Abstract
This study aims to provide information on how to adjust to the Lonto Leok student group and also to find out what factors hindered them in their efforts to adjust while studying at Muhammadiyah University of Sidoarjo. The method used in this study is a qualitative descriptive approach, The technique of determining the informants used purposive sampling, and data collection was carried out by means of interviews, observation and documentation. The results of this study reveal that in an effort to adjust to Sidoarjo, there are different ways, such as increasing friends, being active in organizations, smiling, being yourself, not being easily carried away by feelings and respecting all differences. In addition to this method, all informants in this study found factors that hindered self-adjustment, these factors were physical factors, development and maturity, psychological, environmental and cultural and religious factors. In addition, language difficulties became the main problem, they found difficulties in the realm of language, all informants also wanted to learn Javanese to make it easier for them in their daily lives. As well as peer support also helps informants in launching their adjustment efforts while on campus.
Pendahuluan
Pendidikan menjadi satu indikator terpenting bagi suatu negara untuk mengetahui kualitas penduduknya. [1]Negara maju menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama sebagai upaya untuk membangun negaranya. Selain sarana dan prasarana. tingkat kesadaran masyarakat akan betapa pentingnya pendidikan juga ikut andil dalam persoalan ini. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga mempunyai permasalahan yang sama dengan negara-negara berkembang lainnya. Kurangnya pemerataan pendidikan adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan tersebut. Kondisi ini membuat banyak orang berbondong-bondong merantau ke perkotaan guna mendapatkan sekolah ataupun universitas yang diimpikannya dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kebutuhan akan memperoleh pendidikan inilah yang membuat para calon mahasiswa tersebut melancong ke daerah orang dan meninggalkan leluhurnya guna mendapat ilmu yang lebih tinggi.
Jawa Timur menjadi salah satu provinsi terfavorit bagi calon mahasiswa untuk menimba ilmu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang berasal dari berbagai macam pulau yang ada di Indonesia, salah satunya daerah timur seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan yang lainnya. Jika dilihat dari letak geografisnya, Sidoarjo merupakan salah satu kota sasaran bagi pendatang untuk mencari kerja ataupun untuk menuntut ilmu. Banyak calon mahasiswa dari berbagai daerah dengan background latar belakang yang tak sama datang guna menempuh pendidikan di Sidoarjo khususnya Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Tentunya mereka ini juga mengalami yang namanya kecemasan dan ketidakpastian, tapi mereka harus mampu mengelola itu semua guna terciptanya komunikasi yang efektif. Selain kecemasan tersebut, calon mahasiswa ini juga dituntut untuk sesegera mungkin cepat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya. Schneider mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan penyesuaian diri adalah faktor budaya dan agama. Inilah yang menjadi tantangan para pendatang yang ingin menimba ilmu di luar daerah asalnya.[2]
Pada penelitian ini peneliti memilih mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur dan tergabung dalam Kelompok Mahasiswa Lonto Leok yang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo sebagai objek penelitiannya. Seperti mahasiswa perantauan pada umunya, mereka tentu saja mengalami culture shock dengan budaya yang ada di Pulau Jawa ini. Culture shock merupakan suatu reaksi yang muncul dalam kondisi yang mengakibatkan individu mengalami keterkejutan ataupun tekanan karena berada di tempat yang baru dan berbeda dengan tempat sebelumnya [3]. Akan tetapi, culture shock yang mereka alami ini tidak terlalu parah, hal ini juga diakibatkan banyaknya orang Jawa yang tinggal di daerah mereka. Anggota kelompok ini cenderung kaget dengan intonasi berbicara dan penggunaan kata atau bahasa masyarakat Jawa. Masayarakat Sidoarjo sendiri menggunakan tiga jenis bahasa yaitu bahasa ngoko, kromo inggil dan kromo alus. Selain terdapat perbedaan dialek, bahasa Jawa juga memiliki variasi bahasa antara penutur satu dengan penutur lainnya tergantung kesopanan penutur terhadap lawan bicaranya [4]. Permasalahan mengenai penyesuaian diri ini biasanya muncul ketika individu mulai memasuki jenjang pendidikan yang baru, seperti perguruan tinggi (Hartono & Sumarto, 2002) dalam [5]
Selama menetap di Sidoarjo ini, para anggota yang berkuliah di Sidoarjo ini tinggal secara berkelompok di sebuah kost yang terletak di belakang Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Tepatnya di Jalan Kahuripan Nomor 261, Sidowayah, Celep–Sidoarjo, dengan mahasiswa dari daerah lain seperti Kalimantan, Kangean, Jombang dan Mojokerto. Penulis mendapatkan fakta bahwa selama mereka berinteraksi ataupun komunikasi dengan sesamanya selama berada di Sidoarjo ini mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan di daerah asal mereka yaitu di Nusa Tenggara Timur di setiap kabupaten, kecamatan, atau bahkan desa saja bisa berbeda dalam penggunaan bahasa. Kebiasaan orang Nusa Tenggara Timur yang tidak kenal takut dan juga kebersamaan yang sangat erat mengakibatkan tali silaturahmi sesama warga NTT yang ada di Sidoarjo dan Surabaya ini masih tetap terjalin. Hal ini dikarenakan, tradisi jabat tangan yang berasal dari NTT masih di jaga selama berada di Sidoarjo ini.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimana cara anggota kelompok mahasiswa lonto leok ini melakukan penyesuaian diri dan juga faktor apa saja yang mengahambat dalam upaya penyesuaian diri selama berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo?
Penyesuaian diri
Penyesuaian diri ialah suatu proses mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungannya. Proses penyesuaian diri ini dapat berarti mengubah kebiasaan diri mengikuti lingkungannya ataupun mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi. Dalam arti yang lebih luas, penyesuaian diri ini terbagi menjadi dua yaitu autoplastis (dibentuk sendiri) dan aloplastis (alo = yang lain). Jadi penyesuaian diri ini ada yang “pasif” dimana individu dipengaruhi oleh lingkungan, dan ada yang “aktif” artinya individu memperngaruji lingkungan. [6]
Selanjutnya, Schneider dalam bukunya menerangkan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respons mental dan tingkah laku yang mana sebagai upaya individu untuk mengatasi dan mengontrol kebutuhan diri sendiri, ketegangan, frustrasi dan konflik supaya terjalin keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dan tuntutan dari lingkungan tempat mereka tinggal. [7]
Faktor-faktor penyesuaian diri
Kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri tentunya berbeda-beda. Setiap individu pasti mempunyai caranya tersendiri. Menurut (Schneider. 1964) dalam [7] kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dipengaruhi faktor-faktor berikut : Pertama, kondisi fisik. Penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik seseorang, dimana hal ini bisa disebabkan oleh faktor kesehatan fisik atau penyakit yang diwarisi dari gen keturunan. Kondisi fisik setiap orang tentunya memiliki perbedaan satu sama lain. Kedua, perkembangan dan kematangan. Beda orang beda pula perkembangan dan kematangannya. Perkembangan erat kaitannya dengan usia, sementara kematangan selalu berkaitan dengan intelektual, sosial dan emosi. Dalam penelitian ini, informan kesulitan dalam penggunaan bahasa dalam lingkup perkuliahan. Ketiga, kondisi psikologi. Dalam penyesuaian diri, faktor ini meliputi pengalaman, konflik, dan frustrasi. Pengalaman mempengaruhi penyesuaian seseorang. Keempat, kondisi lingkungan Dalam hal ini pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah memiliki peranan penting dalam upaya penyesuaian diri seorang individu. Kelima, budaya dan agama. Budaya membawa pengaruh dalam pembentukan watak serta tingkah laku pada seorang individu. Sementara agama menjadi patokan bagi seseorang dalam menjalani kehidupan, karena mempunyai nilai-nilai kepercayaan dan praktik. Hal inilah yang bisa menghilangkan konflik serta ketegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi antarbudaya
Samvotar dan Porter memberikan pernyataan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara pengirim dan penerima pesan yang memiliki latar belakang kebudayaan. [8]
Menurut Charley H. Dood dalam bukunya [9] menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya mencakup komunikasi yang melibatkan partisipan yang mewakili pribadi, antarpribadi, serta kelompok, dengan penekanan pada perbedaan budaya yang mempengaruhi perilaku partisipan.
Metode Penelitian
Penelitian ini “menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dimana penelitian kualitatif ini merupakan sebuah pendekatan penenlitian yang diawali dengan asumsi, lensa penafsiran/teoritis, serta studi tentang permasalahan riset yang meneliti mengenai permasalahan sosial atau kemanusiaan oleh individu maupun kelompok. [10].” Pendekatan ini memakai setting alam untuk menjelaskan suatu fenomena yang ada dan yang dihadapi manusia. Metode ini biasanya memanfaatkan semua cara yang langsung, seperti observasi, wawancara, atau bisa juga menggunakan dokumen terpercaya.
Penelitian ini mengambil subjek Kelompok mahasiswa Lonto Leok yang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Sementara itu, objek pada penelitian ini berfokus pada proses penyesuaian diri kelompok mahasiswa Lonto Leok selama berada di Sidoarjo. Lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah di kost tempat kelompok mahasiswa Lonto Leok ini tinggal selama berada di Sidoarjo, yang beralamatkan di Jalan Kahuripan Nomer 261, Sidowayah, Celep, Kecamatan Sidoarjo atau Rumah Kost Mbak Elly. Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Sesuai dengan namanya, purposive sampling berarti telah menentukan tujuan dan pertimbangan sebelumnya. Dalam penelitian kualitatif metode yang dilakukan guna memperoleh data dilakukan dengan observasi, wawancara serta dokumentasi. Dari teknik itu, kemudian berkembang menjadi beberapa teknik turunannya tergantung dengan kondisi yang dihadapi oleh peneliti di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti harus terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data dan informasi yang diinginkan. Teknik analisis data penelitian ini memakai teknik analisis interaktif Miles dan Huberman (1994) terdiri dari tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. [11]
Hasil dan Pembahasan
Lonto Leok merupakan sebuah kelompok mahasiswa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang anggotanya menetap di Sidoarjo. Nama Lonto Leok ini diambil dari bahasa Nusa Tenggara Timur yang berarti duduk melingkar. Duduk melingkar sendiri menandakan eratnya kebersamaan yang terjalin diantara anggota kelompok tersebut. Kelompok mahasiswa ini masih beranggotakan 16 orang yang semuanya berasal dari Nusa Tenggara Timur tetapi dengan Kabupaten yang berbeda seperti Manggarai Timur, Manggarai Barat, Manggarai Tengah, Maumere dan Flores. Anggota dalam kelompok ini, tidak semuanya memeluk agama muslim. Dari 16 anggota ada 5 orang yang beragama kristen, 3 orang diantaranya berkuliah di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan 2 lainnya berkuliah di STKIP PGRI Sidoarjo.
Sebagai seorang perantau, tentunya informan dalam penelitian ini memiliki cara tersendiri dalam upaya mendekatkan diri dengan lingkungan barunya. Selalu tersenyum, sering memulai pembicaraan, jadi diri sendiri, perbanyak pertemanan dan aktif mengikuti organisasi serta tidak mudah terbawa perasaan dan juga tetap menghargai segala perbedaan. Karena dengan melakukan hal tersebut, informan pada penelitian ini bisa melakukan penyesuaian diri dengan baik.
Selain cara diatas, terdapat juga faktor yang mempengaruhi kelompok mahasiswa Lonto Leok ini dalam menyesuaikan diri selama di Sidoarjo ini. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologi, kondisi lingkungan dan yang terakhir adalah budaya dan agama. Dalam hal kondisi fisik, informan mengalami penurunan kondisi fisik. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan baru yang bisa mengakibatkan kondisi fisik mereka menurun seperti seringnya mengkonsumsi kopi, merokok dan juga begadang karena tugas perkuliahan. Kemudian dari segi perkembangan dan kematangan, terdapat dua informan yang mengalami kesulitan dalam berbahasa Jawa dan juga pertama kali tahu bahasa Jawa langsung kata-kata kotor seperti jancok/cok. Seiring berjalannya waktu, saat ini mereka juga sudah bisa berbahasa Jawa. Perbedaan bahasa ini bisa dikatakan menjadi sebuah culture shock yang dialami oleh informan. Sementara itu, ada satu informan yang merasa ada tekanan yang disebabkan oleh cara belajar. Sehingga hal ini, membuat informan mengalami pembelajaran yang dua kali lebih ekstra dibandingkan teman yang lain. Apabila kesulitan dalam beradaptasi ini tidak bisa segera diatasi, maka besar kemungkinan akan menimbulkan dampak negatif pada diri informan. Dampak negatif itu seperti, malas unuk berkuliah, merasa asing dan juga mengalami penurunan dari segi akademik. Sedangkan satu informan lagi tidak menemukan kesulitan berarti karena dari daerah asalnya juga sudah berteman dengan orang Jawa. Kondisi psikologi juga mempengaruhi penyesuaian diri informan, dua informan dalam penelitian ini pernah mengalami konflik atau selisih paham dengan teman kelas dan organisasinya karena perbedaan pendapat. Sementara, ada satu informan memang anaknya pendiam atau introvert maka mengalami kesulitan dalam mencari teman baru. Hal ini dikarenakan informan tersebut baru menetap di Sidoarjo dan masih terhitung sebagai mahasiswa baru, karena menginjak semester 2. Dukungan teman-teman sebaya sangat diperlukan dalam hal ini, karena akan membawa dampak positif. Dan satu informan lain yang pada dasarnya memiliki sifat yang terbuka dan selalu senyum, sehingga dengan mudah dapat menemukan dan langsung cocok dengan teman kuliahnya selama di Umsida ini. Sama halnya dengan kondisi psikologis, kondisi lingkungan juga ikut andil dalam keberhasilan informan dalam menyesuaikan diri. teman-teman dari informan masih memiliki pandangan negatif terhadap mahasiswa dari NTT. Hal ini dibuktikan dengan ketiga informan yang mendapatkan omongan bahwa wajah orang NTT ini sangar-sangar ya padahal aslinya baik. Kemudian saat ke warung beli makanan ataupun saat sedang berjalan sendiri masih banyak masyarakat sekitar yang melihatnya dengan tatapan tajam sehingga mengakibatkan ketidak nyamanan yang dirasakan oleh informan. Untung saja, ketiga informan ini tidak mengalami kesulitan dalam mencari tempat tinggal selama di Sidoarjo, dan juga memiliki ibu kost yang baik. Lain halnya dengan satu informan yang memiliki darah Jawa, karena memiliki wajah yang sama seperti orang Jawa dan juga memiliki keluarga di Sidoarjo. Maka tidak menerima perlakuan seperti ketiga temannya dan lebih cepat bisa berbahasa Jawa. Faktor terakhir yang mempengaruhi informan dalam penyesuaian diri adalah budaya dan agama, dimana semua informan memiliki pendapat bahwa budaya, kebiasaan, dan makanan banyak berbeda dari daerah asalnya. Harga makanan yang lebih murah, selera lidah orang Sidoarjo dan NTT yang berbeda, kebiasaan orang Sidoarjo yang lebih individual, memiliki tutur kata yang halus dan sopan serta lebih agamis. Itu adalah pendapat informan mengenai perbedaan yang ada dari budaya Jawa dan NTT.
Jika ditinjau dari segi komunikasi antarbudaya. Seluruh informan pada penelitian kali ini memiliki hambatan dalam bahasa. Informan merasa kesulitan jika berkomunikasi dengan beda bahasa. Kemudian, informan juga memiliki niatan untuk mempelajari bahasa Jawa untuk menunjang kehidupan mereka selama berkuliah di Univeristas Muhammadiyah Sidoarjo. Keaktifan informan dalam berinteraksi dengan teman serta keikutsertaan informan dalam organisasi ataupun kegiatan kampus juga menunjang informan dalam memahami dan juga mempelajari bahasa Jawa.
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa informan memiliki cara tersendiri dalam upaya penyesuaian diri selama di Sidoarjo, seperti memperbanyak teman, akif berorganisasi, murah senyum, jadi diri sendiri, tidak mudah terbawa perasaan serta menghargai segala perbedaan.
Selain cara diatas, informan juga memiliki faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri. Beberapa faktor tersebut adalah :
- Dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di Sidoarjo, seluruh informan mengalami penurunan secara kondisi fisik. Hal ini disebabkan karena tidak teraturnya pola tidur dan menemukan kebiasaan baru yang bisa memperburuk kondisi kesehatan seperti merokok dan begadang.
- Dari segi perkembangan dan kematangan, kesulitan bahasa menjadi faktor utama dalam proses penerimaan materi di kampus. Selain itu, pola belajar yang berbeda juga menjadikan informan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan baru.
- Jika di lihat dari segi psikologis, ada dua informan yang pernah mengalami konflik atau selisih paham dengan teman kuliah, sehingga ini juga bisa mempengaruhi informan dalam menyesuaikan diri di lingkungan kampus. Sikap introvert juga turut mempengaruhi informan dalam menemukan teman baru selama di Sidoarjo.
- Dari segi lingkungan, hampir seluruh informan mendapat pandangan negatif dari masyarakat sekitar dan juga teman kuliah.
- Jika dilihat dari segi budaya dan agama. Seluruh informan cukup terpengaruh dengan perbedaan kebiasaan, makanan dan keyakinan. Masyarakat Jawa yang di nilai kurang gotong-royong dan lebih individualis, perbedaan nada suara ketika berbicara, rasa makanan yang berbeda dari daerah asalnya makanan Sidoarjo lebih ke pedas manis. Serta seluruh informan pada awal masa perkuliahan mengalami kesulitan saat ingin bergaul karena perbedaan bahasa dan budaya yang ada.
Sementara dalam hal berkomunikasi, tidak bisa dipungkiri jika hambatan utama informan dalam menyesuaikan diri adalah sulitnya memahami bahasa Jawa. Informan membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga tahunan. Akan tetapi, peran teman sebaya juga ikut andil dalam menyelaraskan perbedaan ini. Keaktifan dan keikutseraan informan dalam kelas maupun kegiatan kampus serta hadirnya seorang teman akan membantu informan dalam hal memahami serta mempelajari bahasa Jawa guna mempermudah kehidupan mereka selama masih berkuliah di Univeristas Muhammadiyah Sidoarjo. Hal ini juga yang menjadikan hubungan informan dengan teman sebayanya di kampus berjalan dengan baik.
References
- J. Ardyles dan Muhammad Syafiq, “Penyesuaian Diri Mahasiswa Nusa Tenggara Timur di Surabaya”, Character: Jurnal Penelitian Psikologi, vol. 4, pp 91-99, 2017.
- Florianus Garin Dira Kusuma, “Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantau Dari Nusa Tenggara Timur Terhadap Budaya Jawa di Yogyakarta”, 2019
- Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006
- Elsa Hutabarat, “ Penyesuaian Diri Mahasiswa Batak Yang Merantau Di Surabaya”, Character:Jurnal Penelitian Psikologi, vol. 8, pp 45-59, 2021
- A.B. Hartono dan Sumarto. H, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta, 2002
- W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: PT. Refika Aditama, 2010
- A.A. Schneider, Personal Adjustment and Mental Health. New York: Hoolt, Rinehart and Winston. 1964
- Samvotar, Larry A., dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta: Salemba Humanika, 2014
- Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
- J.W. Cresswel, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Yogyakarta. Pustaka Belajar, 2015
- Miles and Huberman, Qualitative Data Analysis, California:Sage Publications