Abstract

This qualitative study investigates the teaching methods used by English teachers in three Muhammadiyah Junior High Schools in Pasuruan Regency to enhance students' speaking skills. Interviews and observations were conducted with one English teacher from each school. Results reveal that teachers employ a variety of methods including Communicative Language Teaching, Discussion Method, and Total Physical Response, adapting them to address specific teaching challenges and student needs. The study suggests the importance of creating engaging learning environments and utilizing diverse teaching strategies to improve students' speaking abilities, offering valuable insights for English language educators to enhance their teaching practices.

Hightligh:

  1. Diverse Methods: Communicative Language Teaching, Discussion Method, Total Physical Response.
  2. Student Adaptation: Methods tailored to student challenges and language learning needs.
  3. Engagement Vital: Engaging environments and varied strategies crucial for speaking improvement.

Keywords: English language teaching, Muhammadiyah schools, speaking skills, teaching methods, qualitative research.

Pendahuluan

Berbicara merupakan kemampuan berbahasa atau berkomunikasi yang penting dalam segala aspek, baik itu dalam aspek kehidupan sehari-hari, aspek pendidikan atau bahkan dalam dunia kerja. Dalam dunia pendidikan, khususnya untuk pelajaran bahasa Inggris. Hughes dan Rebecca berpendapat bahwa berbicara adalah modalitas utama yang digunakan anak-anak untuk belajar bahasa, merupakan kegiatan sehari-hari bagi mayoritas individu, dan merupakan pendorong utama perubahan bahasa [1]. Berbicara juga memberikan kita informasi kunci yang kita butuhkan untuk memahami bilingualisme dan kontak bahasa. Brown berpendapat bahwa berbicara adalah komponen penting dalam belajar bahasa Inggris, dengan memproduksi, menerima, dan memproses informasi yang semuanya berkontribusi pada proses interaktif konstruksi makna bahasa lisan [2]. Thornbury memberikan penjelasan terbaiknya, dengan menyatakan bahwa berbicara atau komunikasi lisan adalah kegiatan dua orang atau lebih dimana pendengar dan pembicara harus bereaksi dengan cepat terhadap apa yang mereka dengar dan berkontribusi [3]. Seseorang yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain pasti ingin menyampaikan maksudnya. Siswa dapat berbagi dan mendiskusikan konsep yang mereka pelajari dari buku atau sumber informasi lainnya dengan berbicara. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk mengkomunikasikan secara lisan kepada orang lain tentang apa yang mereka rasakan, apa yang telah mereka pelajari, dan apa yang mereka inginkan. Burns menjelaskan bahwa pengajaran berbicara itu penting dari beberapa pendapat guru yang telah diteliti olehnya, sebagai guru memang bertanggung jawab

untuk dapat mengembangkan kemampuan belajar siswa, seperti kemampuan berbicara, di antara jawaban dari beberapa guru mengenai pengajaran berbicara itu penting adalah sebagai berikut: Siswa dari kedua guru tersebut dapat membaca dan menulis dengan baik dalam bahasa Inggris, tetapi mereka tidak pandai berbicara dan mendengarkan. Siswa menghafal banyak kosakata bahasa Inggris dari kamus mereka, tetapi mereka kurang mampu mengucapkannya. Siswa tidak suka berbicara bahasa Inggris dengan teman sekelasnya karena mereka kesulitan mengoreksi ucapan mereka. Siswa berbicara bahasa Inggris dengan cara bentuk standar dan informal. Beberapa siswa masih belum bisa berbicara, sehingga guru ingin membantu meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Siswa kurang percaya diri dan cenderung takut ketika berbicara bahasa Inggris di depan kelas [4].

Harmer menyatakan bahwa siswa malu dan ragu untuk berbicara di depan orang lain, siswa sering ragu untuk berbicara, terutama ketika diminta untuk berbagi fakta atau ide mereka [5]. Sering kali ada kekhawatiran akan berbicara dengan buruk dan mempermalukan diri sendiri di depan rekan-rekan mereka. Santoso dan Taufiq percaya bahwa ada kalanya rasa percaya diri merupakan salah satu faktor yang memotivasi siswa untuk meningkatkan komunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris [6]. Menekankan nilai menciptakan pembelajaran bahasa yang interaktif melalui sejumlah model dengan aplikasi dunia nyata. Oleh karena itu, Brown beranggapan bahwa menggunakan metode yang tepat adalah salah satu teknik untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa, dan sangat penting untuk menggunakan strategi yang berbeda saat mengajar berbicara [7]. Hal yang penting bagi seorang guru dalam mengajar bahasa Inggris adalah bagaimana ia menentukan bagaimana cara mengajarkan materi agar siswa dapat mengerti dan bagaimana menentukan metode yang cocok untuk mengajarkan materi tersebut. Brown berpendapat bahwa mengajar adalah suatu kegiatan yang membantu seseorang dalam mempelajari berbagai hal, termasuk melakukan sesuatu, memberikan instruksi, menyampaikan pengetahuan, membantu seseorang dalam mempelajari sesuatu, dan menanamkan pengetahuan dan pemahaman [8]. Metode didefinisikan oleh Richards dan Rodgers, sebagai strategi keseluruhan untuk penyajian materi bahasa secara berurutan yang dapat diterapkan pada pengajaran bahasa Inggris [9]. Cara yang ideal untuk mengajarkan bahasa asing adalah dengan membuat pelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, terlepas dari teknik pengajaran yang digunakan.

Mengingat pentingnya bahasa Inggris, mayoritas orang Indonesia mulai mempelajarinya dengan baik sejak Sekolah Menengah Pertama [10]. Diharapkan para siswa dapat memahami dan berkomunikasi menggunakan bahasa internasional dengan baik dan benar di era modern ini. Namun, di tingkat sekolah-sekolah tersebut, tentu saja, terdapat juga masalah dengan kemampuan berbicara siswa. Pertama, masalah berbicara di kalangan siswa di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kudus. Selain memiliki pengetahuan yang terbatas tentang kosakata, pengucapan, tata bahasa, dan kefasihan yang diperlukan untuk berbicara secara efektif, para siswa juga mengalami kesulitan dalam berbicara dalam bahasa Inggris karena berbagai alasan pribadi, termasuk rasa malu, cemas, kebingungan, kurang percaya diri, dan takut melakukan kesalahan. Menurut penelitian ini, lingkungan mereka (asrama) tidak membantu mereka belajar dan berbicara bahasa Inggris [11]. Praktik belajar-mengajar tradisional, seperti meminta siswa untuk menghafalkan bacaan yang telah mereka hafalkan, juga membuat siswa bosan saat mereka belajar bahasa Inggris. Mereka juga tidak dapat berbicara secara spontan karena guru menyusun apa yang ingin mereka katakan; akibatnya, mereka hanya mengulang kata-kata yang telah dibentuk. Mengikuti masalah-masalah tersebut, anak-anak cenderung menjadi lesu atau kehilangan kemampuan mereka untuk berbicara [12]. Masalah umum yang dihadapi siswa di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Indonesia adalah bahwa mereka tidak dapat berbicara dalam bahasa Inggris dan menganggap bahasa Inggris sebagai topik yang sulit, merupakan masalah yang paling sering ditemui oleh para guru saat mengajar berbicara. Selain itu, siswa yang kurang memiliki kosakata merasa kurang percaya diri. Jika mereka salah mengucapkan kata-kata, mereka akan merasa takut dan malu [13]. Salah satu kesulitan yang dialami siswa di salah satu SMA Muhammadiyah di Indonesia adalah berbicara dalam bahasa Inggris di depan kelas. Mereka tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Namun yang paling penting, masalah tersebut berkembang dengan sendirinya. Hal ini berkaitan dengan motivasi dan keyakinan. Mereka ingin berbicara dalam bahasa Inggris, tetapi mereka ragu-ragu untuk melakukannya karena mereka khawatir akan membuat kesalahan dan menghadapi tekanan dari berbagai sumber [14]. Seperti yang kita ketahui bahwa peneliti telah menemukan banyak masalah berbicara di kalangan siswa di Sekolah Muhammadiyah di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti akan mengungkapkan beberapa masalah berbicara siswa di Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan, berdasarkan hasil pra-observasi, di antaranya 1). Masih banyak siswa yang kurang percaya diri ketika maju di depan kelas. 2). Masih banyak siswa yang kurang dalam pengucapan. 3). Tidak banyak kosakata yang dihafal oleh siswa, sehingga menyebabkan kurangnya perkembangan berbicara siswa. 4). Tingkat kepercayaan diri yang rendah. Mayoritas karena siswa merasa takut salah dalam mengucapkan sesuatu ketika belajar speaking, sehingga dapat diejek oleh teman-temannya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Munir, ia meneliti metode dan model pembelajaran apa saja yang digunakan oleh guru dalam mengajar bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Pasangkayu [15]. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif dalam sebuah studi eksperimen. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang telah diteliti oleh Puspitasari, ia meneliti tentang metode pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di SMA MBS Yogyakarta, dan perbedaan metode yang digunakan oleh guru Bahasa Inggris dalam mengajarkan mata pelajaran

Bahasa Inggris, dimana ia mewawancarai beberapa guru dari satu sekolah [16]. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah disebutkan, masih sangat sedikit penelitian mengenai metode pengajaran bahasa Inggris yang diambil dari beberapa guru di Provinsi Jawa Timur, khususnya di daerah Kabupaten Pasuruan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menjadi sebuah informasi teoritis yang dapat membantu penelitian selanjutnya, dan akan mengetahui metode apa saja yang digunakan oleh beberapa guru untuk mengajarkan kemampuan berbicara siswa dalam pelajaran Bahasa Inggris di beberapa Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, bagi para pembaca atau calon guru dapat mengetahui metode pengajaran bahasa Inggris yang digunakan oleh beberapa guru di sekolah menengah pertama, juga agar mereka dapat memahami metode pengajaran apa yang baik untuk mengajarkan keterampilan berbicara siswa.

Tinjauan Pustaka Berbicara

Berbicara

Thornbury menyatakan bahwa berbicara adalah sebuah keterampilan, oleh karena itu perlu dikembangkan dan dipraktikkan, baik secara mandiri maupun dengan kurikulum tata bahasa [3]. Berbicara telah diajarkan kepada siswa dari segala usia dan tingkat akademis di Indonesia pada waktu yang lama. Menurut Permendikbud No. 59 tahun 2014, tujuan mempelajari kompetensi berbicara sebagai keterampilan produktif adalah untuk mempersiapkan siswa dalam berkomunikasi secara lisan/verbal baik di dalam maupun di luar kelas. Basa dan Fadli berpendapat bahwa siswa didorong untuk lebih sering menggunakan keterampilan komunikasi lisan dan verbal mereka dalam semua konteks [17]. Berbicara adalah bagian dari kegiatan di mana seseorang berinteraksi dengan orang lain. Melalui berbicara, siswa dapat mengekspresikan ide dan perasaan secara spontan [18]. Mereka dapat berbagi informasi, saran, dan komentar dengan orang lain melalui komunikasi. Mengingat pentingnya mempelajari keterampilan berbicara bagi siswa, guru juga memiliki peran penting dalam mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berbicara siswa mereka. Di antara berbagai cara guru menyampaikan pengetahuan mereka, guru dapat menerapkan beberapa metode pembelajaran untuk mendukung dan menunjang kegiatan pembelajaran mereka.

Metode Pengajaran

Harmer menyatakan bahwa metode pengajaran adalah jenis kegiatan, peran guru dan siswa, beberapa desain materi, dan silabus. Seorang guru bahasa Inggris harus dapat mengawasi semua kegiatan di dalam kelas, termasuk rencana pembelajaran dan strategi pengajaran [5]. Richards dan Rodgers menyatakan bahwa metode adalah spesifikasi dan interaksi antara teori dan praktik secara kolektif. Hampir semua pendekatan pengajaran bahasa beroperasi di bawah premis yang terlalu disederhanakan bahwa apa yang instruktur "lakukan" di dalam kelas dapat direduksi menjadi seperangkat teknik yang dapat diterapkan secara universal [9]. Sehingga, metode ini adalah cara mengajar yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa dengan mudah mempelajari apa yang disampaikan. Atau cara guru dalam mengimplementasikan rencana pembelajaran yang sudah disusun untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan bersifat prosedural.

Jenis-jenis Metode Pengajaran

Harmer menyatakan ada beberapa metode dalam pengajaran bahasa Inggris [5], diantaranya: 1) Grammar Translation Method, metode ini merupakan kombinasi antara grammar dan translation, dengan menggunakan bahasa ibu siswa sebagai titik awal untuk membantu mereka belajar bahasa asing dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka [19]. 2) Direct Method, metode ini juga dikenal dengan pendekatan alamiah, metode ini berfokus pada pengembangan kemampuan komunikasi interpersonal dasar, yaitu menggunakan bahasa dalam konteks sehari-hari seperti percakapan, mendengarkan radio, dan kegiatan sejenisnya [20]. 3) Metode Audiolingual, metode ini menggunakan sejumlah strategi untuk mengatasi masalah ingatan, termasuk retensi kosakata. Metode Audio-Lingual adalah teknik yang menekankan pada pendengaran sejumlah kecil kata secara berulang-ulang. Dan untuk pengajaran bahasa yang memanfaatkan siklus latihan dan praktik [21]. 4) Pengajaran Bahasa Komunikatif (CLT), metode ini didasarkan pada tugas-tugas komunikatif yang menekankan pada makna; sebagai hasilnya, pembelajaran bahasa "berjalan dengan sendirinya", dan paparan terhadap bahasa yang digunakan secara luas serta banyak kesempatan untuk menggunakannya sangat penting untuk pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan siswa. Dalam komunikasi yang nyata atau realistis, ketika penyelesaian tugas komunikatif setidaknya sama pentingnya dengan keakuratan bahasa yang digunakan, siswa biasanya terlibat dalam kegiatan ini. Permainan peran dan simulasi menjadi sangat populer dalam CLT.

Serta empat metode, yaitu: a). Community Language Learning (CLL), metode pembelajaran ini berfungsi untuk menstimulasi siswa untuk dapat mengungkapkan sebuah ide dalam pembelajaran. Ketika menerapkan metode ini, guru dapat berperan sebagai konselor ketika siswa merasa kesulitan dalam melafalkan kata atau frasa dalam bahasa Inggris. Guru dapat mendorong siswa untuk berbicara bahasa Inggris hingga mereka mahir. b) Suggestopedia, metode ini untuk membantu siswa agar lebih berkonsentrasi dan rileks dalam kegiatan belajarnya, dengan sugesti yang telah

diberikan oleh guru. Metode ini juga dimaksudkan untuk mengawasi siswa di dalam kelas saat mereka belajar. Siswa diajak untuk merasa nyaman selama kegiatan belajar mengajar dengan mendengarkan musik dan membuat catatan sesuai dengan apa yang mereka dengar. Metode ini dapat berhasil untuk mempertahankan kosakata bahasa Inggris di kelas speaking. c) Silent Way, tujuan dari metode ini adalah untuk membangkitkan kapasitas pembelajar untuk kesadaran dan belajar. Di mana siswa dituntut untuk lebih aktif dalam merespon guru yang lebih aktif bergerak atau memberikan gambar atau hal lainnya tanpa berbicara. d) Total Physical Response (TPR), metode pembelajaran bahasa yang mengintegrasikan pengajaran dan praktek. Yang melibatkan koordinasi perintah, ucapan, dan gerakan untuk membuat siswa lebih aktif selama pembelajaran.

Berdasarkan pra-observasi di beberapa SMP Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan, kondisi sekolah sudah baik dengan mengantongi akreditasi B, para guru juga banyak mengupayakan agar para siswa lebih aktif dalam mengikuti beberapa kegiatan seperti perlombaan di bidang mata pelajaran Bahasa Inggris dan mata pelajaran lainnya untuk lebih meningkatkan citra sekolah menjadi lebih baik. Peneliti juga menemukan bahwa rata-rata guru bahasa Inggris telah memiliki pengalaman mengajar lebih dari 5 tahun, bahkan ada yang sudah lebih dari 15 tahun, dan beberapa diantaranya sudah menjadi guru yang terakreditasi. Mereka memiliki berbagai macam metode yang berbeda dalam mengajar bahasa Inggris untuk mengajarkan kemampuan berbicara siswa. Karena berdasarkan beberapa hal tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih detail tentang bagaimana metode yang diterapkan guru kepada siswa dalam mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris di SMP Muhammadiyah Pasuruan. Menurut teori dari Harmer [5] metode manakah yang lebih banyak digunakan oleh para guru di SMP Muhammadiyah di Pasuruan. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja metode pengajaran yang digunakan oleh guru untuk mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa? 2. Bagaimana guru SMP Muhammadiyah mengimplementasikan metode pengajaran tersebut? Peneliti berharap mendapatkan jawaban dengan melakukan penelitian di beberapa SMP Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan.

Metode

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Woodsong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang biasanya membutuhkan pencarian jawaban atas pertanyaan, menggunakan serangkaian prosedur yang telah diatur sebelumnya untuk menjawab beberapa pertanyaan, mengumpulkan bukti-bukti, menghasilkan temuan-temuan yang belum pernah ditemukan sebelumnya, dan menghasilkan temuan-temuan yang dapat segera diaplikasikan di luar konteks penelitian [22]. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif, menurut Sugiyono penelitian ini adalah penelitian yang menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan informasi sebagaimana adanya yang telah terkumpul, tanpa bermaksud membuat generalisasi yang berlaku untuk umum atau kesimpulan yang berlaku untuk umum [23].

Latar Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 SMP Muhammadiyah yang berada di Kabupaten Pasuruan, yaitu: SMP Muhammadiyah 2 Bangil, SMP Muhammadiyah 3 Pandaan dan SMP Muhammadiyah 4 Gempol. Peneliti memilih tiga sekolah dari sekolah Muhammadiyah untuk mengetahui bagaimana metode guru dalam mengajar bahasa Inggris di masing-masing sekolah Muhammadiyah di Pasuruan, yang mana sekolah-sekolah tersebut memiliki akreditasi yang baik dan memiliki guru bahasa Inggris yang memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama satu bulan dalam mengumpulkan data, yang mana dalam satu minggu peneliti melakukan wawancara dan observasi di satu SMP Muhammadiyah.

Partisipan / Subjek Penelitian

Partisipan penelitian adalah satu guru bahasa Inggris dari masing-masing sekolah, sehingga total ada 3 guru dari 3 Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan untuk mempelajari lebih lanjut tentang tantangan yang terkait dengan pengajaran berbicara bahasa Inggris dan metode apa yang mereka gunakan untuk mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Hal ini dilakukan pada 3 guru karena dua dari tiga sekolah tersebut hanya memiliki satu guru yang mengajar bahasa Inggris, sehingga peneliti tidak dapat mengumpulkan lebih banyak data jika hanya meneliti di satu sekolah dan satu guru.

Teknik Pengumpulan Data

Peneliti melakukan wawancara dengan salah satu guru bahasa Inggris di masing-masing sekolah Muhammadiyah. Wawancara ini terkait dengan pembelajaran bahasa Inggris, khususnya pada keterampilan berbicara dengan metode pengajaran yang biasanya digunakan oleh guru ketika mengajar bahasa Inggris. Peneliti menggunakan jenis wawancara Semistructure Interview, Sugiyono menyatakan bahwa jenis wawancara Semistructure Interview termasuk

ke dalam jenis wawancara mendalam, yang dapat dilaksanakan dengan lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terorganisir. Dengan meminta pendapat dan ide dari pihak-pihak yang diajak wawancara, jenis wawancara ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih langsung [23]. Pertanyaan wawancara diadaptasi berdasarkan teori Harmer tentang berbagai metode pengajaran [5], dengan menggunakan jenis pertanyaan terbuka. Menurut Cohen, format pertanyaan terbuka dimaksudkan untuk memperoleh respon yang lebih komprehensif atau untuk menjawab pertanyaan dari subjek investigasi, tidak ada batasan lain dari jawaban narasumber [24]. Tujuan dari pertanyaan ini adalah sebagai berikut: 1. Metode pengajaran apa yang Anda gunakan untuk mengajarkan keterampilan berbicara siswa dalam pelajaran bahasa Inggris? Berdasarkan berbagai macam metode pengajaran oleh Harmer 2. Apa alasan Anda menggunakan metode pengajaran ini? 3. Materi pembelajaran apa yang Anda gunakan saat menerapkan metode tersebut? 4. Bagaimana Anda menerapkan metode pengajaran tersebut?

Peneliti mengamati setiap guru dari 3 sekolah Muhammadiyah yang disebutkan di atas ketika mereka mengajar kelas bahasa Inggris. Kemudian dengan menggunakan lembar observasi, tahapan pembelajaran yang diteliti berdasarkan langkah-langkah pembelajaran dari Kemendikbud yang masih berdasarkan K13 [25]. Dengan itu akan diketahui apakah guru dapat menerapkan metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa, dan bagaimana reaksi dan dampak dari metode tersebut terhadap siswa.

Analisis Data

Peneliti menggunakan dua instrumen untuk mengumpulkan data yang telah disebutkan di atas, dengan langkah- langkah sebagai berikut: 1. Peneliti telah mewawancarai setiap guru di 3 sekolah Muhammadiyah mengenai metode pengajaran apa yang biasanya mereka gunakan saat mengajar. Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang sudut pandang partisipan terhadap suatu masalah penelitian adalah dengan melakukan wawancara. Untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang masalah penelitian dari partisipan, peneliti menggunakan teknik wawancara. Sugiyono menyatakan bahwa jenis wawancara Semistructure Interview termasuk dalam jenis wawancara mendalam (in-dept interview), yang dapat dilaksanakan dengan lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Dengan meminta pendapat dan ide dari pihak-pihak yang diajak wawancara, wawancara jenis ini bertujuan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka [26]. Peneliti mewawancarai para guru dengan bertanya mengenai pengalaman dan pendapat para guru selama menerapkan metode pengajaran, sehingga para guru dapat mengekspresikan pengalaman mereka tanpa terkekang oleh sudut pandang peneliti atau temuan penelitian sebelumnya. Peneliti mengumpulkan data dengan merekam dan menulis di catatan. 2. Peneliti mengamati bagaimana guru menerapkan metode-metode tersebut saat mengajar berbicara dan reaksi siswa terhadap penggunaan metode-metode tersebut dalam pelajaran bahasa Inggris. Creswell menyatakan dengan melihat individu dan objek di tempat penelitian, observasi adalah metode terbuka dan langsung untuk memperoleh pengetahuan [27]. Sebagai metode pengumpulan data, observasi menawarkan kesempatan untuk mendokumentasikan peristiwa sebagaimana yang terjadi, mengamati perilaku aktual, dan mengamati orang-orang yang mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri. Peneliti akan mengamati setiap guru di 3 sekolah Muhammadiyah ketika mereka mengajar bahasa Inggris di kelas, bagaimana guru akan menerapkan metode pembelajaran dengan langkah demi langkah sesuai dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kurikulum 2013.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai metode pengajaran apa yang digunakan oleh masing-masing guru bahasa Inggris kelas 8th di tiga Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan dalam mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Dari sesi wawancara dengan 3 guru tersebut, peneliti menemukan bahwa setiap guru di 3 SMP Muhammadiyah tersebut menggunakan metode pengajaran yang berbeda.

"Saya menggunakan metode bermain peran untuk mengajarkan keterampilan berbicara kepada siswa". (Guru A)

"Saya cenderung menggunakan Diskusi dengan Metode Gramatikal untuk mengajar bahasa Inggris". (Guru B)

"Saya menggunakan metode Total Physical Response untuk mengajarkan kemampuan berbicara kepada siswa". (Guru C)

Guru A menggunakan metode Role Play dalam mengajarkan kemampuan berbicara siswa, dimana Role Play termasuk dalam kategori metode CLT. Harmer menyatakan bahwa siswa terlibat dalam komunikasi dunia nyata atau realistis sebagai bagian dari kegiatan CLT, dan pencapaian tugas komunikatif yang mereka lakukan setidaknya sama pentingnya dengan keakuratan penggunaan bahasa mereka, bermain peran dan simulasi sekarang semakin umum digunakan dalam CLT [5]. Guru A menggunakan metode ini karena CLT umumnya menggunakan komunikasi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Dia meminta siswa untuk melakukan kegiatan Role Play dengan percakapan sehari-hari untuk memudahkan mereka belajar berkomunikasi. Beliau mengatakan bahwa metode ini

merupakan salah satu metode yang lebih efektif untuk mengajarkan siswa berbicara, dimana materi pembelajaran yang digunakan untuk menerapkan metode ini adalah tentang ungkapan Hope, Wish dan Congratulation. Dalam penerapan metode ini, guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, beliau juga menggunakan teknik drilling untuk mempermudah dan meminimalisir kesalahan siswa dalam mengenali intonasi dan pelafalan kata yang benar, kemudian akan diaplikasikan saat bermain peran dengan masing-masing kelompok. Drilling memberikan siswa kemampuan untuk mempraktekkan pengucapan, tata bahasa, atau struktur bahasa setelah mendengar guru atau media sebagai contoh dengan cara mengulang-ulang secara berulang-ulang [22].

Guru B menggunakan metode Diskusi dengan metode Grammar dalam mengajarkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa di kelas. Metode diskusi adalah jenis pendidikan yang melibatkan pertanyaan, mirip dengan tes. Seorang guru dapat mengajukan pertanyaan untuk menilai apa yang telah dipelajari siswa dan apa yang masih harus diajarkan. Guru akan memberikan penilaian terhadap pemahaman siswa mengenai materi yang diajarkan sebelumnya untuk menilai apakah siswa memahami materi tersebut. Guru menerapkan metode diskusi untuk mengajarkan siswa berbicara dengan materi pembelajaran tentang pendapat tentang makanan dan minuman. Awalnya guru memberikan contoh berbagai kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan pendapat, kemudian guru berdiskusi dengan siswa tentang pendapat mereka tentang makanan dan minuman tertentu. Siswa akan memberikan pendapatnya secara lisan, untuk mengasah kemampuan berbicara mereka dalam pelajaran bahasa Inggris setelah berdiskusi dengan guru. Dengan demikian, metode grammatical digunakan oleh guru sebagai penunjang ketika berdiskusi dengan siswa jika ada yang tidak mengetahui arti dari kalimat yang sulit untuk mereka pahami.

Guru C menggunakan metode Total Physical Response ketika mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Total physical response adalah cara pengajaran bahasa yang didasarkan pada koordinasi verbal dan tindakan melalui keterlibatan fisik [23]. Guru menggunakan metode ini karena sebelum ia mengajarkan speaking kepada siswa, guru ingin melatih kemampuan siswa dalam hal kosakata dengan mengandalkan kemampuan sistem motorik untuk melatih keaktifan siswa selama pembelajaran. Karena beberapa siswa kurang menguasai materi kosakata, dan ada beberapa siswa yang kurang tanggap dalam menjawab bahasa Inggris secara spontan. Untuk menerapkan metode ini, guru menyiapkan materi pembelajaran mengenai perbandingan derajat dan beberapa pertanyaan yang mengandung vocabulary, kemudian guru akan mendiskusikan dan memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa mengenai materi tersebut secara lisan untuk mengasah kemampuan berbicara siswa.

Hasil wawancara tersebut juga dibuktikan oleh penulis dengan melakukan observasi di kelas ketika guru sedang mengajar dan menerapkan metode pembelajaran yang digunakan kepada siswa. Tahapan mengajar yang diteliti berdasarkan langkah-langkah pembelajaran dari Kemendikbud yang masih berdasarkan Kurikulum 2013 [24].

Langkah-langkah Pembelajaran Contoh Kegiatan Guru A Guru B Guru C
Ya. Tidak Ya. Tidak Ya. Tidak.
Mengamati Guru meminta siswa untuk mengamati (melihat dan mendengar) materi yang akandisampaikan.
Mempertanyakan Guru mengajukan pertanyaan terkait materi yang belum dipahami siswa.
Bereksperimen Guru meminta siswa untuk mengumpulkan informasi dari video, buku teks atau buku penunjang lainnya, dari internet/materi terkait
Mengasosiasikan Guru meminta siswa untuk berdiskusi mengolah informasi yang mereka dapatkan dan menuliskannya di buku catatan.
Table 1.Hasil observasi berdasarkan langkah-langkah pembelajaran Kurikulum 2013
Mengkomunika sikan Guru meminta siswa untuk membahas hasil diskusi dan pekerjaan mereka, kemudian menyimpulkan hasil kegiatan belajar yang telah mereka lakukan.
Table 2.Hasil observasi berdasarkan langkah-langkah pembelajaran Kurikulum 2013

Berdasarkan observasi terhadap 3 guru yang mengajar di kelas 8 SMP, peneliti dapat melihat bahwa 3 guru dari masing-masing SMP Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan masih menggunakan Kurikulum 2013. Guru A menggunakan metode mengajar yang tepat. Ia melaksanakan tahapan pembelajaran sesuai arahan Kemendikbud K13. Mulai dari guru menjelaskan materi, guru juga menggunakan teknik drill untuk mempermudah dan meminimalisir kesalahan siswa dalam mengenal intonasi dan pengucapan kata yang benar, menanyakan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, meminta siswa membuat beberapa kelompok dan berdiskusi untuk membuat teks percakapan dan meminta mereka untuk bermain peran di depan kelas. Sehingga siswa terlihat lebih aktif dan rileks saat berkomunikasi dengan kelompoknya masing-masing dengan menggunakan metode Role Play. San-Valero di Haliwanda berpendapat bahwa pendekatan CLT sering menggunakan kegiatan seperti bermain peran, presentasi kelompok, dan diskusi kelas untuk memaksimalkan kesempatan berbicara dan berbagi bahasa [25]. Metode CLT dengan kegiatan Role Play dapat memudahkan siswa untuk berkomunikasi menggunakan bahasa dalam konteks umum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat mereka di kelas bahasa Inggris mereka dan selama kegiatan CLT dimungkinkan oleh dorongan dari guru [26]. Telah terbukti bahwa dengan menggunakan metode CLT, guru bahasa Inggris dapat mengajarkan berbicara kepada siswa mereka dengan cara yang memungkinkan mereka untuk berbicara dengan lebih lancar, akurat, dan jelas.

Guru B melakukan tahapan pembelajaran yang sama, sesuai dengan arahan K-13 untuk menerapkan metode diskusi dengan metode gramatika, guru berdiskusi dan memberikan beberapa pertanyaan mengenai materi dan siswa memperhatikan dan memberikan respon, guru membacakan dan menerjemahkan kalimat yang belum dimengerti oleh siswa. Namun, untuk latihan yang berhubungan dengan pemahaman siswa guru tidak meminta siswa untuk membuat proyek, sebagai gantinya guru akan memberikan pertanyaan secara lisan kepada siswa untuk dijawab secara spontan. Untuk reaksi siswa, ada beberapa yang tidak siap dan malu saat menjawab, dan sebagian besar siswa lainnya lebih baik dalam menjawab dalam bahasa Inggris, walaupun hanya jawaban singkat. Diskusi adalah alat pengajaran yang berharga untuk kegiatan bahasa yang mendorong keterlibatan siswa, terutama dalam berbicara [27]. Metode Grammatical diterapkan untuk memudahkan siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami bahasa Inggris dan berbicara bahasa Inggris. Sari dan Widiati setuju bahwa Grammatical Method dapat membantu siswa untuk memahami kurikulum dengan lebih baik karena mayoritas dari mereka masih memiliki kemampuan bahasa Inggris yang terbatas. Karena jarang terjadi kesalahpahaman, berbicara dalam dua bahasa dapat membantu interaksi antara siswa dan guru. Fakta bahwa siswa dapat berbicara satu sama lain dalam bahasa ibu mereka di kelas membuat mereka lebih mudah didekati dan meningkatkan motivasi belajar mereka [28].

Guru C menggunakan tahapan pembelajaran yang sama dengan kedua guru sebelumnya yang masih menerapkan K-13. Untuk penerapan tahapan pembelajaran terkait metode Total Physical Response yang digunakan, guru menjelaskan materi yang pada saat itu membahas tentang perbandingan. Kemudian guru membuat soal di papan tulis dan menunjuk beberapa siswa untuk maju ke depan kelas untuk menjawab, serta latihan pemanasan untuk mengingat kosakata. Guru C juga tidak memberikan proyek kepada siswa. Namun, guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tempat duduk. Kemudian siswa akan diberikan pertanyaan secara spontan terkait kosakata yang telah mereka hafal untuk melatih kemampuan berbicara mereka. Siswa yang berdiri lebih cepat dapat menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Guru C menerapkan metode Total Physical Response untuk melatih kemampuan berbicara siswa dengan memproduksi lebih banyak kosakata dengan mengandalkan kemampuan sistem motorik, sehingga siswa menjadi aktif selama pembelajaran. Ahli lain tampaknya mengemukakan bahwa Total Physical Response adalah metode pengajaran bahasa yang berfokus pada sinkronisasi ucapan dan tindakan, dengan gerakan motorik fisik yang mencoba untuk membalas setiap bahasa [29]. Dan reaksi sebagian besar dari mereka juga terlihat antusias saat menjawab walaupun masih ada kesalahan pengucapan, namun siswa terlihat antusias dan aktif menjawab, namun ada juga yang terlihat malu/takut salah menjawab. Pendekatan TPR sangat baik untuk membantu anak-anak mempelajari kata/kosakata baru. Siswa lebih terlibat, cepat mengingat informasi, dan percaya diri dalam menggunakan berbagai kata [30]. TPR membantu siswa memahami bahasa secara lebih mendalam, yang membantu mereka mengatasi tantangan berbicara. Sebaliknya, mereka tidak akan diminta untuk berbicara sampai mereka siap untuk melakukannya; sebaliknya, mereka akan diinstruksikan untuk mendengarkan dan mengikuti dengan tubuh mereka [31].

Dari hasil data di atas dapat dilihat bahwa setiap guru dari 3 SMP Muhammadiyah menggunakan metode pengajaran berdasarkan teori Harmer [5], untuk mengajarkan keterampilan berbicara siswa sehingga, seperti yang dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan yang telah dibahas, terbukti dari beberapa penelitian yang mendukung bahwa dengan menggunakan metode pengajaran yang telah disebutkan oleh 3 guru di SMP Muhammadiyah dalam mengajarkan keterampilan berbicara siswa sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Para guru terkadang menerapkan beberapa metode atau teknik mengajar yang mendukung materi pembelajaran yang akan mereka ajarkan kepada siswa, hal ini juga dipertimbangkan baik oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa guru bahasa Inggris di 3 SMP Muhammadiyah di Kabupaten Pasuruan menggunakan metode pembelajaran yang berbeda untuk mengajarkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa. Ketiga guru tersebut menerapkan metode pembelajaran dengan menyesuaikan masalah dalam pengajaran dan kesulitan yang dialami siswa ketika belajar bahasa Inggris. Menurut Harmer, metode pembelajaran yang digunakan sudah tepat, diantaranya adalah Communicative Language Teaching, yaitu metode yang melibatkan siswa dalam komunikasi dunia nyata atau realistis dan penyelesaian tugas-tugas komunikatif yang mereka lakukan setidaknya sama pentingnya dengan keakuratan penggunaan bahasa mereka. Metode Diskusi, metode untuk mengajukan pertanyaan untuk menilai apa yang telah dipelajari siswa dan apa yang masih harus diajarkan. Guru akan memberikan penilaian terhadap pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan sebelumnya untuk menilai apakah siswa memahami materi tersebut. Metode Gramatikal, dengan menerjemahkan ke dalam bahasa ibu untuk memudahkan siswa memahami perkataan guru dan materi yang disampaikan. Total Physical Response untuk melatih kemampuan siswa dalam hal kosakata dengan mengandalkan kemampuan sistem motorik untuk melatih keaktifan siswa selama pembelajaran dalam mengajarkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa.

Namun, peneliti juga ingin memberikan beberapa saran dan harapan kepada para guru. Guru harus dapat menciptakan suasana belajar dan meningkatkan kemampuan belajar murid, guru setidaknya dapat lebih mengetahui dan menerapkan beberapa metode atau strategi pembelajaran yang bervariasi dan lebih menarik. Khususnya dalam pengajaran speaking, diharapkan guru lebih memusatkan perhatiannya untuk membantu murid dalam berbicara dan memahami bahasa yang mereka pelajari.

References

  1. . R. Hughes, "Spoken English, TESOL and Applied Linguistics Challenges for Theory and Practice," TESOL Quarterly, vol. 53, no. 9, pp. 1–10, 2013.
  2. . H. D. Brown, "Principles of Language Learning and Teaching," 5th ed. Pearson Education, 2007. doi: 10.1007/978-1-4419-1428-6_347.
  3. . S. Thornbury, “How to Teach Speaking,” pp. 163, 2005.
  4. . A. Burns, "Teaching Speaking: A Holistic Approach," Series. New York: Cambridge University Press, 2012.
  5. . J. Harmer, “Learning the Language of Practice,” Curriculum Inquiry, vol. 17, no. 3, pp. 293–318, 1987, doi: 10.1080/03626784.1987.11075294.
  6. . D. R. Santoso and W. Taufiq, “Video Recording to Reflect the Speaking Performance,” vol. 125, no. ICIGR 2017, pp. 103–107, 2018, doi: 10.2991/icigr-17.2018.25.
  7. . S. McKay and H. D. Brown, “Principles of Language Learning and Teaching,” TESOL Quarterly, vol. 14, no. 2, pp. 240, 1980, doi: 10.2307/3586319.
  8. . H. D. Brown, “Principles of Language Learning and Teaching,” in Encyclopedia of the Sciences of Learning, 1st ed., Springer, pp. 1743–1745, 2007.
  9. . J. C. Richards, “Approaches and Methods in Language Teaching: A Description and Analysis,” Contemporary Psychology: A Journal of Reviews, vol. 21, no. 1, pp. 20–21, 1999.
  10. . V. Mandarani, O. Purwati, and D. R. Santoso, “A CDA Perspective of Cultural Contents in the English Junior High School Textbooks,” Indonesian Journal of English Language Teaching and Applied Linguistics, vol. 5, no. 2, pp. 237, 2021, doi: 10.21093/ijeltal.v5i2.671.
  11. . O. R. Candraloka and A. Rosdiana, “Investigating Problems and Difficulties of Speaking Encountered by English Language Speaking Students of Junior High School,” Journal of English Language Education, vol. 5, no. 2, pp. 130–135, 2019.
  12. . R. S. Dewi, U. Kultsum, and A. Armadi, “Using Communicative Games in Improving Students’ Speaking Skills,” English Language Teaching, vol. 10, no. 1, pp. 63, 2016, doi: 10.5539/elt.v10n1p63.
  13. . D. Ainunnisa, “Effective Strategies Applied in English Speaking Class (A Case Study of 8 Graders of MTs Muhammadiyah 1 Ciputat),” Athar Journal, vol. 8, no. 1, pp. 2013, 2013.
  14. . H. Hermansyah, “Self Talk Strategy in Improving the Eleventh Grade Students’ Speaking Ability,” Journal Smart, vol. 7, no. 1, pp. 1–6, 2021, doi: 10.52657/js.v7i1.1331.
  15. . S. Munir, E. Emzir, and A. Rahmat, “The Effect of Teaching Methods and Learning Styles on Students’ English Achievement (An Experimental Study at Junior High School 1 Pasangkayu),” Journal of Education, Teaching and Learning, vol. 2, no. 2, pp. 233, 2019, doi: 10.26737/jetl.v2i2.292.
  16. . D. A. Puspitasari, “Exploring English Language Teaching Method of the Second Grade Students At SMA MBS Yogyakarta,” Metathesis Journal of English Language and Literature Teaching, vol. 3, no. 2, pp. 124–134, 2017, doi: 10.31002/metathesis.v3i2.1399.
  17. . I. M. Basa, D. Asrida, and N. Fadli, “Contributing Factors to the Students’ Speaking Ability,” Langkawi Journal of Association of Arab English, vol. 3, no. 2, pp. 156, 2018, doi: 10.31332/lkw.v3i2.588.
  18. . H. Putri, F. Fahriany, and N. Jalil, “The Influence of Think-Pair-Share in Enhancing Students’ Speaking Ability,” Journal of Education, Teaching and Learning, vol. 5, no. 1, pp. 67, 2020, doi: 10.26737/jetl.v5i1.1551.
  19. . D. Daud, S. Yasim, and A. Munawir, “The Comparison Between Direct Method and Grammar Translation Method in Improving Students’ Reading Comprehension,” English Language Studies and Teaching International Journal, vol. 2, no. 2, pp. 91–101, 2022, doi: 10.24252/elstic-ij.v2i2.26393.
  20. . S. Shermamatova, “Teaching English Through the Direct Method,” Oriental Renaissance: Innovation in Education and National Society, vol. 4, pp. 6304685, 2023.
  21. . H. Rahman, G. Sakkir, and S. Khalik, “Audio-Lingual Method to Improve Students’ Speaking Skill at SMP Negeri 1 Baranti,” Laogi English Language Journal, vol. 6, no. 1, pp. 16–21, 2020, doi: https://doi.org/10.2991/laogi.k.201118.004.
  22. . B. A. O. W. Atmi and K. A. J. Pharhyuna, “Improving Speaking Skill by Using Drill Technique at the Tenth Grade Students of SMKN 1 Singaraja in Academic Year 2018/2019,” Jurnal Ika, vol. 16, no. 2, pp. 106, 2019, doi: 10.23887/ika.v16i2.19830.
  23. . C. Nuraeni, “Using Total Physical Response (TPR) Method on Young Learners English Language Teaching,” Metathesis Journal of English Language and Literature Teaching, vol. 3, no. 1, pp. 26, 2019, doi: 10.31002/metathesis.v3i1.1223.
  24. . Kemendikbud, "Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah," Journal of Chemical Information and Modeling, vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699, 2014.
  25. . U. Haliwanda, “The Effect of Using the Communicative Language Teaching (CLT) Approach in Teaching Speaking,” English Literature Journal, vol. 8, no. 2015, pp. 40–53, 2021.
  26. . S. Mangaleswaran and A. A. Aziz, “The Impact of the Implementation of CLT on Students’ Speaking Skills,” International Journal of Scientific Research and Publications, vol. 9, no. 4, pp. p8814, 2019, doi: 10.29322/ijsrp.9.04.2019.p8814.
  27. . S. Azzahra S A, “Improving Students’ Speaking Skill Through Discussion Technique,” Neliti.Com, vol. 7, no. ISELT, pp. 1–7, 2018.
  28. . R. D. Sari, U. Widiati, and S. Muniroh, “Pre-service English Teachers’ Perceptions Towards Grammar Translation Method for Teaching English in High School,” Journal of Language, Literature and Arts, vol. 1, no. 12, pp. 1710– 1723, 2021, doi: 10.17977/um064v1i122021p1710-1723.
  29. . A. T. Ibrohim, A. Septianti, and I. S. Sadikin, “Students’ Perception Toward Teaching English Vocabulary Through Total Physical Response (TPR) Method,” Project (Professional Journal of English Education, vol. 1, no. 2, pp. 145, 2019, doi: 10.22460/project.v1i2.p145-156.
  30. . R. Gayanti and I. Satriani, “Teaching Students’ Vocabulary Through Total Physical Response,” Project (Professional Journal of English Education, vol. 3, no. 3, pp. 414, 2020, doi: 10.22460/project.v3i3.p414-419.
  31. . N. Andas, H, “Improving Students’ Speaking Ability under Total Physical Response at Class VII of SMP Negeri 8 Kendari,” Journal of English Education, vol. 1, no. 2, pp. 165–172, 2016.