Intrinsic and Extrinsic Motivation of Fourth Grade Teachers at Muhammadiyah 1

Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Guru Kelas IV di Muhammadiyah 1

Authors

  • Farah Aurellia Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo,
  • Mahardika Darmawan Kusuma Wardana Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo,

Keywords:

Teacher Motivation, Intrinsic Motivation, Extrinsic Motivation, Elementary School, Muhammadiyah

Abstract

General Background: Teacher motivation is a crucial determinant of educational quality, influencing teaching performance, student engagement, and school outcomes. Specific Background: At SD Muhammadiyah 1 Candi, Sidoarjo, understanding the intrinsic and extrinsic motivation of fourth-grade teachers is essential to optimize learning processes. Knowledge Gap: Despite existing studies on teacher motivation, limited research has explored the application of Herzberg’s two-factor theory in the context of Muhammadiyah elementary schools. Aim: This study aims to analyze the intrinsic and extrinsic motivational factors influencing fourth-grade teachers’ teaching performance. Methods: A descriptive qualitative approach was employed, using in-depth interviews, classroom observations, questionnaires, and documentation, with data analyzed through reduction, presentation, and conclusion drawing. Results: Findings indicate that intrinsic motivation—personal satisfaction, teaching enthusiasm, and professionalism—is the primary driver of teacher performance, while extrinsic factors such as salary, social recognition, and work environment serve as reinforcing elements. Novelty: The study highlights the dominant role of intrinsic motivation within a Muhammadiyah school context, emphasizing the interplay between personal dedication and institutional support. Implications: Strengthening intrinsic motivation alongside adequate extrinsic support fosters productive teaching conditions, improving learning quality.

Highlights:

  • Intrinsic motivation drives teacher performance.

  • Extrinsic factors reinforce, not lead, motivation.

  • Herzberg’s theory applicable in Muhammadiyah schools.

Keywords: Teacher Motivation, Intrinsic Motivation, Extrinsic Motivation, Elementary School, Muhammadiyah

Pendahuluan

Pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara aktif, mencakup aspek spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara [1]. Pendidikan memegang peran penting dalam kemajuan bangsa, di mana keberhasilan pendidikan dapat diukur dari pelaksanaan orientasi dan sistem pendidikan. Semakin jelas orientasi pendidikan, semakin pesat perkembangan suatu bangsa. Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah adalah guru. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, membimbing, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, maupun menengah [2]. Oleh karena itu, guru merupakan unsur pokok dalam keberhasilan suatu organisasi, karena guru menjadi sumber tenaga dari seluruh aktivitas yang dilakukan organisasi. Profesionalitas guru terlihat dari kemampuan mengajar, dan salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan proses pembelajaran adalah motivasi kerja [3]. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolah sangat bergantung pada motivasi kerja guru; semakin tinggi motivasi guru, semakin besar peluang tercapainya tujuan pendidikan yang berkualitas [4]. Guru dengan motivasi tinggi akan terdorong untuk melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, begitu pula sebaliknya [5].

Motivasi kerja merupakan proses psikologis dalam diri seseorang yang muncul akibat interaksi antara persepsi, sikap, kebutuhan, dan keputusan individu dalam lingkungannya. Motivasi bagi individu tidak hanya bersumber dari faktor eksternal (ekstrinsik), tetapi juga dapat berasal dari faktor internal (intrinsik) pada guru itu sendiri. Motivasi memiliki potensi untuk mengarahkan individu mencapai hasil yang optimal, sehingga diperlukan adanya pendorong agar seseorang bersedia bekerja sesuai tujuan lembaga [4]. Motivasi kerja menjelaskan kekuatan, arah, dan ketekunan seseorang dalam upaya mencapai tujuan [6]. Motivasi menjadi faktor yang mendorong seseorang melakukan suatu aktivitas tertentu, sehingga kadang diartikan sebagai pendorong perilaku individu dalam menyelesaikan pekerjaan [7].

Teori Herzberg mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori dua faktor, yaitu motivator dan hygiene. Kedua faktor ini juga dikenal sebagai dissatisfier-satisfier atau faktor ekstrinsik-intrinsik, tergantung konteks pembahasan. Faktor intrinsik terkait kepuasan kerja, sedangkan faktor ekstrinsik terkait ketidakpuasan kerja. Teori dua faktor Herzberg ini sering disebut juga teori motivasi higienis. Selain itu, kepemimpinan kepala sekolah juga dapat memengaruhi motivasi guru dalam pembelajaran [8]. Sarana dan prasarana sekolah pun mampu mendorong motivasi mengajar guru [3].

Menurut Herzberg, untuk mengukur motivasi kerja guru dapat dibagi menjadi:a. Faktor intrinsik (motivasi): kepuasan pribadi, semangat mengajar, dan profesionalisme.b. Faktor ekstrinsik (hygiene): penghargaan atasan, gaji dan tunjangan, penghargaan rekan kerja dan siswa, serta dukungan administrasi. Hal ini menegaskan bahwa motivasi merupakan komponen penting dalam kinerja individu. Guru yang memiliki motivasi tinggi akan menanggapi kekurangan di sekolah sebagai tantangan dan berusaha sebaik mungkin untuk mengatasinya. Perhatian yang memadai terhadap guru akan meningkatkan motivasi mereka untuk memberikan yang terbaik dalam tugas, menumbuhkan komitmen, serta mendukung kualitas kerja yang bertanggung jawab demi kemajuan organisasi [9].

Motivasi dapat diartikan sebagai kemauan atau dorongan untuk terlibat dalam proses pembelajaran yang baik. Tingkat motivasi guru yang tinggi berdampak positif terhadap hasil pendidikan, sedangkan rendahnya motivasi kerja guru dapat menimbulkan dampak negatif, seperti ketidakhadiran, penggunaan metode pembelajaran konvensional, persiapan mengajar yang kurang, serta kurang fokus dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, motivasi guru menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan oleh pihak sekolah agar guru dapat melaksanakan tugas secara optimal.

SD Muhammadiyah 1 Candi Labschool Umsida adalah sekolah reguler yang terbuka untuk seluruh siswa tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, latar belakang sosial, ekonomi, maupun kebutuhan pendidikan. Cita-cita bersama sekolah ini adalah menjadikan SD Muhammadiyah 1 Candi Labschool Umsida unggul dalam menyiapkan calon pemimpin umat, masyarakat, bangsa, dan negara di masa depan. Berdasarkan pengamatan, guru di sekolah ini memiliki semangat kerja tinggi, terlihat dari kebebasan mengajar baik di dalam maupun luar kelas, penerapan metode pengajaran fleksibel, dan praktik langsung kepada siswa sehingga minim ceramah. Guru yang memiliki motivasi kerja tinggi akan terdorong menciptakan proses pembelajaran yang bermakna, efektif, dan efisien, serta melaksanakan tugas secara maksimal, penuh tanggung jawab, percaya diri, dan mampu merefleksikan pengalaman dan kemampuan teknis untuk mencapai tujuan dan produktivitas kerjanya.

Permasalahan rendahnya motivasi guru merupakan isu penting dalam manajemen sumber daya manusia sektor pendidikan. Kuatnya motivasi seseorang bergantung pada keyakinan bahwa ia mampu mencapai target yang diusahakan. Motivasi guru dapat dilihat dari perilaku, sikap, dan kinerja sehari-hari [10].

Penelitian sebelumnya, seperti Ratmilia & Sukirno (2019) dengan judul Motivasi kerja guru sekolah dasar ditinjau dari karakteristik demografi, menunjukkan bahwa guru GT di sekolah dasar negeri memiliki motivasi kerja tinggi, dan peningkatan motivasi guru GT maupun GTT di sekolah dasar negeri dan yayasan akan meningkatkan kinerja serta rasa tanggung jawab atas pekerjaannya [11]. Sedangkan Avihani & Izzaty (2023), dalam penelitian berjudul Analisis Motivasi Kerja Pada Guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri Tanjungpinang, menunjukkan bahwa guru MIN Tanjungpinang memiliki motivasi kerja yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa sekaligus membantu perekonomian keluarga [4]. Indikator yang digunakan mengacu pada teori Herzberg, meliputi faktor motivasi (pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, kemajuan) dan faktor hygiene (supervisi, kondisi kerja, gaji, kebijakan, serta administrasi perusahaan).

erdasarkan uraian tersebut, masih terdapat gap penelitian terkait motivasi kerja guru, khususnya pada guru kelas sekolah dasar, serta penerapan teori dua faktor Herzberg. Oleh karena itu, penelitian ini tertarik mengkaji motivasi guru kelas IV di SD Muhammadiyah 1 Candi Sidoarjo dengan pendekatan teori dua faktor Herzberg, untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi motivasi guru dalam praktik pembelajaran sehari-hari.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memperoleh secara mendalam, rinci dan apa adanya mengenai motivasi guru kelas di SD Muhammadiyah 1 Candi dalam konteks pembelajaran. Pendekatan kualitatif adalah metode yang menekankan makna, proses, dan pemahaman terhadap gejala sosial dalam konteks alaminya [12]. Subjek utama dalam penelitian ini adalah guru kelas IV SD Muhammadiyah 1 Candi.

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, angket dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan pendekatan semi-terstruktur, agar peneliti dapat menggali lebih dalam pengalaman dan pandangan guru terkait motivasi mengajar. Observasi digunakan untuk mengamati perilaku nyata guru di kelas secara langsung dan sistematis. Angket digunakan untuk mendapatkan data perseptual guru secara tertulis melalui serangkaian pernyataan tertutup dengan jawaban ya atau tidak. Dokumentasi digunakan sebagai pelengkap dan bentuk bukti fisik berupa foto, rekaman, jadwal kegiatan, dan produk administrasi guru, sesuai dengan pendapat Sugiyono (2019) yang menyatakan bahwa dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar, atau simbol visual lainnya [13].

Subjek Penelitian ini adalah guru kelas IV Umar Bin Khattab di SD Muhammadiyah 1 Candi. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara, observasi, angket dan dokumentasi. Wawancara digunakan untuk menggali pemahaman, pengalaman, dan persepsi guru terkait motivasi dalam guru tersebut. Observasi digunakan untuk mengamati langsung tingkat motivasi guru dalam mengajar, dan mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat motivasi guru kelas tersebut. Berdasarkan kerangka analisis data model Miles dan Huberman (2014), yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi [14].

INDIKATOR SUB INDIKATOR
Motivasi Intrinsik Kepuasan PribadiSemangat MengajarProfesionalismePengakuan Atasan
Motivasi Ekstrinsik Gaji dan TunjanganPengakuan Rekan Kerja dan SiswaLingkungan KerjaDukungan Administrasi
Table 1. Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik

Secara keseluruhan, pendekatan penelitian ini menggunakan prinsip teori dua faktor Herzberg (1959) yang mengklasifikasikan motivasi ke dalam dua dimensi utama, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara, angket, dan observasi yang telah disiapkan.

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

Pada bab ini disajikan hasil temuan penelitian berdasarkan data wawancara, observasi, angket, dan dokumentasi yang dilakukan di SD Muhammadiyah 1 Candi dengan guru kelas IV sebagai partisipan utama. Penelitian ini bertujuan menganalisis secara mendalam motivasi guru dalam menjalankan tugas mengajar dengan menggunakan kerangka teori Herzberg (1959) yang membedakan antara motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Kedua dimensi ini menjadi fokus utama untuk mengetahui faktor yang paling dominan dalam memengaruhi semangat kerja guru serta tantangan yang mereka hadapi dalam keseharian. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi motivasi guru sekolah dasar yang tidak hanya berlandaskan aspek eksternal, melainkan juga berakar dari dorongan internal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi intrinsik guru kelas IV di SD Muhammadiyah 1 Candi menempati posisi paling dominan dibandingkan motivasi ekstrinsik. Guru memperlihatkan tingkat kepuasan pribadi yang tinggi terhadap profesinya, semangat mengajar yang konsisten, serta sikap profesional dalam melaksanakan tanggung jawab. Hal ini tercermin dari hasil wawancara yang menegaskan kebanggaan guru terhadap profesi yang dijalani, data angket yang menunjukkan skor maksimal pada indikator intrinsik, hingga observasi yang merekam antusiasme guru dalam mengajar. Dokumentasi berupa foto-foto pembelajaran dan catatan aktivitas kelas turut memperkuat bukti bahwa motivasi yang bersumber dari dalam diri menjadi penopang utama keberhasilan guru dalam menjalankan peran pendidik.

Selain motivasi intrinsik, penelitian ini juga menemukan bahwa motivasi ekstrinsik turut hadir sebagai faktor penguat. Indikator seperti pengakuan dari atasan, gaji dan tunjangan, apresiasi dari siswa maupun rekan kerja, lingkungan kerja yang kondusif, serta dukungan administrasi memberikan kontribusi dalam memperkuat semangat kerja guru. Meskipun tingkatannya tidak sekuat motivasi intrinsik, faktor-faktor eksternal ini tetap memiliki peran strategis dalam menjaga konsistensi kinerja. Dengan demikian, penelitian ini menempatkan motivasi ekstrinsik sebagai lapisan pendukung yang melengkapi dorongan intrinsik guru dalam proses mengajar sehari-hari. Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai perbandingan kedua dimensi motivasi tersebut, penelitian ini menampilkan data visual berupa grafik hasil perhitungan instrumen angket, wawancara, dan observasi. Grafik ini menunjukkan kecenderungan dominasi motivasi intrinsik dibandingkan ekstrinsik. Penyajian grafik juga berfungsi untuk memperkuat temuan, karena integrasi berbagai instrumen penelitian menghasilkan potret motivasi guru yang lebih objektif. Dengan cara ini, pembaca dapat melihat dengan jelas faktor yang paling kuat menopang motivasi guru sekaligus sejauh mana faktor eksternal berkontribusi dalam praktik pembelajaran

Figure 1. Grafik Perbandingan Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik

Berdasarkan gambar 1di atas, motivasi intrinsik terlihat lebih dominan dan konsisten pada semua instrumen penelitian. Hasil menunjukkan bahwa pada tiga indikator intrinsik yakni kepuasan pribadi, semangat mengajar, dan profesionalisme guru memperoleh skor maksimal hingga 100%. Angka ini menegaskan bahwa faktor-faktor yang berasal dari dalam diri guru lebih berperan penting dalam mendorong keberhasilan mereka di kelas. Sementara itu, motivasi ekstrinsik memperoleh skor rata-rata 96,6%, yang meskipun tinggi, tetap berada sedikit di bawah motivasi intrinsik. Perbedaan tipis ini memberikan gambaran bahwa meskipun faktor internal lebih dominan, keberadaan faktor eksternal tidak dapat diabaikan begitu saja.

Temuan ini semakin diperkuat oleh pernyataan guru dalam wawancara yang mengatakan: “Ya, saya merasa lebih puas karena bisa mengatur cara mengajar yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak, jadi mereka lebih mudah paham ketika saya menerangkan di kelas.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa kepuasan guru tidak hanya datang dari hasil kerja formal, tetapi dari pengalaman emosional ketika melihat siswa berhasil memahami materi. Observasi pun mendukung hal ini, dengan catatan guru selalu antusias saat mengajar, aktif berinteraksi dengan siswa, dan mencoba berbagai metode pembelajaran agar semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Dorongan intrinsik yang kuat ini menjadi modal penting bagi guru dalam menghadapi berbagai tuntutan administratif maupun kendala teknis di sekolah.

Selain itu, dokumentasi berupa foto kegiatan belajar mengajar memperlihatkan ekspresi guru yang penuh semangat dan keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran. Ekspresi positif guru ketika memberikan penguatan verbal kepada siswa memperlihatkan adanya kepuasan pribadi yang nyata. Catatan harian aktivitas kelas juga mencatat konsistensi guru dalam mempersiapkan materi, mengelola kelas dengan sabar, serta menjaga komunikasi yang sehat dengan murid. Bukti-bukti ini semakin menegaskan bahwa motivasi intrinsik tidak hanya berbentuk perasaan, tetapi dapat diamati secara nyata dalam praktik sehari-hari di kelas. Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai wujud motivasi intrinsik guru, berikut ditampilkan dokumentasi kegiatan pembelajaran di kelas IV Umar Bin Khattab yang menunjukkan antusiasme guru dalam mengajar dan membimbing siswa.

Figure 2. Proses Pembelajaran di Kelas IV

Gambar 2 di atas menunjukkan suasana kelas yang penuh semangat, di mana guru terlihat antusias dalam menyampaikan materi dan memberikan arahan, sementara siswa menunjukkan keterlibatan aktif. Ekspresi semangat guru saat memberikan penguatan dan apresiasi kepada siswa merupakan bentuk nyata dari motivasi intrinsik yang hadir dalam proses belajar mengajar. Interaksi positif ini memperlihatkan bahwa dorongan dari dalam diri guru, seperti rasa puas ketika siswa memahami pelajaran, menjadi penggerak utama dalam aktivitas mengajar. Dengan demikian, motivasi intrinsik tidak hanya tercermin dalam sikap internal, tetapi juga dapat diamati melalui tindakan nyata yang memengaruhi keberhasilan proses pembelajaran.

Meski demikian, hasil penelitian juga menggarisbawahi pentingnya motivasi ekstrinsik sebagai pendukung. Skor 96,6% yang dicapai pada indikator ekstrinsik mencerminkan bahwa faktor eksternal tetap memiliki pengaruh signifikan terhadap semangat kerja guru. Misalnya, penghargaan dari atasan atau dukungan administrasi meski tidak selalu hadir dalam bentuk formal, tetap memberi rasa dihargai yang menambah energi emosional guru. Lingkungan kerja yang mendukung, baik secara fisik maupun sosial, juga menjadi salah satu aspek yang membantu guru tetap nyaman dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, meskipun motivasi intrinsik lebih dominan, motivasi ekstrinsik tidak bisa dikesampingkan sebagai penguat dalam menjaga keseimbangan motivasi kerja. Dengan mengacu pada keseluruhan hasil, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik merupakan faktor dominan yang mendorong guru dalam melaksanakan peran profesionalnya di kelas.

Namun, motivasi ekstrinsik berfungsi sebagai faktor pelengkap yang memperkuat keberlanjutan semangat kerja. Kedua faktor ini saling berinteraksi membentuk sistem motivasi yang kompleks, di mana dorongan dari dalam diri memberi arah dan makna, sementara dorongan dari luar memberikan dukungan yang membuat guru tetap bertahan menghadapi tantangan. Kombinasi keduanya menghasilkan pola motivasi yang stabil dan berkesinambungan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini menegaskan bahwa upaya peningkatan motivasi guru tidak hanya dapat difokuskan pada pemberian insentif eksternal, tetapi juga harus diarahkan pada penguatan faktor intrinsik seperti kepuasan pribadi, semangat mengajar, dan profesionalisme. Pengalaman emosional guru ketika melihat siswanya berhasil, antusiasme dalam mengajar, dan komitmen etis terhadap profesi adalah fondasi penting yang harus dijaga. Sekolah dan pemangku kebijakan pendidikan dapat berperan dengan menyediakan lingkungan yang kondusif, sistem penghargaan yang memadai, serta ruang pengembangan diri yang berkelanjutan. Dengan cara ini, motivasi guru dapat terus dipelihara sehingga mendukung terciptanya pembelajaran yang berkualitas di sekolah dasar.

B. Pembahasan

B.1 Motivasi Intrinsik dan Motivasi Ekstrinsik

Motivasi guru kelas IV di SD Muhammadiyah 1 Candi dianalisis melalui delapan indikator yang mencerminkan dorongan intrinsik dan ekstrinsik. Indikator intrinsik terdiri atas: (1) kepuasan pribadi, (2) semangat mengajar, dan (3) profesionalisme. Ketiga aspek ini merepresentasikan faktor motivator dalam teori Herzberg (1959), yang menekankan pencapaian, tanggung jawab, dan makna pekerjaan sebagai pendorong utama kepuasan kerja. Sementara itu, indikator ekstrinsik meliputi: (4) pengakuan atasan, (5) gaji dan tunjangan, (6) pengakuan rekan dan siswa, (7) lingkungan kerja, serta (8) dukungan administratif. Kelima aspek ini berhubungan dengan hygiene factors menurut Herzberg, yang tidak selalu menimbulkan kepuasan, tetapi berperan penting dalam menjaga stabilitas dan kenyamanan kerja guru. Dengan demikian, delapan indikator tersebut memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang keseimbangan antara faktor internal dan eksternal yang menopang motivasi guru dalam melaksanakan tugasnya.

Temuan ini menggarisbawahi bahwa meskipun dorongan intrinsik menjadi landasan utama dalam memelihara motivasi guru, keberadaan motivasi ekstrinsik tetap memiliki peran yang signifikan sebagai penopang. Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan yang mendorong guru untuk tetap berkomitmen, bersemangat, dan konsisten dalam menjalankan tugasnya. Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam, uraian berikut akan memaparkan analisis tiap indikator berdasarkan wawancara, observasi, angket, serta dokumentasi:

1. Kepuasan Pribadi

Menurut Herzberg (1959) dalam Two-Factor Theory, kepuasan kerja muncul dari faktor motivator seperti pencapaian, penghargaan, dan tanggung jawab. Faktor-faktor ini berperan sebagai pendorong utama dalam meningkatkan kinerja seseorang, berbeda dengan faktor higienis yang hanya mencegah ketidakpuasan [3]. Dalam konteks guru, kepuasan pribadi tampak ketika mereka merasa bahagia melihat keberhasilan siswa, memperoleh penghargaan atas usaha yang dilakukan, serta menemukan makna mendalam dalam proses mengajar. Dengan demikian, kepuasan pribadi menjadi salah satu dimensi intrinsik yang sangat penting untuk menjaga motivasi guru tetap konsisten meski menghadapi tantangan dalam dunia pendidikan. Untuk memperkuat gambaran mengenai kepuasan pribadi guru dalam proses belajar mengajar, berikut ditampilkan dokumentasi kegiatan pembelajaran di kelas IV Umar Bin Khattab yang merefleksikan antusiasme guru dan keterlibatan aktif siswa.

Figure 3. Proses Pembelajaran di Kelas IV Umar Bin Khattab

Gambar 3 di atas menunjukkan interaksi guru dan siswa dalam suasana kelas yang penuh semangat. Guru terlihat aktif memberikan arahan, sementara siswa tampak antusias mengikuti kegiatan belajar. Ekspresi positif guru ketika siswa berhasil menjawab pertanyaan maupun menyelesaikan tugas menandakan adanya kepuasan pribadi yang terwujud dalam bentuk nyata di kelas. Melalui penguatan verbal seperti “Bagus sekali!” atau “Hebat, kamu sudah bisa,” guru tidak hanya menumbuhkan motivasi siswa, tetapi juga merasakan kebahagiaan tersendiri sebagai bagian dari keberhasilan proses pembelajaran.

Hasil angket menunjukkan bahwa 100% guru menyatakan “setuju” bahwa keberhasilan siswa memberikan kepuasan tersendiri dan membuat mereka semakin semangat dalam mengajar. Angka ini menegaskan bahwa semua responden memiliki pandangan serupa mengenai hubungan antara keberhasilan siswa dengan kepuasan pribadi guru. Hal ini juga mencerminkan bahwa indikator kepuasan pribadi tidak hanya bersifat individual, tetapi sudah menjadi kebutuhan emosional yang melekat dalam profesi guru. Dengan kata lain, keberhasilan siswa dipandang bukan semata hasil kerja akademik, melainkan juga sebagai “cermin” keberhasilan guru dalam menjalankan misi profesional dan sosialnya. Hasil wawancara dengan guru kelas memberikan penegasan lebih mendalam mengenai makna kepuasan pribadi. Guru menyampaikan: “Saya merasa puas ketika anak-anak bisa memahami pelajaran yang saya ajarkan, meskipun awalnya mereka kesulitan. Namun akhirnya dapat menyelesaikan, dan itu menjadi kebanggaan tersendiri.” Pernyataan ini memperlihatkan adanya keterikatan emosional antara guru dengan siswa. Kepuasan pribadi tidak muncul dari hal-hal eksternal seperti gaji atau fasilitas, tetapi dari keberhasilan melihat anak didiknya berproses hingga akhirnya berhasil memahami materi. Aspek inilah yang menjadikan kepuasan pribadi sebagai salah satu pendorong motivasi yang paling otentik bagi guru.

Berdasarkan wawancara, observasi, dan angket, terlihat konsistensi bahwa kepuasan pribadi menjadi salah satu faktor intrinsik yang menonjol dalam memelihara motivasi mengajar guru. Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberhasilan siswa tidak hanya berdampak pada perkembangan akademik mereka, tetapi juga memberi energi emosional positif bagi guru dalam melaksanakan perannya di kelas. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ratmilia & Sukirno (2019) yang menegaskan bahwa motivasi guru terbangun melalui kedekatan emosional dengan siswa serta perasaan bangga ketika melihat anak didiknya mencapai keberhasilan dalam belajar[11]. Dengan demikian, indikator kepuasan pribadi dapat diposisikan sebagai landasan penting dari motivasi intrinsik guru. Melalui pengalaman langsung di kelas, guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga memperoleh makna, kebahagiaan, dan semangat baru untuk terus berkontribusi bagi perkembangan siswa.

2. Semangat Mengajar

Semangat mengajar merupakan salah satu dimensi penting dari motivasi intrinsik yang menentukan kualitas pembelajaran. Guru yang memiliki semangat tinggi cenderung memperlihatkan antusiasme, dedikasi, dan kreativitas dalam menjalankan perannya. Semangat ini bukan hanya sekadar dorongan sementara, melainkan energi yang konsisten hadir dalam diri guru saat menghadapi berbagai dinamika pembelajaran [15]. Menurut Herzberg (1959), aspek intrinsik seperti semangat mengajar menjadi sumber kepuasan kerja yang membuat guru lebih tangguh dalam menghadapi tantangan profesi. Dengan demikian, semangat mengajar dapat dikatakan sebagai fondasi utama dalam menumbuhkan motivasi guru. Untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai bagaimana semangat mengajar tampak dalam praktik sehari-hari, berikut ditampilkan gambar dokumentasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas yang memperlihatkan antusiasme guru dan keterlibatan aktif siswa.

Figure 4. Proses Belajar Mengajar yang Menyenangkan Saat di dalam Kelas

Gambar 4 diatas suasana kelas yang dinamis, di mana guru tampil penuh antusias dalam menyampaikan materi, menggunakan variasi metode, serta membangun dialog dengan siswa. Kelas yang semula ramai dapat dikendalikan dengan energi positif, sehingga tercipta kondisi belajar yang kondusif. Hal ini memperlihatkan bahwa semangat mengajar bukan hanya aspek emosional, melainkan juga strategi yang berperan langsung dalam menjaga kualitas pembelajaran. Dokumentasi ini menegaskan bahwa motivasi intrinsik guru dapat berdampak nyata terhadap atmosfer kelas. Hasil wawancara dengan guru menunjukkan bahwa semangat mengajar tetap terjaga meskipun ada masalah di luar sekolah. Guru menuturkan: “Kalau saya sudah berada di depan kelas, saya merasa bersemangat, meskipun ada masalah di luar sekolah. Rasanya energi saya keluar ketika mengajar anak-anak.” Kutipan ini memperlihatkan bahwa semangat mengajar berfungsi sebagai mekanisme psikologis yang membantu guru mengesampingkan beban pribadi demi menjalankan tugas profesinya. Hal ini memperkuat pandangan bahwa motivasi intrinsik dapat melampaui faktor-faktor eksternal, karena dorongan tersebut tumbuh dari dalam diri dan berhubungan dengan nilai serta makna yang dilekatkan pada profesi guru.

Berdasarkan observasi di kelas, guru menunjukkan upaya nyata untuk menjaga semangat mengajar melalui berbagai metode kreatif. Misalnya, guru menggunakan variasi media pembelajaran, mengajak siswa berdiskusi secara interaktif, dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Hal ini menunjukkan bahwa semangat tidak hanya hadir dalam bentuk sikap, tetapi juga tercermin melalui strategi pedagogis yang konkret. Dengan demikian, semangat mengajar dapat dilihat sebagai kombinasi antara motivasi internal dan keterampilan mengelola kelas secara efektif. Hal ini sejalan dengan Penelitian oleh Kurnia Nugroho & Satriadi (2021) juga menyatakan bahwa guru dengan semangat mengajar yang tinggi tetap mampu menciptakan suasana belajar yang efektif, meskipun berada di lingkungan sekolah dengan keterbatasan sarana [3]. Senada dengan itu, penelitian Aly dan Yuliyanto (2018) juga menegaskan bahwa semangat mengajar yang tumbuh dari motivasi intrinsik meningkatkan kualitas interaksi guru dan siswa di dalam kelas. Konsistensi antara temuan penelitian sebelumnya dengan hasil observasi menunjukkan bahwa semangat mengajar merupakan indikator yang stabil dan berpengaruh signifikan terhadap performa guru [8]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semangat mengajar adalah faktor motivasi intrinsik yang berperan sebagai energi pendorong keberhasilan pembelajaran. Guru yang memiliki semangat tinggi tidak hanya mampu mempertahankan kualitas pengajaran, tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang positif bagi siswa. Semangat ini, jika terus dipelihara dan difasilitasi melalui lingkungan kerja yang mendukung, akan menjadi modal penting dalam menjaga motivasi guru.

3. Profesionalisme

Profesionalisme guru dapat dipahami sebagai seperangkat sikap, perilaku, dan kompetensi yang menunjukkan komitmen penuh terhadap tugas mendidik serta tanggung jawab sosial seorang pendidik [15]. Seorang guru yang profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai materi ajar, melainkan juga mampu mengelola kelas secara efektif, menjaga etika profesi, dan menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pengembangan siswa. Dalam konteks guru kelas IV di SD Muhammadiyah 1 Candi, profesionalisme tampak nyata dari upayanya mempersiapkan perangkat pembelajaran secara konsisten, menyusun strategi yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, serta melaksanakan proses belajar mengajar dengan penuh tanggung jawab. Guru juga menegaskan dalam wawancara: “Sebagai guru, saya merasa harus selalu menguasai materi dengan baik sebelum masuk kelas. Kalau saya tidak siap, saya merasa bersalah terhadap anak-anak”. Kutipan ini menunjukkan bahwa profesionalisme berakar pada kesadaran intrinsik untuk menjaga kualitas pembelajaran demi kepentingan siswa.

Profesionalisme guru semakin terlihat pada konsistensinya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Guru kelas IV SD Muhammadiyah 1 Candi terbiasa mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), memodifikasi media sesuai kebutuhan siswa, dan menyampaikan materi dengan bahasa yang sederhana namun tetap ilmiah. Hal ini menunjukkan kemampuan guru dalam menyeimbangkan aspek akademik dan pedagogis agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal. Sikap profesional juga tercermin dari kesediaan guru untuk terus belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman sehari-hari, demi meningkatkan kualitas pengajarannya Untuk memperlihatkan wujud profesionalisme guru dalam kegiatan pembelajaran, berikut disajikan dokumentasi saat guru sedang memberikan pemahaman mendalam kepada siswa.

Figure 5. Guru Memberikan Pemahaman Materi Mendalam Kepada Siswa

Gambar 5 di atas menunjukkan aktivitas guru ketika memberikan pemahaman mendalam kepada siswa di kelas. Terlihat bagaimana guru menjelaskan materi secara runtut, menggunakan variasi strategi pembelajaran, dan memastikan bahwa setiap siswa memahami konsep yang diajarkan. Momen ini memperlihatkan bahwa profesionalisme tidak hanya hadir dalam bentuk kemampuan teknis, tetapi juga dalam sikap sabar, empati, serta kemampuan memberikan bimbingan tambahan bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar. Kehadiran guru yang profesional memberikan rasa aman sekaligus kepercayaan diri bagi siswa untuk aktif bertanya maupun mengemukakan pendapat. Profesionalisme juga tampak dalam sikap disiplin dan konsistensi guru dalam menjalankan tugasnya. Guru selalu hadir tepat waktu, menyiapkan perangkat pembelajaran secara lengkap, dan menjaga ketertiban kelas dengan pendekatan yang humanis. Disiplin tersebut tidak hanya mencerminkan ketaatan terhadap aturan sekolah, melainkan juga menunjukkan komitmen personal untuk memberikan teladan positif kepada siswa. Melalui kedisiplinan yang ditunjukkan guru, siswa dapat belajar pentingnya tanggung jawab dan konsistensi dalam kehidupan sehari-hari.

Temuan ini sejalan dengan penelitian Wahyuni, et.all (2023) yang menyatakan bahwa profesionalisme guru berdampak nyata pada kualitas pembelajaran siswa [15]. Guru yang profesional mampu meningkatkan efektivitas pembelajaran, memotivasi siswa untuk lebih aktif, serta mendorong tercapainya hasil belajar yang lebih baik. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Ratmilia & Sukirno (2019) menegaskan bahwa profesionalisme guru erat kaitannya dengan motivasi intrinsik, sebab dedikasi tinggi seorang guru lahir dari dorongan internal untuk memberikan yang terbaik dalam proses mengajar [11]. Dengan demikian, profesionalisme tidak hanya mencerminkan kompetensi, tetapi juga motivasi yang bersumber dari integritas dan tanggung jawab moral seorang pendidik. Selain berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran, profesionalisme guru juga memiliki efek psikologis positif bagi dirinya sendiri.

Guru yang profesional merasa lebih percaya diri, dihargai, dan memiliki kepuasan batin ketika melihat keberhasilan siswanya. Kepuasan ini memperkuat motivasi untuk terus memperbaiki diri serta berkomitmen pada profesinya. Dalam kasus guru kelas IV di SD Muhammadiyah 1 Candi, profesionalisme menjadi identitas diri yang melekat kuat, tercermin dari dedikasinya dalam setiap aktivitas mengajar. Hal ini menegaskan bahwa profesionalisme bukan hanya tuntutan eksternal, melainkan panggilan hati yang mengarahkan guru untuk menjadi pendidik yang benar-benar berperan sebagai teladan dan inspirator bagi muridnya. Profesionalisme guru di SD Muhammadiyah 1 Candi tidak hanya mencakup aspek teknis seperti penguasaan materi dan manajemen kelas, melainkan juga aspek moral, etika, dan dedikasi. Profesionalisme inilah yang menjadikan guru mampu menghadirkan pembelajaran yang berkualitas sekaligus memotivasi siswa untuk terus berkembang. Lebih jauh, profesionalisme juga memperkuat motivasi intrinsik guru itu sendiri, karena setiap tindakan profesional memberikan makna dan kepuasan dalam menjalankan peran mulianya sebagai pendidik.

4. Pengakuan Atasan

Pengakuan dari atasan memiliki peran penting dalam membangun motivasi dan kepuasan kerja guru. Herzberg (1959) melalui Two-Factor Theory menegaskan bahwa pengakuan merupakan salah satu faktor motivator yang dapat meningkatkan motivasi kerja guru [16]. Dalam penelitian ini, guru yang menjadi subjek penelitian menyampaikan bahwa perhatian langsung dari kepala sekolah, baik berupa ucapan apresiasi maupun keterlibatan dalam kegiatan sekolah, memberikan dorongan emosional yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan dari atasan tidak harus selalu dalam bentuk penghargaan formal, melainkan juga bisa diwujudkan melalui komunikasi yang positif, kepedulian, serta pengakuan sederhana atas upaya yang telah dilakukan guru. Pada praktik di lapangan, pengalaman guru di SD Muhammadiyah 1 Candi memperlihatkan bahwa momen apresiasi yang diberikan kepala sekolah, khususnya dalam kegiatan peringatan Hari Guru Nasional, dirasakan sebagai bentuk pengakuan yang bernilai. Dokumentasi yang ada memperlihatkan bahwa guru menerima penghargaan simbolis pada acara tersebut, yang kemudian memunculkan rasa bangga sekaligus motivasi untuk terus meningkatkan kinerja dalam mengajar. Meskipun penghargaan itu bersifat umum, kehadiran kepala sekolah dalam memberikan apresiasi secara langsung membuat guru merasa dihargai atas dedikasinya. Bagi guru tersebut, hal ini menjadi salah satu sumber semangat untuk mempertahankan loyalitas terhadap sekolah. Gambar 5 berikut memperlihatkan suasana pemberian penghargaan kepada guru pada peringatan Hari Guru Nasional yang diselenggarakan di Alun-alun Sidoarjo.

Figure 6. Pemberian Penghargaan Pada Peringatan Hari Guru Nasional

Gambar 6 diatas terlihat bahwa kegiatan penghargaan bukan hanya menjadi acara seremonial, tetapi juga berfungsi sebagai wadah pengakuan publik terhadap dedikasi guru. Subjek penelitian menyampaikan bahwa momen ini meninggalkan kesan mendalam, karena selain diakui oleh atasan, penghargaan juga disaksikan oleh masyarakat luas. Hal ini menambah dimensi sosial dalam pengakuan yang diterima, di mana pengakuan formal tidak hanya memotivasi secara pribadi, tetapi juga meneguhkan posisi guru sebagai tenaga pendidik yang dihormati. Dengan demikian, penghargaan semacam ini memberikan makna ganda: penghargaan personal dari kepala sekolah serta pengakuan sosial dari masyarakat. Dalam wawancara, guru tersebut menjelaskan bahwa bentuk pengakuan yang paling bermakna justru datang dari apresiasi yang diberikan secara langsung oleh kepala sekolah dalam interaksi sehari-hari. Misalnya, ketika guru menyelesaikan tugas tambahan di luar kelas, kepala sekolah memberikan ucapan terima kasih dan dukungan moral. Menurutnya, meskipun bentuk pengakuan itu sederhana, hal tersebut memiliki efek signifikan terhadap rasa percaya diri dan semangat untuk terus berkontribusi. Dari sisi kualitatif, hal ini memperlihatkan bahwa kebutuhan akan pengakuan tidak selalu terkait dengan penghargaan material atau seremonial, melainkan lebih pada rasa dihargai sebagai individu yang berperan penting dalam keberlangsungan pendidikan

Temuan ini memperkuat penelitian Utomo et al., (2019) yang menyatakan bahwa pengakuan dari atasan dapat meningkatkan motivasi kerja guru dengan memberikan rasa dihargai atas jerih payah yang telah dilakukan [17]. Selain itu, penelitian Kurnia Nugroho & Satriadi (2021) juga menemukan bahwa sebagian guru memandang pengakuan sebagai kebutuhan utama dalam bekerja, sementara sebagian lainnya lebih menekankan kepuasan pribadi sebagai sumber motivasi [3]. Namun, berbeda dengan penelitian tersebut yang menekankan adanya variasi persepsi antar guru, penelitian ini hanya melibatkan satu subjek sehingga tidak menemukan perbedaan pengalaman. Hal ini justru menguatkan bahwa pada konteks individu, pengakuan dari atasan secara konsisten dipandang sebagai faktor penting yang mendukung motivasi. Dalam hal ini, pengalaman tunggal guru SD Muhammadiyah 1 Candi memperlihatkan adanya keterhubungan langsung antara pengakuan dari kepala sekolah dengan dorongan motivasional dalam menjalankan tugas sehari-hari. Selain itu, konsistensi yang muncul dari pengalaman guru ini menekankan bahwa pengakuan dapat berfungsi sebagai tanda guru profesional.

Guru merasa bahwa dedikasinya tidak sia-sia, karena diperhatikan dan diapresiasi secara langsung oleh kepala sekolah. Hal ini tidak hanya membangun kepuasan kerja, tetapi juga menumbuhkan komitmen jangka panjang untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran. Dengan demikian, dukungan dalam bentuk pengakuan dari atasan berperan ganda: menjaga motivasi intrinsik guru sekaligus memperkuat motivasi ekstrinsik yang diperoleh dari penghargaan formal. Merujuk pada hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi, dapat disimpulkan bahwa pengakuan dari atasan menjadi faktor yang konsisten dirasakan guru sebagai pendorong utama motivasi. Meskipun penelitian ini tidak menunjukkan variasi persepsi antar individu karena subjek terbatas, namun temuan tetap relevan dalam memperlihatkan pentingnya aspek pengakuan dalam menjaga keberlanjutan motivasi guru. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu menjaga konsistensi dalam memberikan apresiasi, baik dalam bentuk formal maupun informal, agar guru dapat terus merasa dihargai dan termotivasi dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

5. Gaji dan Tunjangan

Berdasarkan kerangka Teori Dua Faktor Herzberg (1959), gaji dan tunjangan dikategorikan sebagai hygiene factors yang meskipun tidak selalu menjadi pemicu utama motivasi, namun keberadaannya sangat penting untuk menghindarkan guru dari rasa tidak puas [18]. Dalam konteks penelitian ini, aspek finansial menjadi faktor penopang yang berfungsi menjaga kestabilan motivasi guru. Hasil observasi di sekolah menunjukkan bahwa penerimaan gaji dan tunjangan mampu memberikan rasa aman, sehingga guru merasa kontribusinya diakui secara profesional. Dengan demikian, meskipun bukan satu-satunya pendorong motivasi, gaji dan tunjangan tetap berperan dalam menciptakan motivasi kerja. Lebih lanjut, hasil wawancara dengan guru memperlihatkan bahwa pemberian gaji dan tunjangan memberikan dampak nyata dalam meningkatkan semangat mengajar. Salah satu guru menyampaikan, “Dengan gaji dan tunjangan yang sesuai, saya merasa lebih dihargai dan lebih bersemangat untuk meningkatkan kualitas mengajar.” Ungkapan tersebut mencerminkan bahwa penghargaan finansial tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bermuatan psikologis. Guru merasa kerja keras mereka mendapatkan apresiasi nyata, yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan dedikasi terhadap pembelajaran di kelas. Selain data wawancara, dokumentasi penelitian ini juga memperlihatkan praktik nyata berupa penyerahan insentif kepada guru oleh pihak sekolah. Dokumentasi tersebut mengilustrasikan bagaimana faktor finansial hadir secara langsung dalam keseharian guru dan menjadi bentuk perhatian manajerial sekolah terhadap kesejahteraan tenaga pendidik

Figure 7. Penyerahan Intensif Kepada Guru Oleh Kepala Sekolah

Gambar 7 di atas memperlihatkan simbolisasi pentingnya faktor finansial dalam menjaga motivasi kerja. Proses penyerahan insentif tidak hanya berfungsi administratif, tetapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan penghargaan kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa gaji dan tunjangan berperan sebagai bentuk apresiasi formal yang memperkuat ikatan emosional antara pihak sekolah dan guru. Secara kualitatif, momen ini menciptakan suasana kondusif yang mendorong guru untuk tetap loyal dan berkomitmen terhadap tugasnya. Temuan observasi juga mendukung bahwa suasana penerimaan insentif menciptakan lingkungan kerja yang positif. Guru merasa lebih diperhatikan, sehingga tumbuh perasaan memiliki (sense of belonging) terhadap sekolah. Hal ini menegaskan bahwa pemberian insentif tidak hanya memenuhi kebutuhan finansial, tetapi juga berfungsi sebagai sarana membangun motivasi kolektif yang memperkuat iklim kerja. Dengan demikian, indikator gaji dan tunjangan memiliki dimensi ganda: ekonomis dan psikologis.

Namun, berdasarkan analisis angket, wawancara, dan observasi, gaji dan tunjangan lebih berfungsi sebagai faktor penopang dibandingkan sebagai pendorong utama motivasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Wahyuni et al., (2023) yang menemukan bahwa aspek finansial berperan penting dalam menurunkan angka turnover guru sekaligus mendorong loyalitas [15]. Namun demikian, sebagaimana diingatkan oleh Kurnia Nugroho & Satriadi (2021), motivasi jangka panjang tidak bisa hanya ditopang oleh faktor finansial, melainkan harus diseimbangkan dengan motivasi intrinsik seperti kepuasan pribadi, aktualisasi diri, dan rasa tanggung jawab profesional [3]. Dengan demikian, meskipun gaji dan tunjangan terbukti berkontribusi besar dalam menjaga kepuasan kerja, keberlanjutan motivasi guru tetap bergantung pada sinergi antara faktor ekstrinsik dan intrinsik. Jika faktor finansial berjalan seimbang dengan apresiasi non-materi, maka motivasi guru dapat terjaga secara konsisten dan berkelanjutan dalam praktik pembelajaran sehari-hari.

6. Pengakuan Rekan Kerja dan Siswa

Pengakuan dari rekan kerja maupun siswa merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga motivasi guru. Teori Self-Determination oleh Deci dan Ryan (1985) menjelaskan bahwa kebutuhan akan relatedness atau keterhubungan sosial sangat berperan dalam menjaga motivasi seseorang [19]. Dalam konteks pendidikan, pengakuan sosial menjadi bagian dari kebutuhan psikologis guru agar merasa dihargai dan diakui perannya. Seorang guru yang mendapat pengakuan dari rekan sejawat maupun siswa cenderung lebih termotivasi, percaya diri, dan merasa pekerjaannya bermakna. Dengan demikian, pengakuan tidak hanya sekadar simbol apresiasi, melainkan juga penguat motivasi dalam jangka panjang. Sebagai penguat dari data di atas, ditampilkan dokumentasi nyata mengenai pengakuan dari rekan sejawat dan siswa terhadap guru

Figure 8. Rapat Kerja Guru SD Muhammadiyah 1 Candi

Gambar 8 diatas menunjukkan kegiatan rapat kerja guru di SD Muhammadiyah Candi. Kolaborasi antar guru dalam rapat kerja ini menjadi wujud nyata adanya pengakuan sejawat. Guru merasa dihargai ketika diberikan kesempatan untuk menyampaikan ide dalam forum resmi sekolah. Situasi tersebut diamati secara langsung, di mana interaksi yang terjadi mencerminkan suasana kerja yang saling mendukung. Dukungan dari rekan sejawat melalui rapat kerja tidak hanya mendorong peningkatan profesionalisme, tetapi juga memberikan energi motivasional yang membantu guru menjalankan peran pendidiknya dengan lebih optimal. Sedangkan untuk pengakuan siswa ditunjukkan pada gambar berikut:

Figure 9. Apresiasi Untuk Guru Kelas Dari Murid beserta Wali Murid Kelas IV

Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa tampak siswa dan wali murid memberikan apresiasi kepada guru kelas. Apresiasi ini bukan hanya simbolis, tetapi juga menunjukkan adanya keterikatan emosional yang kuat antara guru, siswa, dan orang tua murid. Pengakuan tersebut membuat guru merasa pekerjaannya benar-benar dihargai dan bermanfaat bagi perkembangan anak didik. Dari sudut pandang motivasi, apresiasi yang datang dari murid dan wali murid tidak hanya menjadi pendorong ekstrinsik, tetapi juga memperkuat motivasi intrinsik guru dalam mengajar dengan penuh dedikasi.

Hasil wawancara dengan guru menunjukkan bahwa pengakuan dari rekan sejawat membuatnya lebih bersemangat dalam bekerja. Guru menyampaikan bahwa kolaborasi dengan sesama guru di sekolah, baik melalui rapat kerja maupun kegiatan sehari-hari, selalu memberi energi baru. Guru merasa dihargai ketika rekan sejawat menyampaikan apresiasi terhadap ide-ide kreatifnya dalam mengajar. Misalnya, ketika guru mencoba metode pembelajaran berbasis proyek, rekan-rekan sejawat memberikan tanggapan positif yang kemudian memotivasi guru untuk mengembangkan inovasi lebih lanjut. Dari sisi siswa, guru menegaskan bahwa rasa hormat, sapaan hangat, dan ucapan terima kasih dari murid menjadi bentuk pengakuan sederhana namun berdampak besar bagi dirinya.

Data observasi juga mendukung hasil wawancara tersebut. Dalam rapat kerja guru, terlihat adanya interaksi yang positif antar pendidik, di mana setiap guru diberi ruang untuk menyampaikan ide-idenya. Guru yang menjadi subjek penelitian tampak aktif berpartisipasi, dan respon dari rekan sejawat menunjukkan apresiasi yang nyata. Selain itu, pada kegiatan di kelas, murid-murid terlihat menunjukkan sikap menghormati, seperti memberi salam ketika bertemu guru dan memperhatikan dengan seksama saat pembelajaran berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan dari siswa tidak selalu berbentuk materi, tetapi juga melalui perilaku sehari-hari yang menegaskan rasa hormat mereka kepada guru.

Hasil angket pun memperlihatkan konsistensi dengan data wawancara dan observasi. Mayoritas indikator dalam angket menunjukkan bahwa guru merasa mendapatkan pengakuan yang cukup dari rekan kerja maupun siswa. Persentase jawaban responden mendukung bahwa adanya suasana kerja yang positif di sekolah berkontribusi besar terhadap motivasi guru dalam menjalankan tugasnya. Data angket ini juga menegaskan bahwa motivasi guru tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi seperti gaji dan tunjangan, tetapi juga oleh faktor sosial berupa pengakuan dari lingkungan terdekat. Berdasarkan pengambilan instrumen, terlihat konsistensi antara angket, wawancara, dan observasi. Penelitian sebelumnya oleh Ratmilla & Sukino (2019) juga menegaskan bahwa pengakuan sosial dan dukungan lingkungan belajar memiliki pengaruh signifikan terhadap keberlanjutan motivasi guru [11]. Dengan demikian, indikator pengakuan rekan dan siswa dapat disimpulkan sebagai salah satu aspek yang sangat menentukan dalam menjaga kepuasan kerja guru, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.

7. Lingkungan Kerja

Menurut Herzberg (1959) dalam teori dua faktor, lingkungan kerja termasuk faktor hygiene yang meskipun tidak secara langsung meningkatkan motivasi intrinsik, namun keberadaannya dapat mengurangi ketidakpuasan dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk bekerja [20]. Lingkungan kerja yang nyaman, termasuk fasilitas memadai dan dukungan rekan kerja, sangat membantu guru dalam menjaga motivasi[5]. Dari wawancara, Guru menyebutkan: “Ruang kelas yang rapi, fasilitas tersedia, itu bikin saya lebih tenang mengajar.” Sebagai ilustrasi nyata dari kondisi tersebut, kegiatan rapat kerja yang melibatkan seluruh guru menjadi bukti adanya lingkungan kerja yang harmonis dan mendukung. Pada momen ini, para guru tidak hanya membahas teknis pembelajaran, tetapi juga menjalin komunikasi interpersonal yang positif, yang memperkuat rasa kebersamaan.

Figure 10. Rapat Kerja Seluruh Guru SD

Gambar 10 diatas memperlihatkan suasana rapat kerja yang melibatkan seluruh guru di sekolah. Dalam forum ini terlihat bahwa guru tidak hanya berinteraksi secara formal, tetapi juga membangun ikatan sosial yang positif melalui diskusi, saling bertukar pendapat, serta menyepakati strategi pembelajaran bersama. Kehadiran ruang rapat yang nyaman dan tertata rapi juga memberi kesan profesional sekaligus memunculkan rasa dihargai. Hal ini selaras dengan teori Herzberg bahwa lingkungan kerja yang mendukung dapat menurunkan potensi ketidakpuasan sekaligus meningkatkan keterlibatan dalam pekerjaan. Hasil observasi mendukung data wawancara tersebut. Lingkungan sekolah terlihat terawat dengan baik, mulai dari ruang kelas yang bersih, papan tulis yang dalam kondisi layak, hingga fasilitas teknologi sederhana seperti proyektor dan pengeras suara yang digunakan dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru juga tampak berinteraksi secara harmonis dalam aktivitas sehari-hari. Misalnya, saat waktu istirahat, guru-guru saling berbagi pengalaman mengenai strategi mengajar dan solusi atas permasalahan siswa. Situasi ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang sehat tidak hanya dibentuk dari aspek fisik, tetapi juga melalui aspek sosial berupa kolaborasi antar rekan kerja.

Dari angket yang diisi, guru juga memberikan penilaian positif terhadap indikator lingkungan kerja. Hal ini menunjukkan konsistensi antara data angket dengan hasil wawancara dan observasi. Ketiga sumber data tersebut sama-sama menegaskan bahwa lingkungan kerja berperan penting dalam mendukung motivasi guru. Dengan kondisi yang nyaman, guru mampu berkonsentrasi penuh dalam menyiapkan dan menyampaikan pembelajaran tanpa terganggu oleh hal-hal teknis yang seharusnya sudah difasilitasi sekolah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ratmilia & Sukirno (2019) yang menyatakan bahwa dukungan lingkungan kerja, mencakup aspek fisik maupun sosial, tidak hanya membuat pegawai merasa lebih dihargai, tetapi juga memberikan dorongan motivasional yang berdampak pada meningkatnya kepuasan dalam bekerja. Hal ini relevan dalam konteks guru, di mana fasilitas kelas, suasana sekolah yang kondusif, serta interaksi positif antar guru menjadi elemen penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Kondisi ini pada akhirnya mendorong motivasi yang lebih tinggi dalam melaksanakan tugas mengajar.

Lingkungan kerja yang baik tidak hanya menciptakan kenyamanan, tetapi juga menjadi fondasi yang memperkuat motivasi guru. Fasilitas fisik yang memadai mengurangi beban teknis, sementara interaksi sosial yang harmonis meningkatkan semangat kebersamaan. Kombinasi keduanya membantu guru untuk mengurangi stres dan meningkatkan keterlibatan emosional terhadap pekerjaan. indikator lingkungan kerja menempati posisi strategis dalam menjaga keberlangsungan motivasi guru. Lingkungan fisik yang mendukung dan hubungan sosial yang positif memberikan rasa aman, dihargai, dan dihormati dalam profesi yang dijalani. Hal ini sejalan dengan teori Herzberg, di mana faktor hygiene berperan mencegah ketidakpuasan dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk berkembang. Dengan adanya dukungan lingkungan kerja yang nyaman, guru akan lebih bersemangat, produktif, serta berkomitmen untuk memberikan pembelajaran terbaik bagi siswa.

8. Dukungan Administratif

Menurut Herzberg (1959), dukungan administratif termasuk dalam faktor hygiene yang sangat memengaruhi rasa puas atau tidak puas seorang pegawai. Jika sistem administrasi tidak berjalan baik, maka guru cenderung merasa terbebani dan motivasi menurun. Namun, jika dukungan administratif diberikan secara optimal, guru dapat lebih fokus pada tugas utamanya yaitu mengajar [21]. Dalam konteks sekolah, dukungan administratif mencakup kemudahan pengurusan dokumen, ketersediaan fasilitas kerja, serta adanya sistem yang membantu guru dalam menjalankan kewajiban non-pedagogis. Untuk memahami lebih jauh mengenai bentuk dukungan administratif yang diterima guru, peneliti juga melakukan observasi langsung di sekolah. Observasi ini bertujuan untuk melihat bagaimana interaksi antara guru dengan bagian administrasi sekolah dalam menyelesaikan tugas-tugas non-pengajaran. Hasil dokumentasi menunjukkan adanya aktivitas koordinasi antara guru dan staf administrasi yang menjadi bagian penting dalam menunjang kelancaran proses belajar mengajar.

Figure 11. Koordinasi Guru Dengan Bagian Adminitrasi Sekolah

Gambar 11 diatas memperlihatkan situasi nyata di mana guru harus berhubungan langsung dengan bagian administrasi dalam mengurus dokumen maupun laporan yang diperlukan. Dari hasil pengamatan, tampak bahwa koordinasi ini berjalan cukup intens, meskipun di sisi lain menambah beban kerja guru di luar kegiatan mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan administratif memang tersedia, tetapi masih menyisakan tantangan berupa beban administratif tambahan yang dapat memengaruhi motivasi guru dalam melaksanakan tugas utama mereka di kelas. Selain observasi, hasil wawancara dengan guru mengungkapkan perspektif yang sedikit berbeda. Guru menyampaikan bahwa mereka sebenarnya masih merasa kurang mendapatkan dukungan administratif dalam bentuk kesejahteraan, khususnya jaminan kesehatan seperti BPJS. Hal ini menunjukkan bahwa selain beban administratif yang dirasakan dalam keseharian, terdapat pula kebutuhan mendasar yang belum terpenuhi. Guru menekankan bahwa bentuk dukungan administratif tidak hanya terbatas pada pengurangan beban administrasi, tetapi juga pada pemberian fasilitas kesejahteraan yang lebih menyeluruh. Lebih lanjut, guru berharap adanya perhatian sekolah terhadap kesejahteraan mental, seperti program konseling, pendampingan psikologis, atau kegiatan yang dapat menurunkan stres kerja. Harapan ini menunjukkan bahwa motivasi guru tidak hanya dipengaruhi oleh faktor teknis administratif, tetapi juga oleh sejauh mana sekolah mampu menghadirkan rasa aman, nyaman, dan sejahtera dalam pekerjaan sehari-hari. Dengan kata lain, dimensi administratif yang diharapkan guru lebih luas daripada sekadar teknis birokrasi; melainkan mencakup dukungan kesejahteraan fisik dan mental.

Hasil observasi dan wawancara memperlihatkan adanya variasi. Jika observasi menekankan pada beban administrasi yang membatasi fokus mengajar, maka wawancara lebih menyoroti pada absennya dukungan administratif dalam bentuk kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan administratif belum sepenuhnya konsisten dirasakan guru, baik dari sisi teknis maupun non-teknis.. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan administratif kurang konsisten dirasakan guru. Temuan ini sejalan dengan penelitian Kurnia Nugroho & Satriadi (2021) yang menemukan bahwa sistem administrasi yang kurang efisien dan minimnya dukungan kesejahteraan sering menjadi faktor penghambat motivasi guru dalam melaksanakan tugasnya [3]. Oleh karena itu, sekolah perlu memperbaiki sistem administrasi melalui inovasi digital yang sederhana, serta menyediakan bentuk dukungan kesejahteraan dasar seperti BPJS Kesehatan untuk menjamin perlindungan guru. Lebih dari itu, dukungan administratif harus mencakup aspek mental, seperti penyediaan forum komunikasi, pendampingan psikologis, atau pelatihan manajemen stres. Dengan adanya dukungan administratif yang komprehensif, guru dapat mengurangi beban administratif yang melelahkan sekaligus merasa lebih terlindungi, sehingga fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran dapat tercapai.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui wawancara, observasi, angket dan dokumentasi di SD Muhammadiyah 1 Candi Sidoarjo, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Motivasi guru didominasi oleh faktor intrinsik, terutama kepuasan pribadi, semangat mengajar, dan profesionalisme. Hal ini tampak konsisten pada seluruh instrumen penelitian dengan persentase 100%. Guru menunjukkan rasa bangga terhadap profesinya, dedikasi tinggi, serta tanggung jawab yang kuat dalam menjalankan proses pembelajaran. Keberhasilan siswa, antusiasme dalam mengajar, dan penguasaan materi secara profesional menjadi sumber utama energi motivasi guru di kelas.

2. Motivasi ekstrinsik berperan sebagai penguat, terutama pada indikator gaji dan tunjangan, pengakuan dari rekan sejawat dan siswa, serta lingkungan kerja yang kondusif. Faktor-faktor ini memberikan dorongan tambahan bagi guru untuk tetap semangat mengajar, meskipun tidak menjadi pendorong utama. Penyerahan insentif, apresiasi dari murid maupun rekan guru, serta suasana kelas yang nyaman menjadi bentuk nyata kontribusi motivasi ekstrinsik.

3. Beberapa indikator motivasi ekstrinsik menunjukkan ketidak-konsistenan, khususnya pada dukungan administratif. Guru menyatakan bahwa sistem administrasi masih membebani sebagian tugasnya sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dalam pemenuhan motivasi. Hal ini terlihat dari catatan harian dan hasil wawancara yang menekankan perlunya dukungan administrasi yang lebih efektif dan efisien.

4. Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan bahwa motivasi intrinsik merupakan pilar utama motivasi guru, sedangkan motivasi ekstrinsik tetap penting sebagai penguat. Penguatan kedua dimensi ini secara bersamaan akan menjaga semangat kerja guru, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan menciptakan suasana sekolah yang produktif.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Pihak Sekolah

Manajemen sekolah diharapkan memberikan perhatian lebih pada penghargaan formal dan dukungan administratif. Apresiasi dalam bentuk penghargaan resmi, umpan balik positif, serta sistem administrasi yang lebih efisien akan memperkuat motivasi ekstrinsik guru dan memudahkan guru fokus pada tugas pedagogi.

2. Bagi Guru

Guru diharapkan terus mempertahankan motivasi intrinsik yang sudah menjadi kekuatan utama, seperti kepuasan pribadi, semangat mengajar, dan profesionalisme. Guru juga dianjurkan mengembangkan motivasi melalui inovasi pembelajaran, refleksi diri, dan kolaborasi dengan rekan sejawat agar kualitas pengajaran semakin meningkat.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian berikutnya disarankan melibatkan lebih banyak partisipan dari berbagai jenjang atau lokasi sekolah berbeda, sehingga data dapat lebih representatif. Penelitian lanjutan juga dapat memfokuskan pada indikator motivasi ekstrinsik yang masih lemah, seperti dukungan administrasi agar solusi yang lebih spesifik dan implementatif dapat dihasilkan.

Ucapan Terimakasih

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah, kekuatan dan petunjuk-Nya dalam perjalanan ini, saya yakin bahwa tanpa pertolongan- Nya saya tidak akan bisa menyelesaikan artikel penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga untuk orangtua dan saudara saya atas dukungan, cinta, dan pengertian yang kalian berikan dalam perjungan saya menyelesaikan artikel ini. Tanpa kehadiran dan doa mereka saya mungkin tidak akan pernah mencapai titik ini.

Saya juga menyampaikan terima kasih kepada responden penelitian saya yang telah meluangkan waktu untuk berpratisipasi dalam penelitian ini dan yang dengan sabar membimbing saya untuk bisa menyelesaikan artikel penelitain ini.

Terima kasih juga saya sampaikan untuk semua teman - teman saya yang nama nya tidak bisa saya sebutkan satu bersatu terima kasih atas dukungan kalian supaya saya bisa menyelesaikan artikel penelitian saya.

References

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Republik Indonesia. (2005). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Kurnia Nugroho, M. A., & Satriadi, S. (2021). Analisis motivasi kerja guru di SMP Negeri 21 Satu Atap Teluk Bintan, Kabupaten Bintan. Cash, 1(2), 52–70. https://doi.org/10.52624/cash.v1i02.2228

Avihani, N., & Izzaty, S. N. (2023). Pendidikan guru madrasah ibtidaiyah. Jurnal Pendidikan Guru, November 2023.

Purmawanto, S. E., Mashudi, & Utomo, B. B. (2024). Analisis motivasi intrinsik dan ekstrinsik guru ekonomi SMAN 1 Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 1–8.

Robbins, S. P., Judge, T. A., & Millett, O. B. (2015). Organizational behavior: The essentials. Pearson Higher Education.

Sutrisno, R. A., Herdiyanti, H., Asir, M., & Yusuf, M. (2022). Dampak kompensasi, motivasi, dan kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan di perusahaan: Review literature. Management Studies and Entrepreneurship Journal, 3(6), 3476–3482.

Aly, M. M., & Yuliyanto, E. (2018). Analisis motivasi kerja guru di SMA Negeri 9 Semarang. Seminar Nasional Edusainstek FMIPA UNIMUS, 442–449.

Novianti, N., & Dewi, L. A. P. (2024). Analisis motivasi kerja terhadap peningkatan kualitas kinerja guru pada SMK Al-Amanah Dayeuhkolot. Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 13(2), 117. https://doi.org/10.36080/jem.v13i2.2891

Asmawati, A. (2022). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja guru Sekolah Menengah Atas Negeri di Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmiah Profesi Pendidik, 7(4b), 2772–2782. https://doi.org/10.29303/jipp.v7i4b.1231

Ratmilia, E., & Sukirno, S. (2019). Motivasi kerja guru sekolah dasar ditinjau dari karakteristik demografi. Premise Education: Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran, 9(1), 64–72. https://doi.org/10.25273/pe.v9i1.4311

Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2019). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldaña, J. (2014). Qualitative data analysis: An expanded sourcebook (3rd ed.). Sage.

Wahyuni, S. T., Rusby, Z., & Rosmayani, R. (2023). Motivasi kerja guru honorer di SMP Negeri 30 Kota Pekanbaru. Repository Universitas Islam Riau. http://repository.uir.ac.id/22688/1/217121018.pdf

Mariam, N. S., & Nurachadijat, K. (2023). Gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap motivasi kerja guru. Jurnal Ilmiah dan Karya Mahasiswa, 1(3), 10–25. https://doi.org/10.54066/jikma-itb.v1i3.278

Utomo, H. B., Suminar, D. R., Hamidah, H., & Yulianto, D. (2019). Motivasi mengajar guru ditinjau dari kepuasan kebutuhan berdasar determinasi diri. Jurnal Psikologi, 18(1), 69–81. https://doi.org/10.14710/jp.18.1.69-81

Azizah, S. N., & Kanda, A. S. (2024). Pengaruh tunjangan kinerja terhadap motivasi dan kepuasan kerja guru pendidikan usia dini. Lokawati: Jurnal Penelitian Manajemen dan Inovasi Riset, 2(2), 318–322. https://doi.org/10.61132/lokawati.v2i2.666

Azwanda, Y. E. H., Hasri, S., & Shiron, S. (2024). Model dua faktor Herzberg dalam meningkatkan motivasi kerja pegawai. Jurnal Studi Multidisipliner, 8(12), 862–866. https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jsm/article/view/8095/9123

Saputri, N. B. I., Affandi, P. A., & Setia, (2023). Pengaruh lingkungan dan stres kerja terhadap kinerja perawat dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening di RSUD Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi. Universitas Pasundan Bandung.

Nurhayati, N. (2022). Pengaruh kelengkapan administrasi sekolah terhadap motivasi kerja guru di SMP Alwashliyah 4 Medan. Pedagogi: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 8(1), 96–103.

Published

2025-08-12

How to Cite

Aurellia, F., & Wardana, M. D. K. (2025). Intrinsic and Extrinsic Motivation of Fourth Grade Teachers at Muhammadiyah 1: Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Guru Kelas IV di Muhammadiyah 1. Journal of Islamic and Muhammadiyah Studies, 7(2), 10.21070/jims.v7i2.1647. Retrieved from https://jims.umsida.ac.id/index.php/jims/article/view/1647

Issue

Section

Study Of Muhammadiyah Studies