Study Of Islamic Studies
DOI: 10.21070/jims.v6i2.1592

The Concept of Entrepreneurship Model from an Islamic Perspective


Konsep Model Kewirausahaan dalam Perspektif Islam

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Entrepreneurship Islam Perspective

Abstract

This research explores the concept of entrepreneurship within an Islamic framework, emphasizing the integration of religious elements and values to facilitate human self-development in business endeavors. Utilizing a document/text study research method, the investigation reveals that sincere adherence to Islamic teachings imbues entrepreneurial activities with a sense of worship, fostering qualities such as trustworthiness, kindness, and service orientation. Moreover, the study highlights the significance of activating Islamic spiritual intelligence to align business practices with religious principles, asserting that entrepreneurial success hinges upon individuals possessing an entrepreneurial spirit grounded in Islamic values. The findings underscore the importance of traits such as self-confidence, initiative, and risk-taking in Islamic entrepreneurship, ultimately contributing to a deeper understanding of entrepreneurial dynamics within the Islamic context and offering guidance for Muslim entrepreneurs in navigating their ventures.

Highlights:

  • Integration of Islamic values: Embedding trustworthiness and service orientation in entrepreneurship.
  • Harnessing spiritual intelligence: Utilizing Islamic teachings to align business practices for success.
  • Guidance for Muslim entrepreneurs: Offering insights for business rooted in faith-based principles.

Keywords: Entrepreneurship, Islam, Perspective

Pendahuluan

Banyak orang percaya bahwa seseorang memiliki peluang lebih besar untuk sukses dibandingkan orang lain jika mereka memiliki kapasitas intelektual (IQ) yang tinggi. Pada kenyataannya, ada beberapa kasus di mana individu dengan tingkat kecerdasan intelektual yang lebih tinggi tertinggal dari mereka yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang lebih rendah. Ternyata kesuksesan tidak selalu terjamin dengan memiliki IQ yang tinggi [1]. Mendapatkan akses menuju kesuksesan membutuhkan lebih dari sekadar memiliki gelar atau tingkat pendidikan yang tinggi; kemampuan dan keterampilan seseorang adalah hal yang sangat penting, terutama dalam hal bidang pekerjaannya. Orang-orang menyadari bahwa mengembangkan pola pikir kewirausahaan adalah kemajuan signifikan yang tidak dapat ditunda ketika mereka melihat realitas dengan objektivitas dan kejujuran. Untuk melihat dan melangkah ke arah itu, kita semua harus berpikir. [2].

Perdagangan adalah sumber pendapatan terbaik. Di masa lalu, perdagangan adalah cara utama Islam menyebar ke seluruh Indonesia. Islam tiba di Jawa, Banten, dan pesisir utara Sumatra melalui perdagangan. Ada hubungan antara pedagang Muslim dan masyarakat melalui perdagangan. Para pedagang ini melakukan upaya yang konsisten untuk terlibat dalam perdagangan dan dakwah. Para raja dan bangsawan terlibat dalam perdagangan dan bahkan menjadi pemilik kapal dan pemegang saham, menjadikan jalur perdagangan ini sebagai sarana yang sangat menguntungkan untuk memeluk Islam [3].

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah uswah hasanah. Beliau telah terlibat dalam dunia wirausaha sejak masih muda. Bersama pamannya Abu Thalib, tidak hanya di wilayah Makkah tetapi juga di luarnya, hingga ke beberapa negara lain. Para mitra bisnisnya merasa senang dan mendapatkan keuntungan dari reputasinya sebagai pedagang yang terampil, dapat dipercaya, dan jujur. Sebagai seorang muslim seharusnya selalu berusaha meneladani sifat dan karakter beliau dalam kehidupan sehari-hari, bukan saja dalam hal beribadah tetapi juga dalam hal berwirausaha. Islam mendorong penganutnya yang berprofesi sebagai pedagang untuk senantiasa memperhatikan kaum lemah, fakir, miskin, janda tua dan siapapun yang tidak mampu bersaing dalam dunia usaha di sekitarnya [4].

Dalam Islam kewirausahaan dipandang sebagai salah satu ibadah, dapat meningkatkan ekonomi umat Islam dan masyarakat pada umumnya karena usaha yang dilakukan untuk mencari rezeki dianggap sebagai suatu Tindakan yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu seorang wirausahawan harus berpegang teguh prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai yang baik agar dapat membantu dalam membangun bisnis yang sukses dan berkelanjutan [2].

Selain itu nilai-nilai dalam Pendidikan kewirausahaan Islam juga sangat penting untuk ditanamkan sejak dini, karena dapat membentuk karakter dan kepribadian yang baik, yang dibutuhkan dalam membangun bisnis yang sukses. Dalam hal ini Pendidikan kewirausahaan Islam tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan bisnis tetapi juga nilai-nilai moral dan etika yang baik, sehingga para pelaku bisnis dapat menjadi entrepreneur yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Selanjutnya pemerintah juga memberikan dukungan yang penting. Ini dapat ditunjukkan melalui pengembangan infrastructure, peraturan yang mendukung pembentukan bisnis baru, stabilitas ekonomi, dan komunikasi yang lancar. kemudian memahami pasar merupakan hal yang sangat penting untuk meluncurkan produk baru dan tersedianya dana juga akan mendukung kemajuan bisnis tersebut [1].

Meskipun demikian, budaya masyarakat kita tidak menghargai menjadi seorang wirausahawan; sebaliknya, mereka memandang menjadi pegawai negeri sebagai jalur karir yang lebih terhormat dan menjanjikan. Sampai saat ini, kewirausahaan tidak dapat dibandingkan dengan profesi lain. Berbeda dengan budaya negara-negara industri, di mana bekerja untuk diri sendiri lebih penting daripada untuk orang lain. Masalah mendasar yang dihadapi adalah bagaimana pemerintah daerah dapat meningkatkan cakupan dan ukuran perusahaan yang semakin egaliter untuk meningkatkan standar hidup dan tingkat pendapatan. Agar setiap orang bangga menjadi pengusaha, pemerintah juga harus membantu mengubah opini publik.

Dengan demikian, tindakan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dapat dianggap sebagai ibadah jika dilakukan dengan niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Orang-orang yang memiliki sikap kewirausahaan dianggap sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk melibatkan diri dalam proses kreatif dan inovatif. Mereka ditandai oleh atribut seperti keyakinan diri yang tinggi, inisiatif, motivasi untuk mencapai prestasi, memiliki visi masa depan yang jelas, kepemimpinan yang kuat, dan keberanian dalam menghadapi risiko [4].

Berdasarkan beberapa penilitian terdahulu konsep kewirausahaan dalam pandangan al-qur’an dan hadist ditemukan nabi dalam menjalankan wirausahanya di berbagai daerah tidak terlepas dari sifat yang melekat yaitu jujur, amanah, transparan, kreatif, dan inovatif. Sifat – sifat inilah yang membawa para nabi menjadi seorang bisnis yang professional [5]. Pada penelitian kedua menyatakan salah satu faktor yang mendukung perkembangan diri manusia dalam kegiatan bisnis/usaha adalah Penerapan unsur dan nilai – nilai religius yang di lakukan oleh pembisnis tersebut [6].

Namun demikian, dengan melihat kondisi obyektif saat ini, cara pandang dan orientasi yang disebutkan di atas perlu dimodifikasi karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perubahan kehidupan yang berkembang sedemikian kompetitif. Pola pikir dan orientasi hidup masyarakat perlu diubah, dan untuk itu, mereka perlu memahami konsep-konsep tertentu dan mengetahui bagaimana cara menjalankan bisnis sebagai pengusaha. Oleh karena itu, riset ini akan membahas “Konsep Model Pendidikan Kewirausahaan dalam Perspektif Islam”.

Metode

Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kajian pustaka (library research) dengan melakukan proses tela’ah terhadap berbagai literatur seperti buku, jurnal ilmiah, surat kabar, sumber online serta beberapa data tambahan yang masih memiliki keterkaitan dengan obyek kajian penelitian ini. Penelitian ini termasuk pada pendekatan kualitatif menggunakan metode deskriptif yang memfokuskan upayanya pada analisis terhadap informasi yang dinilai valid mengenai fenomena maupun topik tertentu, pada waktu tertentu guna menghasilkan produk dari sebuah proses, yang mana kemudian dilakukan penafsiran secara obyektif berdasarkan data empiris mengenai fenomena tersebut [7]

Sumber penelitian ini didapatkan dari kepustakaan yang digali dari berbagai sumber terkait mengenai pendidikan kewirausahaan, etika berwirausaha serta nilai-nilai Islam dalam kewirausahaan. Sumber data lainya diambil dari data sekunder yang berbentuk litelaur-litelatur yang relevan serta meembantu penelitian ini, baik berbentuk buku, jurnal, surat kabar, majalah dan sebagainya [8].

Data yang diperoleh dari jurnal ilmiah, buku, serta sumber online akan dikumpulkan, selanjutnya dianalisis serta dilakukan interpretasi data dengan menjabarkan makna dari data yang didapatkan sehingga mudah dipahami. Setelah itu untuk menghindari kesalahan data yang telah terkumpul, peneliti melakukan pengecekan kebasahan data dengan teknik triangulasi. Dimana peneliti akan mengkonfirmasi dan mengecek kembali terkait sumber, teori dan metode yang terkait dengan judul penelitian.

Hasil dan Pembahasan

A. Pendidikan K ewirausahaan dalam Islam

Wirausaha adalah istilah yang dapat diterjemahkan sebagai “the backbone of economi”, yang merupakan pusat saraf ekonomi, atau “tailbone of economi”, yang merupakan pengendali ekonomi suatu bangsa. Secara etimologis, kewirausahaan dapat didefinisikan sebagai nilai yang diperlukan untuk memulai bisnis (fase start-up) atau melakukan sesuatu yang baru (kreatif) atau berbeda (fase inovatif). Di sisi lain, kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai usaha kreatif yang menciptakan nilai dari ketiadaan menjadi sesuatu yang dapat dinikmati banyak orang.

Menjadi seorang wirausahawan harus memiliki pola pikir, semangat, dan bakat untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain karena dalam hakikatnya kewirausahaan akan terus berkembang. Kewirausahaan adalah suatu keadaan pikiran dan jiwa yang selalu aktif, imajinatif, mandiri, pekerja keras, dan rendah hati ketika berusaha meningkatkan pendapatan melalui usaha ekonomi. Selain itu, wirausahawan sebagai seseorang yang memperkenalkan produk dan jasa baru, membentuk struktur organisasi baru, atau mengolah bahan baku baru untuk merombak sistem ekonomi pada saat ini. Di sisi lain kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai proses membuat sesuatu yang unik dengan menginvestasikan seluruh waktu dan energi seseorang, serta menerima risiko finansial, psikologis, dan sosial dan mendapatkan bayaran dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk kepuasan pribadi [9].

Oleh karena itu, bisnis tidak dapat dihindari dengan yang namanya mencari keuntungan. Para ahli mengatakan bahwa motivasi utama bagi pelaku bisnis adalah mencari keuntungan. Secara keseluruhan, etika bisnis tergantung pada individu yang terlibat dalam bisnis tersebut. Terdapat dua aspek yang digunakan sebagai tolok ukur dalam mengukur etika, yaitu prinsip imbal balik dan niat baik. Prinsip imbal balik mengacu pada penerimaan seseorang terhadap perilaku orang lain terhadap dirinya. Jika tindakan tersebut diterima secara positif, maka tindakan tersebut tidak melanggar etika. Sementara itu, niat baik dapat diamati ketika seorang penjual mengungkapkan informasi yang benar dan jujur tentang barang dagangannya. Sebagai seorang Muslim yang baik, perilaku sehari-hari dapat mencerminkan sifat kebaikan. Dalam bertindak, seorang Muslim akan berhati-hati untuk tidak mengganggu orang lain dan tetap setia pada ajaran agama Islam [10].

Sejalan dengan pandangan tersebut, seorang wirausahawan bisa melihat adanya peluang dan membangun sebuah perusahaan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Berdasarkan pandangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan dicirikan oleh tiga elemen kunci: individu yang memiliki kemampuan untuk mengenali dan memanfaatkan peluang, keberanian untuk mengambil risiko yang diperhitungkan ketika mengelola bisnis, dan kemandirian untuk mengejar tujuan dan menjadi teladan bagi orang lain [4]. Dalam Al-Qur'an Surat al-Jumuah ayat 10, Allah memerintahkan umat Islam untuk menyebar ke seluruh penjuru dunia dan melakukan aktivitas untuk mencari berkah Allah, bukan untuk bersantai-santai setelah shalat, yang berbunyi:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung[11].

Menurut ayat tersebut, setelah shalat selesai, pergi ke bumi dan mencari bagian dari rezeki Allah dan ingat Allah sebanyak mungkin agar Anda beruntung. Prinsip-prinsip bisnis terkait dengan kata-kata "berbagi dan mencari bagian dari rezeki Allah dan ingat Allah sebanyak mungkin".

Selain itu, seorang pengusaha harus memiliki niat yang baik. Bisnis tidak dimulai hanya untuk keuntungan atau kemakmuran pribadi; sebaliknya, bisnis yang kita mulai harus berfungsi sebagai cara untuk membantu satu sama lain memenuhi kebutuhan orang lain. Pada akhirnya, jenis bisnis seperti itu akan menjadi ibadah dan bahkan bagian dari jihad [3]. Sebagaimana dalam Alquran surat al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya[11].

Meskipun demikian, konsep perdagangan atau perdagangan memiliki peranan penting dalam Islam. Salah satu bukti betapa pentingnya konsep ini adalah bagaimana Quran menggunakan kata dengan berbagai arti yakini The term "trade" tidak hanya mengacu pada transaksi yang melibatkan pertukaran barang atau jasa dalam kehidupan sehari-hari, tetapi bisa menggunakan cara bersikap terhadap Tuhan. Dalam arti lain, "trade" memiliki makna eschatalogis, yaitu wirausaha yang bersifat ibadah [2].

Beberapa ide yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa menjadi seorang wirausahawan tidak selalu dikaitkan dengan memiliki karakter kewirausahaan saja, karena seseorang yang tidak memiliki karakter kewirausahaan juga dapat memilikinya. Kewirausahaan mencakup semua aspek pekerjaan, termasuk di sektor publik dan swasta. Orang yang menciptakan ide dan menggabungkan sumber daya untuk menemukan peluang dan memperbaiki kehidupan mereka dikenal sebagai wirausahawan. Mereka adalah pemikir yang kreatif dan inventif [4].

Oleh karena itu, kewirausahaan dalam Islam dapat dilihat sebagai perdagangan yang dikaitkan dengan pengabdian, bukan pengayaan diri. Seorang wirausahawan juga harus memiliki filosofi hidup yang mandiri, tidak puas duduk di tempat yang nyaman, dan selalu berusaha untuk memohon berkah dari Allah dengan cara yang benar secara moral. Dia juga tidak boleh lupa bahwa Allah adalah satu-satunya yang telah melimpahkan banyak manfaat kepadanya.

B. Etika Mulia Kewirausahaan dalam Islam

Agama Islam sangat menghargai usaha keras seseorang, dan usaha keras tersebut akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Individu yang luar biasa di mata Islam adalah mereka yang bertakwa kepada Allah. Tingkat ketakwaannya diukur berdasarkan iman, intensitas, dan kualitas amal saleh yang dilakukan. Dalam dunia bisnis, seorang Muslim selalu mematuhi syariat agama Islam. Seorang Muslim yang berbisnis diharapkan mampu mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat. Melalui ajaran Rasulullah, Islam mengajarkan prinsip-prinsip berbisnis mulai dari etika berbisnis hingga pengelolaan harta yang diperoleh [12]. Adapun etika Islami sebagai bentuk sifat perilaku terpuji dalam kewirausahaan yang dapat digunakan oleh seorang wirausaha, sebagai berikut;

1. Tidak Mengambil Laba Lebih Banyak

Memberikan kompensasi yang lebih tinggi kepada pedagang yang kurang mampu secara finansial. Memurahkan harga dan memberi potongan kepada pembeli yang miskin sehingga akan melipatgandakan pahala. Jika memiliki hutang, sebaiknya melunasi lebih cepat dari jangka waktu yang telah ditentukan. Membatalkan transaksi jual beli jika pembeli menginginkannya. Jika menjual bahan makanan secara kredit kepada orang yang kurang mampu, tidak perlu menagih pembayaran jika orang tersebut tidak mampu membayar, dan memberikan pengampunan hutang jika orang tersebut meninggal dunia [4].

2. Manajemen Utang Piutang

Budaya kita pada dasarnya adalah berutang. Jika utang tidak dibayar, itu tetap menjadi dosa. Dosa utang tidak dapat diampuni, bahkan oleh para Allah sekalipun. Dengan demikian, jika seseorang meninggal dunia, kewajiban tersebut harus dilunasi oleh ahli warisnya. Tetapi jika orang tersebut mencoba untuk membayar tetapi benar-benar tidak mampu, dan dia meninggal dunia, Nabi Muhammad SAW akan menjadi jaminannya. Seperti dalam hadis berikut: “Barang siapa dari umatku yang punya hutang, kemudian ia berusaha keras untuk membayarnya, lalu ia meninggal duniasebelum lunas hutangnya, maka aku sebagai walinya.” (HR. Ahmad)[1].

3. Demonstration Effect Menyebabkan Faktor

Keadaan ketika modal terperangkap dalam efek pamer kekayaan dapat memicu rasa cemburu sosial dan iri pada orang lain, serta meningkatkan risiko pencurian atau perampokan. Hal ini juga dapat mengakibatkan modal masyarakat tidak digunakan secara produktif dan menghambat kemajuan mereka. Nabi Muhammad SAW menyarankan agar kita menggunakan uang untuk tujuan yang diridhoi Allah, terutama dalam pengembangan produktivitas yang bermanfaat bagi umat manusia. Sebuah hadis mengatakan: "Barangsiapa yang mengasuh anak yatim yang memiliki harta, maka hendaklah ia memperdagangkan harta tersebut untuknya, jangan sampai harta tersebut termakan oleh sedekah (zakat)." (HR. Ad-Daruquthni dan At-Tarmidzi). Hadis ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa, jika kita memiliki uang, kita perlu memanfaatkannya dengan menginvestasikannya pada sesuatu yang menghasilkan pendapatan daripada hanya menyimpannya. [13].

4. Membina Tenaga Bawahan Kerja

Pengusaha dan pekerja harus memiliki hubungan yang dibangun di atas empati, bantuan, dan saling membutuhkan. Hubungan kerja menjadi bukti akan hal ini. Pemberi kerja memberikan pekerjaan, sementara pekerja mendapatkan uang dari mereka sebagai alat untuk bertahan hidup. Karyawan memberikan waktu dan keterampilan mereka kepada majikan sehingga mereka dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka. Majikan berhak memerintah bawahan dan mendapatkan keuntungan. Selain itu, majikan harus menjaga pekerjanya dan memberikan gaji secepat mungkin. Sebagaimana hadist yang berbunyi, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering." (H.R. Ibnu Majah). Karena hal ini merupakan prinsip-prinsip Islam, maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai majikan untuk menyayangi dan memperlakukan pekerja dengan hormat [14].

C. Nilai-nilai Kewirausahaan dalam Islam

Pendidikan merupakan proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan negara di masa depan, sekaligus proses pewarisan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa kepada generasi muda. Melalui internalisasi dan pemahaman cita-cita yang tertanam dalam kepribadian mereka ketika mereka terlibat dengan orang lain di masyarakat, siswa secara aktif mengembangkan potensi mereka melalui pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan negara yang terhormat, bermoral, dan bermartabat [10].

Penting bagi setiap peserta didik, baik di sekolah, lembaga pendidikan tinggi, maupun dalam masyarakat, untuk mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai yang menjadi dasar karakter mereka, sehingga mereka dapat menjadi pengusaha yang berkarakter. Salah satu faktor penting dalam pengembangan potensi diri manusia, terutama dalam aktivitas bisnis, adalah penerapan nilai-nilai dan elemen-elemen religius. Implementasi nilai-nilai dan elemen-elemen religius perlu dilakukan, disertai dengan kecerdasan spiritual Islam, yang dapat menjadi potensi bagi seseorang dalam mencapai keberlanjutan bisnis atau usaha dalam perspektif Islam [15]. Beberapa nilai-nilai Islam yang dapat diperhatikan dalam hal ini adalah sebagai berikut:

a. Nilai Iman

Dalam kewirausahaan Islam, penting untuk mewujudkan iman karena iman dapat tercermin melalui keyakinan kepada Allah SWT sebagai pemberi rezeki kepada manusia melalui usaha yang dibangun. Selain itu, mempercayai bahwa setiap upaya yang dilakukan merupakan bagian dari bentuk ibadah kepada Allah SWT juga memiliki peranan yang signifikan. Dengan keyakinan ini, tugas-tugas akan dikerjakan dengan maksimal dan menghasilkan manfaat yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dengan begitu, aspek-aspek iman akan termanifestasi dalam setiap langkah yang diambil dalam menjalankan wirausaha.

Ada beberapa faktor yang berasal dari nilai-nilai iman yang berperan penting dalam memotivasi semangat seorang wirausahawan untuk membangun bisnis yang berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut terdapat dalam iman kepada Allah SWT, yang mencakup semua nilai-nilai dalam rukun iman secara keseluruhan. Dalam hal ini, iman ini berarti percaya bahwa Allah SWT akan memberikan rezeki kepada mereka yang selalu bekerja keras dan memiliki niat tulus dalam bekerja sebagai bentuk ibadah. Selain itu, penting untuk mengoptimalkan usaha dalam berwirausaha sambil tetap tawakal kepada Allah SWT, menjaga prinsip-prinsip yang baik, serta merasa bersyukur kepada Allah SWT atas rezeki yang diberikan. Dalam memulai proses usaha, nilai-nilai Islam juga harus diimplementasikan dalam ide-ide, produksi, permodalan, sistem pemasaran, dan manajemen sumber daya manusia [16].

b. Nilai Sifat Takwa, Tawakkal, Zikir, dan Syukur

Pengusaha harus memiliki kualitas ini karena mereka akan membuat pengelolaan perusahaan apa pun yang kita luncurkan menjadi lebih mudah. Karena sifat tawakkal, kita akan selalu menemukan solusi atas suatu masalah dan mendapatkan keuntungan yang tak terduga. Kita akan merasa mudah untuk mengoperasikan perusahaan meskipun memiliki banyak pesaing jika kita mengadopsi pola pikir tawakkal. Kita harus selalu mengingat Allah dan menyampaikan rasa syukur atas segala nikmat yang kita peroleh dengan ketakwaan dan tawakkal. Dengan demikian, kita akan merasa tenang dan dapat melakukan semua tugas tanpa rasa khawatir atau tertekan. [17].

c. Nilai Moralitas

Makna moralitas merujuk pada nilai-nilai akhlak yang luhur dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam konteks hubungan antara manusia dan Allah, moralitas mengatur hubungan pribadi dengan sesama manusia serta hubungan manusia dengan alam sekitar. Bagi seorang muslim, menjaga keseimbangan dalam hal moralitas dapat membantu menghindari tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan dan kesulitan bagi sesama.Terdapat beragam aspek yang terkait dengan nilai-nilai moral, seperti komitmen pada nilai-nilai spiritual dalam Islam, menjauhi perilaku yang melibatkan kezaliman terhadap orang lain, menghindari transaksi yang merugikan, dan menolak tindakan perusakan. Dalam transaksi, kedua belah pihak harus secara jelas dan dengan sukarela menyetujui perjanjian, serta saling meridhai. Penting juga untuk membayar gaji karyawan tepat waktu dan menjaga sikap dan perkataan agar tidak melukai perasaan sesama manusia [18].

d. Nilai Siddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah/Kecerdasan

Prinsip kejujuran atau sidiq adalah salah satu nilai yang harus dijunjung tinggi dalam transaksi atau bisnis. Penting untuk menerapkan kejujuran dalam segala hal. Di sisi lain, kebohongan adalah tindakan munafik yang harus dihindari. Kejujuran mencakup adanya keterbukaan dalam berinteraksi dengan sesama, menjalankan produksi barang dengan integritas, memperlihatkan integritas diri, serta menolak untuk mengambil hak milik orang lain secara tidak adil.

Selain itu, Nilai kepercayaan (amanah) memiliki peran yang sangat penting dalam berwirausaha atau bisnis dalam konteks Islam. Pentingnya kepercayaan tersebut terletak pada dampak positifnya dalam membangun kepercayaan dan kepuasan pelanggan. Dengan menjalankan tanggung jawab dengan baik terhadap amanah yang diberikan, kita dapat memperoleh loyalitas pelanggan yang akan menjadi pendukung utama kelangsungan bisnis atau usaha kita.

Lebih lanjut, Kemampuan berkomunikasi yang baik, kemampuan negosiasi, dan menjalin hubungan persaudaraan adalah nilai-nilai tabligh yang tercermin dalam kewirausahaan. Contoh yang dapat diberikan adalah Rasulullah SAW, Sebagai seorang wirausahawan berbakat, beliau telah mencontohkan nilai-nilai tabligh dalam setiap bisnis dan usahanya. Rasulullah telah menunjukkan keahliannya dalam membangun komunikasi yang efektif, meyakinkan konsumen, serta membangun bisnis yang unggul. Nilai-nilai tabligh ini dapat diimplementasikan melalui komunikasi yang baik, sikap ramah, motivasi yang tinggi, serta keterbukaan dalam berhubungan dengan semua rekan dan pelanggan.

Begitu juga dengan Intelektualitas memainkan peran penting dalam mendukung kewirausahaan, di mana kecerdasan dan kebijaksanaan individu dapat mendorong motivasi belajar dan pengembangan pengetahuan, sehingga mereka dapat mengembangkan diri dan memberikan manfaat yang lebih luas. Pemanfaatan pengetahuan menjadi bagian integral dari inovasi dan kreativitas dalam kewirausahaan, yang berpotensi menciptakan produk-produk baru. Rasulullah SAW memberikan contoh dalam dunia kewirausahaan, di mana kecerdasannya memungkinkannya menemukan cara-cara yang tepat untuk mencapai keuntungan tanpa menipu orang lain. Beliau juga memiliki kemampuan untuk menganalisis peluang yang ada di sekitar dan terhubung dengan berbagai kelompok masyarakat. Aspek fathanah melahirkan pemahaman penting dalam kewirausahaan, seperti inovasi, kreativitas, kebijaksanaan, dan loyalitas [4].

e. Nilai Disiplin, Peduli dan Empati

Ketepatan dan komitmen adalah ciri seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan dan tugas dengan disiplin. Kemampuan ini mencakup pengaturan waktu yang tepat, menghasilkan kualitas kerja yang baik, memiliki sistem yang efisien, dan memegang nilai-nilai penting lainnya. Dalam kewirausahaan, nilai kedisiplinan harus tercermin dalam semua aktivitas, termasuk pengelolaan potensi secara efektif untuk menjaga kelangsungan usaha.

Senada dengan nilai disiplin, mempunyai nilai kemampuan berempati dan peduli merupakan bentuk nyata dari pemahaman terhadap situasi orang lain. Dalam dunia kewirausahaan, sangatlah penting untuk menunjukkan sikap empati ini, yang melibatkan perhatian terhadap sesama manusia dan juga terhadap lingkungan sekitar. Dalam berwirausaha atau menjalankan bisnis, tidaklah tepat untuk bersikap egois dengan hanya memfokuskan pada kepentingan pribadi semata. Pengembangan bisnis sebaiknya didasarkan pada nilai-nilai yang melibatkan ikatan persaudaraan, karena dalam mengelola usaha atau bisnis, hal yang penting adalah memprioritaskan kepentingan umum dan prinsip-prinsip keluarga [2].

f. Nilai Visioner

Bagi seorang pengusaha, memiliki pandangan masa depan yang terang dan visi yang jelas sangatlah penting. Visi yang jelas tersebut akan menjadi panduan untuk mencapai tujuan utama dalam mengelola bisnis agar dapat berkembang dan melangkah maju, serta memotivasi untuk mencapai semua tujuan yang ditetapkan, termasuk tujuan menjaga kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Visi yang jelas dalam bisnis harus didukung oleh nilai-nilai spiritual Islam yang diperoleh melalui proses yang mendalam. Proses ini mencakup penguasaan ilmu pengetahuan, peningkatan kesadaran, gerakan dalam pengembangan, menciptakan inovasi terbaru, dan bertujuan untuk meraih ridha Allah SWT. Penting untuk matang dalam merencanakan pencapaian visi dengan menerapkan nilai-nilai spiritual Islam, serta melihat dengan cermat bagaimana keuntungan dapat diraih dalam jangka panjang dan meluas. Nilai-nilai visioner dapat terlihat melalui kemampuan dalam melihat masa depan, menjadi pelopor, mengembangkan kemampuan dan keterampilan, memberikan solusi dan kenyamanan bagi semua orang, serta mengembangkan sumber daya manusia yang kuat dan siap digunakan [1].

g. Nilai Silaturahmi

Mitra sangat penting untuk kelancaran operasi perusahaan seseorang untuk memastikan keberhasilannya. Selain menumbuhkan prospek komersial baru, ikatan ini dapat meningkatkan hubungan kekeluargaan. Hadits lain yang menyoroti nilai silaturahmi adalah hadits ini: "Barangsiapa yang ingin mendapatkan keberuntungan dan umur yang panjang, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari) [4].

D. Strategi Kewirausahaan dalam Islam

Islam memang tidak memberikan penjelasan secara eksplisit terkait konsep tentang kewirausahaan (entrepreneurship) ini, namun di antara keduanya mempunyai kaitan yang cukup erat; memiliki ruh atau jiwa yang sangat dekat, meskipun bahasa teknis yang digunakan berbeda. Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadihi), dan tidak cengeng. Setidaknya terdapat beberapa ayat Alquran maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti; “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri, ‘amalurrajuli biyadihi. (HR.Abu Dawud)”, “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pemikiran Islam dan kewirausahaan memiliki hubungan yang cukup erat, meskipun kosakata teknis yang digunakan berbeda. Islam tidak memberikan penjelasan eksplisit tentang gagasan yang terakhir. Islam menggunakan tiga istilah: tidak mengeluh, usaha keras, dan kemerdekaan (biyadihi). Semangat kemandirian dan kerja keras ini tercermin dalam setidaknya beberapa ayat dari Al-Qur'an dan Hadis, seperti "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah" (HR. Bukhari dan Muslim) dan "Amal terbaik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan keringat sendiri, 'amalurrajuli biyadihi" (HR. Abu Dawud). [19].

Nabi mendesak para pengikutnya untuk bekerja keras dan mengumpulkan uang sehingga mereka dapat berbagi dengan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nisa: 77, yang mengatakan:

لَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۚ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةًۚ وَقَالُوْا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَۚ لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

Selain itu Allah juga berfirman dalam Alquran Q.S. at-Taubah: 105 yang berbunyi:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.

Lebih lanjut Allah juga berfirman Dalam Q.S. al-Jumu’ah ayat 10:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung [11].

Lebih lanjut, menurut HR. Tabrani dan Baihaqi, Rasulullah menyatakan bahwa "bekerja untuk mendapatkan mata pencaharian yang halal adalah kewajiban setelah ibadah fardlu." Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang harus bekerja keras dan menjalani kehidupan yang mandiri. Inti dari kewirausahaan adalah kerja keras. Menurut Wafiduddin, konsep kerja keras adalah langkah tulus yang dapat mendatangkan prestasi (rezeki), namun harus melalui proses yang penuh dengan rintangan (resiko). Dengan kata lain, mereka yang mau mengambil risiko akan mendapatkan prospek yang sangat baik untuk bertahan hidup [19].

Di masa lalu, Nabi Muhammad, bersama dengan pasangannya dan sebagian besar rekan-rekannya, adalah pedagang dan pemilik bisnis. Beliau adalah seorang ekonom dan pemimpin masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika dikatakan bahwa umat Islam memiliki sifat kewirausahaan. Karena umat Islam adalah pedagang, dan hingga abad ke-13 Masehi, umat Islam adalah orang-orang yang menyebarkan Islam ke seluruh dunia [20].

Melalui usaha komersial mereka, Nabi dan mayoritas Sahabat mengubah keyakinan bahwa kehebatan seseorang tidak berasal dari keturunan bangsawan, status sosial yang tinggi, atau kekayaan yang besar, melainkan dari kerja keras mereka. Sebagai hasilnya, Nabi berkata, "Innallaha yuhibbul muhtarif" (Allah mencintai orang-orang yang bekerja keras untuk mendapatkan upah). Sebaliknya, Umar Ibn Khattab menyatakan, "Saya membenci orang di antara kalian yang memilih untuk tidak terlibat dalam urusan duniawi."

Kewirausahaan bukanlah sesuatu yang asing bagi Islam; pada kenyataannya, ini adalah sesuatu yang sering dilakukan oleh Nabi, istri beliau, para Sahabat, dan para akademisi bangsa. Islam tidak hanya mengajarkan kewirausahaan (meskipun dengan istilah "kerja mandiri" dan "kerja keras"), tetapi juga mempraktikkannya secara langsung. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, para praktisi lembaga pendidikan perlu lebih spesifik dalam menciptakan program kegiatan belajar yang benar-benar dapat mendorong perkembangan jiwa kewirausahaan [2].

Pengenalan Islam ke Indonesia juga difasilitasi oleh para pedagang. Para pedagang ini tidak hanya menyebarkan pengetahuan agama tetapi juga keterampilan berdagang, terutama ke daerah-daerah pesisir. Sebagai contoh, mayoritas masyarakat di wilayah Pantura memiliki afiliasi agama yang kuat, dan sebagai hasilnya, mengaji dan berbisnis telah digabungkan menjadi sebuah kata yang sangat terkenal yang dikenal dengan sebutan "jigang" (mengaji dan berdagang). Beberapa pemimpin Islam terkenal yang juga merupakan pebisnis sukses tercatat dalam sejarah: Abdul Ghani Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soelaiman, Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin, dan lain-lain. Ilustrasi-ilustrasi di atas menunjukkan bahwa umat Islam memiliki mentalitas bisnis yang sangat kuat; dengan kata lain, Islam dan perdagangan adalah aspek yang saling melengkapi satu sama lain [1].

Adapun strategi berwirausaha dalam bidang perdagangan menurut ajaran agama Islam, yaitu:

1. Berdagang untuk mencari keberkahan

Tujuan sebagian besar pekerjaan bisnis adalah untuk menghasilkan keuntungan, namun banyak orang yang menggunakan cara-cara yang tidak etis untuk melakukannya. Perdagangan masih dipandang sebagai profesi yang buruk karena banyak orang yang terlibat dalam ketidakjujuran, penipuan, dan kecurangan. Namun, hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, Islam mendorong kita untuk berdagang dengan benar. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadis, "Allah mencintai orang yang murah hati ketika menjual, membeli, dan menagih utang," Islam menganjurkan untuk berbisnis dengan baik. [21].

2. Berdagang sebagai bentuk Passion dalam hidup

Ide berdagang adalah salah satu yang dianut oleh banyak pedagang, baik lokal maupun asing. Mereka melakukan berbagai macam terobosan untuk mengejar aktivitas perdagangan ini semaksimal mungkin. salah satu idenya termasuk menaruh produk, yang dipasang di depan untuk menarik pelanggan, etalase interior yang dipasang di dalam toko untuk menarik pelanggan, dan etalase tertutup, yang merupakan pajangan khusus barang berharga untuk menjauhkan dari para pencuri

Istilah "passion" dalam Islam dapat merujuk pada hasrat, gairah, atau keinginan yang besar untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap penting. Pengusaha Haidar Bagir, orang di balik Gerakan Cinta Islam, percaya bahwa kasih sayang dan gairah adalah dasar dari pencapaian yang signifikan. Dia mengatakan bahwa meskipun bekerja sesuai dengan minat dan hobi adalah hal yang positif, Anda tetap harus belajar untuk menikmati pekerjaan yang Anda lakukan. Oleh karena itu, Islam memandang perdagangan sebagai semacam gairah dalam hidup, yang didefinisikan sebagai keterlibatan dalam apa pun yang dianggap penting, didorong oleh keinginan dan pengabdian yang besar, dan didasarkan pada empati terhadap orang lain. Hal ini sejalan dengan konsep dakwah dalam Islam, yang mendorong manusia untuk mencintai dan menghargai kegiatan apapun yang diperintahkan oleh Allah SWT, termasuk dalam hal perdagangan, dan untuk dapat berkontribusi semaksimal mungkin dalam pelaksanaannya. [9] .

3. Berdagang adalah ibadah

Berdagang lebih merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT bagi umat Islam. Karena menerima berkah mengharuskan segala sesuatu yang kita lakukan dilakukan dengan tujuan ibadah. Berdagang dengan tujuan ini akan memudahkan kita untuk mendapatkan makanan. Para pedagang dapat membeli barang dalam jumlah besar dan menjualnya kembali dengan segera. Oleh karena itu, tidak jauh bagi orang-orang di lingkungan sekitar untuk membeli barang yang sama. sehingga pada akhirnya motif untuk membeli patronase-yaitu, berbelanja secara eksklusif di toko-toko tertentu akan berkembang. Melalui pelayanan yang cepat, kemudahan berbelanja bagi pelanggan, diskon, dan cara-cara lain, kewirausahaan menawarkan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat baik. Tindakan yang baik biasanya membantu menenangkan pikiran, yang bermanfaat bagi kesehatan fisik seseorang.

Hal ini didukung oleh pernyataan yang dibuat dalam buku The Healing Brain bahwa tugas utama otak adalah memperbaiki tubuh, bukan berpikir. Keteraturan dalam melakukan tindakan yang baik memiliki dampak yang signifikan terhadap kekuatan otak dalam menjaga kesehatan. Selain itu, berinteraksi, bergaul, bekerja sama, mengulurkan tangan, dan berkomunikasi dengan orang lain adalah komponen penting dari fungsi otak [14].

Dalam agama Islam, berdagang dianggap sebagai tindakan moral yang dianjurkan. Hal ini terlihat dalam ajaran Islam, yang menekankan betapa pentingnya mendapatkan rezeki secara halal dan jujur. Dalam berdagang, diharapkan seseorang mengikuti prinsip-prinsip Islam, seperti menjadi jujur, ramah, dan mengikuti syariat agama. Rasulullah SAW adalah contoh yang baik dalam hal ini, dan dia dikenal sebagai pedagang yang jujur. Oleh karena itu, dalam Islam, menjalankan prinsip-prinsip Islam, mencari rezeki secara halal, dan berdagang dengan niat yang baik dianggap sebagai ibadah

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa berdagang dalam Islam bukan hanya sekadar aktivitas ekonomi tetapi juga dapat dianggap sebagai ibadah jika dilakukan dengan cara yang sesuai dengan ajaran agama, dengan niat yang tulus, jujur, dan tetap berpegang pada hukum Islam [22].

4. Perintah kerja keras

Kemauan yang keras dapat mendorong orang untuk melakukan pekerjaan yang sungguh-sungguh. Orang yang mau bekerja keras, tahan menderita, dan mampu berjuang untuk memperbaiki nasibnya akan berhasil. Murphy dan Peck berpendapat bahwa orang harus berusaha keras untuk mencapai kesuksesan dalam karir mereka. Kemudian diikuti dengan mencapai tujuan dengan orang lain, memiliki penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat keputusan, pendidikan, dorongan untuk mencapai tujuan, dan berkomunikasi dengan bijak. Allah meminta kita untuk tawakkal dan berusaha keras agar nasib kita dapat diubah. Oleh karena itu, intinya adalah inisiatif, motivasi, dan kreativitas yang akan mendorong kreativitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Kita juga diminta untuk terus berdoa dan meminta perlindungan dari Allah. Tidak peduli seberapa sibuk kita, Dia-lah yang menentukan hasil dari setiap upaya kita.

Dengan demikian perintah untuk bekerja keras, termasuk berwirausaha, sangat ditekankan dalam agama Islam. Untuk meningkatkan nilai ibadah dan berkah, umat Islam diminta untuk mencari rezeki dengan cara yang halal dan jujur. Selain itu, Rasulullah SAW berdagang dan dikenal sebagai pedagang yang jujur. Oleh karena itu, seseorang diharapkan untuk berwirausaha dengan prinsip-prinsip Islam, seperti jujur, ramah, dan mengikuti syariat agama. Selain itu, seseorang juga diharapkan dalam berbisnis untuk memenuhi syarat jual beli, hanya melakukan kesepakatan bersama, dan jujur dalam hal ukuran dan berat. Seseorang dapat menghasilkan keberkahan dan kesuksesan dalam berwirausaha sesuai dengan ajaran Islam dengan menerapkan prinsip-prinsip ini. [23].

5. Perdagangan/Berwirausaha Pekerjaan Mulia Dalam Islam

Dalam ajaran Islam, pekerjaan berdagang sangat dihormati. Rasulullah saw berkata, "Mata pencarian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?" Jawabnya, "Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih." (HR. Al-Bazzar) [4]. Allah juga berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 275:

لَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya [11].

Dijelaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, yang sangat merugikan karena mencegah pertumbuhan perdagangan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa hanya satu pihak yang dapat memanfaatkan keuntungan dan pihak yang satunya akan terdesak dengan kebutuhan hidup

E. Motivasi Kewirausahaan dalam Islam

Wirausaha atau menjadi pengusaha adalah langkah yang menantang dan membutuhkan motivasi yang kuat untuk menghadapi berbagai tantangan [24]. Dari sumber yang penulis dapat, ada 3 faktor yang berperan dalam motivasi berwirausaha, sebagai berikut [25];

1. Personal atau kepribadian, artinya berkaitan dengan aspek kepribadian seseorang. Seorang wirausaha harus memiliki keinginan yang sangat besar untuk sukses dibandingkan dengan orang yang tidak berwirausaha.

2. Sosiologi atau hubungan sosial membahas hubungan keluarga dan hubungan sosial lainnya. Alma mengatakan bahwa masalah hubungan keluarga ini dapat dilihat dari orang tua, pekerjaan, dan status sosial. Tanggung jawab terhadap keluarga adalah faktor sosial yang mempengaruhi minat berwirausaha.

3. Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan kewirausahaan, seperti pesaing, sumber daya, dan kebijakan pemerintah. Dari faktor lingkungan tersebut kita bisa menganalisa lebih jauh lagi agar tidak terjadi hal buruk dalam bisnis yang kita jalankan.

Selain itu, ada beberapa sumber yang dapat penulis jelaskan mengenai beberapa alasan mengapa manusia ingi mnejadi seorang usahawan, diantaranya [1];

1. Mengembangkan ide bisnis: Berwirausaha memberi Anda kesempatan untuk membuat bisnis yang inovatif dan kreatif.

2. Menciptakan lapangan kerja: Berwirausaha dapat membantu mengurangi tingkat pengangguran dengan menyediakan lapangan kerja bagi orang lain.

3. Meningkatkan kemandirian: Berwirausaha dapat membuat seseorang lebih mandiri dalam hal pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan bisnis mereka sendiri.

4. Meningkatkan penghasilan: Berwirausaha dapat menghasilkan lebih banyak uang daripada bekerja sebagai karyawan.

Dengan demikian berwirausaha juga dianjurkan dalam Islam sebagai cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal dan jujur. Oleh karena itu, keberkahan dan kesuksesan dalam berwirausaha dapat dicapai dengan mengikuti prinsip-prinsip Islam, seperti jujur, ramah, dan mengikuti syariat agama [26].

Dalam Al Quran juga berbicara tentang wirausaha atau entrepreneurship. Ini dapat menjadi dasar untuk mendorong orang Islam untuk melakukannya. Menurut ayat 77 Al-Qashash, Allah memerintahkan untuk menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat.

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan [11].

Menurut tafsir al-Maraghi, kata "ad-daaral aakhirah" berarti mendapatkan pahala dari Allah dengan menafkahkan harta dengan harapan mendapatkan ridha-Nya dengan sebaik-baik tasharruf dalam usaha dan jual beli. Namun, dalam tafsir al-Qaasimi, kata "ad-daaral aakhirah" digunakan untuk merujuk pada pekerjaan yang memiliki nilai kebaikan dibandingkan dengan pekerjaan yang wajib dan sunah, yang akan menerima tambahan pahala di akhirat. Berdasarkan penjelasan tentang ayat yang berkaitan dengan perintah Allah kepada manusia untuk tidak melupakan bagian dari usaha dunia, ayat itu secara kontekstual memerintahkan manusia untuk bekerja keras dan keras untuk mencari kekayaan dunia, tetapi tujuannya adalah untuk mencari keridhaan Allah sebagai bekal untuk kehidupan akhirat [2].

Oleh karena itu, carilah kebahagiaan di akhirat dari apa yang diberikan oleh Allah kepadamu, yaitu melalui pahala yang dihasilkan dari harta yang digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Dan ambil bagian dari dunia sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu atau melakukan apa yang perlu dilakukan di dunia sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Dengan demikian, seorang wirausahawan harus menemukan keseimbangan antara melakukan usaha mereka dan beribadah kepada Allah. Sebagaiman firman-Nya dalam Q.S al-Jumu'ah ayat 9 sampai 11 yang artinya;

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.

Ayat-ayat tersebut menekankan pentingnya meninggalkan urusan duniawi dan fokus pada ibadah ketika diminta untuk salat Jumat. Mereka juga menekankan pentingnya meninggalkan urusan duniawi seperti jual beli. Setelah melakukan salat, orang-orang yang beragama Islam dianjurkan untuk bertebaran di dunia dan mencari rezeki sambil tetap mengingat Allah. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menekankan keseimbangan antara ibadah dan mencari rezeki.[2]

Sangat luar biasa bahwa keberlangsungan ekonomi manusia juga dibahas dalam ayat-ayat Alquran. Umat Islam tidak diminta untuk bermalas-malasan setelah sholat jumat; sebaliknya, mereka diminta untuk mencari rahmat Allah dengan menyebarkan kebaikan di dunia ini. Setelah melakukan sholat, Allah Swt memungkinkan orang untuk bekerja dan berusaha mencari rezeki duniawi, sebagaimana Dia memerintahkan orang muslim untuk tidak bermalas-malasan dalam mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perintah untuk mencari rezeki ini, yang diungkapkan dalam bentuk amr atau perintah, memiliki arti segera, sebagaimana dibahas luas dalam ilmu ushul fiqh. kecuali waktu istirahat memang digunakan untuk sholat.

Selain itu, dalam hadis yang menjelaskan alasan untuk berwirausaha, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki dapat ditemukan melalui perdagangan. Dengan kata lain, jalan perdagangan ini memungkinkan untuk membuka pintu-pintu rezeki, yang memungkinkan karunia Allah dipancarkan melaluinya.

Menurut Ibnu Umar ra., Rasulullah saw mengambil pundak saya dan berkata, "Jadilah di dunia seperti orang asing atau musafir." Dia juga berkata, "Jika Anda pada waktu sore jangan menunggu pagi hari, dan jika kamu berada pada waktu pagi jangan menunggu sore, dan gunakanlah waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, dan gunakanlah waktu hidupmu untuk kematianmu." [1].

Hadis lain dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra. menyatakan: Nabi Saw bersabda: Mencari rizki yang halal adalah jihad (perjuangan). (HR. Qudlo’i dan Abi Na’im)

Anas ra. juga mengatakan: Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda, "Barang siapa yang kelelahan di malam hari untuk mencari rezeki halal bagi anak-anaknya, maka dia bermalam dalam keadaan diampuni dosanya." Dalam riwayat lain, dia juga bersabda, "Barang siapa yang kelelahan di malam hari untuk mencari rezeki halal bagi anak-anaknya, maka dia bermalam dalam keadaan diampuni dosanya." [3].

Dengan demikian dapat diartikan bahwa motivasi dalam berwirausaha dalam Islam adalah untuk mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui ilmu pengetahuan, serta untuk mencari karunia Allah dan banyak mengingat-Nya. Selain itu, seorang wirausaha dituntut untuk saling membantu atau tolong menolong dalam kebaikan dan tidak merugikan orang lain.

Simpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulakan bahwa wirausaha adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi peluang bisnis, mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk mengambil manfaat darinya, dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencapai kesuksesan. Perilaku bisnis seorang pengusaha Muslim dapat tercermin melalui ketakwaannya, integritas yang dimiliki, kebaikan yang ditunjukkan, pelayanan yang ramah kepada pelanggan, serta keseluruhan aktivitas bisnisnya yang dilakukan semata-mata untuk beribadah.

Kewirausahaan dalam Islam didasari oleh Nilai-nilai religius seperti Iman, Takwa, Moralitas, Sidiq. Iman diperlihatkan melalui keyakinan bahwa segala usaha merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, takwa menjadi dasar untuk mngelola permodaalan yang halal dan menjaga kualitas produk yang diproduksi, moralitas sebagai nilai akhlak mulia bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta menjaga hubungan baik dengan sesame manusia dan alam. Teakhir, kejujuran sangat penting dalam transaksi/bisnis sagar dapat mencapai keberlangsungan bisnis secara berkelanjutan. Semua nilai-nilai ini harus diterapkan dengan kecerdasan spiritual Islam agar dapat membangun bisnis yang sukses

References

  1. D. Mahdany, "Pendidikan Kewirausahaan dalam Pandangan Islam," J. An-Nahdhah, vol. 12, no. 23, pp. 1-10, 2019.
  2. F. Maulana, "Pendidikan Kewirausahaan dalam Islam," IQ (Ilmu Al-qur’an) J. Pendidik. Islam, vol. 2, no. 01, pp. 30–44, 2019.
  3. Y. Elfa, "Kewirausahaan Dalam Perspektif Islam," Ta’dib, vol. 15, no. 2, pp. 29–44, 2020.
  4. L. Y. Muyassaroh and S. Farwati, "Penanaman Nilai-Nilai Kewirausahaan Perspektif Islam," Ilmu Al-Qur’an J. Pendidik. Islam, vol. 6, no. 1, pp. 2715–4793, 2023.
  5. A. Aziz and A. Darmiyanti, "Lembaga Pendidikan Islam Berbasis Kewirausahaan," J. Pendidik. dan Konseling, vol. 4, no. 4, pp. 1707–1715, 2022.
  6. B. Hartono and M. Siregar, "Konsep Integrasi Pendidikan Islam dan Kewirausahaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat," Pendidik. Islam, vol. 14, no. 2, pp. 117-128, 2022.
  7. Sugiyono, "Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D." Bandung: Alfabeta, 2013.
  8. Musfiqon, "Panduan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan." Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2012.
  9. K. Firmansyah, K. Fadhli, and A. Rosyidah, "Membangun Jiwa Entrepreneur Pada Santri Melalui Kelas Kewirausahaan," J. Pengabdi. Masy. Bid. Ekon., vol. 1, no. 1, pp. 28–35, 2020.
  10. A. Darmadji, "Peranan Pendidikan Islam Dalam Membumikan Wawasan Kewirausahaan di Indonesia," Unisia, vol. 34, no. 77, pp. 173–186, 2020.
  11. Departemen Agama RI, "Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya dengan Transliterasi." Semaranng: PT. Karya Toha Putra, n.d.
  12. B. Hartono, M. Siregar, and S. Sriharini, "Konsep Integrasi Pendidikan Islam dan Kewirausahaan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat," Edukasi Islam. J. Pendidik. Islam, vol. 11, no. 02, pp. 377–398, 2022.
  13. F. Setiawan Santoso, "Lingkungan Keluarga Sebagai Awal Pengembangan Kewirausahaan Islam," vol. 5, no. 1, pp. 13–24, 2020.
  14. A. Aziz and A. Darmiyanti, "Lembaga Pendidikan Islam Berbasis Kewirausahaan," J. Pendidik. dan Konseling, vol. 4, no. 4, pp. 1707–1715, 2022.
  15. L. Indarti, "Menggali Penerapan Kewirausahaan Di Pondok Pesantren," Tadbir J. Manaj. Pendidik. Islam, vol. 9, no. 2, pp. 241–252, 2021.
  16. A. Saifudin, "Pendidikan Kewirausahaan Dalam Perspektif Idealisme Santripreneur," J. Manaj. Pendidik. Islam, vol. 3, no. 1, pp. 18-27, 2019.
  17. R. Ananda and T. Rafida, "Pengantar Kewirausahaan: Rekayasa Akademik Melahirkan Enterpreneurship." [Online]. Available: repository.uinsu.ac.id, 2016.
  18. E. Yuliana, "Kewirausahaan dalam Perspektif Islam," Ta’dib J. Pendidik. Islam dan Isu-Isu …, 2020.
  19. B. Zaman, "Strategi Kewirausahaan Yayasan Guna Meningkatkan Sumber Pembiayaan Pendidikan," Islam. Manag. J. Manaj. Islam, vol. 10, no. 2, pp. 213–230, 2022.
  20. H. Amin, "Integrasi Pendidikan Islam," Raudhah Proud To Be Prof. J. Tarb. Islam., vol. 2, no. 1, pp. 103–110, 2019.
  21. S. R. Adawiyah, "Pendidikan Kewirausahaan Di Pondok Pesantren Sirojul Huda," Comm-Edu (Community Educ., vol. 2, no. 2, pp. 17-23, 2018.
  22. C. Chotimah, "Pendidikan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan," INFERENSI J. Penelit. Sos., vol. 1, no. 1, pp. 34-47, 2014.
  23. A. Hasim and U. A. Syafri, "Membangun Mental Kewirausahaan Santri di Pondok Pesantren Al-Kasyaf Bandung," J. Pendidik. Islam, vol. 12, no. 2, pp. 117-128, 2023.
  24. A. Aprijon, "Kewirausahaan dan Pandangan Islam," Menara Riau, vol. 4, no. 2, pp. 79-91, 2018.
  25. D. Mahdani, "Pendidikan Kewirausahaan Dalam Pandangan Islam," An-Nahdhah| J. Ilm., vol. 12, no. 23, pp. 1-10, 2019.
  26. K. Firmansyah and K. Fadhli, "Membangun Jiwa Entrepreneur Pada Santri Melalui Kelas Kewirausahaan," Jumat Ekon., vol. 8, no. 2, pp. 34-43, 2020.