diberikan oleh GPK merupakan implementasi prinsip pendidikan inklusif yang menuntut dukungan individual sesuai kebutuhan peserta didik.
Suasana kelas yang tercipta dari lingkungan belajar yang positif dengan melibatkan interaksi yang hangat dan komunikatif antara guru, GPK, dan PDPD. Suasana seperti ini penting untuk meningkatkan keterlibatan dan motivasi belajar peserta didik secara menyeluruh [20]. Pada tahap penutup pembelajaran, guru melakukan refleksi bersama peserta didik dan memberikan umpan balik yang membangun. Selain itu, penutupan pembelajaran juga digunakan sebagai momen untuk menanamkan nilai-nilai karakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila, meliputi aspek spiritual, sosial, dan kreatifitas. Pendekatan ini menegaskan pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari setiap proses pembelajaran agar peserta didik berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berakhlak mulia [28].
Dengan pencapaian indikator pelaksanaan pembelajaran yang meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup, serta dukungan pendampingan, suasana kelas kondusif, dan penguatan karakter, pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan telah sesuai dengan standar proses Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022 dan prinsip pendidikan inklusif. Hal ini memperkuat kualitas pembelajaran yang holistik, inklusif, dan berkeadilan.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, implementasi pelaksanaan pembelajaran di SD Muhammadiyah 2 Tulangan telah memenuhi indikator Standar Proses Permendikbudristek No. 16 Tahun 2022. Kolaborasi efektif antara guru kelas dan GPK memungkinkan penyesuaian strategi, media, dan materi ajar sesuai kebutuhan individual peserta didik, termasuk peserta didik penyandang disabilitas (PDPD). Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang inklusif, adaptif, dan berpusat pada peserta didik. Kegiatan pelaksanaan pembelajaran disusun secara sistematis dengan menciptakan suasana belajar yang ramah, aman, dan bebas diskriminasi, sekaligus menanamkan nilai-nilai karakter sesuai Profil Pelajar Pancasila. Pemanfaatan visual support, modifikasi materi, serta pembelajaran
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada SD Muhammadiyah 2 Tulangan yang telah memberikan izin serta memfasilitasi proses pengumpulan data. Penulis juga berterima kasih kepada partisipan yang telah bersedia meluangkan waktu serta memberikan informasi yang sangat berharga. Selain itu, penghargaan setinggi-tinggi nya diberikan kepada rekan-rekan sejawat atas bantuan dan dukungan di lapangan. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, serta motivasi yang sangat berarti dalam setiap tahapan penelitian ini. Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih penuh kasih kepada keluarga dan orang terkasih atas doa, semangat, dan dukungan emosional yang senantiasa diberikan. Segala dukungan yang telah diberikan sangat berarti bagi kelancaran dan keberhasilan penelitian ini, dan semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
References
Herawati, H. (2016). Pendidikan inklusif: Konsep dan implementasinya di sekolah. Jakarta: Kencana.
Sanjaya, S. (2009). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. (2019). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2014). Metode penelitian kombinasi (Mixed Methods) (p. 83). Bandung: Alfabeta.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative data analysis: An expanded sourcebook (2nd ed., p. 16). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kualitatif, kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sweller, J. (1994). Cognitive load during problem solving: Effects on learning. Cognitive Science, 12(2), 257–285. https://doi.org/10.1016/0364-0213(94)90003-5
Sigafoos, J., O’Reilly, M., & de la Cruz, B. (2007). PRO–ED Series on Autism Spectrum Disorders: How to Use Video Modeling and Video Prompting. Austin, TX: PRO-ED.
Weimer, M. (2013). Learner-centered teaching: Five key changes to practice (2nd ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Beukelman, D. R., & Mirenda, P. (2013). Augmentative and alternative communication: Supporting children and adults with complex communication needs (4th ed.). Baltimore, MD: Paul H. Brookes.
Black, P., & Wiliam, D. (2009). Developing the theory of formative assessment. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 21(5), 5–31. https://doi.org/10.1007/s11092-008-9068-5
Slavin, R. E. (2015). Cooperative learning: Theory, research, and practice (2nd ed.). Boston, MA: Allyn & Bacon.
Carter, E. W., Cushing, L. S., Clark, N. M., & Kennedy, C. H. (2005). Effects of peer support interventions on students’ access to the general curriculum and social interactions. Research and Practice for Persons with Severe Disabilities, 30(1), 15–25. https://doi.org/10.2511/rpsd.30.1.15
Schramm, W. (1954). How communication works. In The process and effects of mass communication (pp. 3–26). Urbana, IL: University of Illinois Press.
Moreno, R., & Mayer, R. E. (2007). Interactive multimodal learning environments. Educational Psychology Review, 19(3), 309–326. https://doi.org/10.1007/s10648-007-9047-2
Johnson, E. B. (2002). Contextual teaching and learning: What it is and why it’s here to stay. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Schunk, D. H., & Zimmerman, B. J. (1998). Self-regulated learning: From teaching to self-reflective practice. New York, NY: Guilford Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York, NY: Macmillan.
Freiberg, H. J., & Stein, T. (1999). Measuring, improving, and sustaining healthy learning environments. London: Routledge.
Booth, T., & Ainscow, M. (2011). Index for inclusion: Developing learning and participation in schools (3rd ed.). Bristol, UK: CSIE.
Hewett, F. M., & Forness, S. R. (1996). The resource room: An outdated model. Journal of Learning Disabilities, 29(4), 432–438. https://doi.org/10.1177/002221949602900405
Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). Alexandria, VA: ASCD.
UNESCO. (2017). A guide for ensuring inclusion and equity in education. Paris: UNESCO Publishing.
Robinson, K. (2011). Out of our minds: Learning to be creative. Oxford, UK: Capstone.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2015). Models of teaching (9th ed.). Boston, MA: Pearson.
Meyer, A., Rose, D. H., & Gordon, D. (2014). Universal design for learning: Theory and practice. Wakefield, MA: CAST Professional Publishing.
Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York, NY: Bantam Books.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2025 Risha Agustina Widianata, Mahardika Darmawan Kusuma Wardana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.