Abstract
This research aims to investigate the challenges within the policy of coastal zoning plan and small islands (RZWP3K) from legal, social, environmental, and fiqh perspectives, while proposing concrete solutions to address implementation issues. Employing a juridist-normative approach, the study reveals that while RZWP3K is intended to spur economic development and regulate coastal areas, it often neglects aspects of sustainable development, leading to exploitation of marine resources and neglect of coastal communities' rights. Despite its noble intentions, irregularities within the policy hinder its effectiveness, resulting in limited impact on coastal community welfare. Drawing on Fiqhiyyah principles such as sad adz-Dzari'ah and Fath Adz-Dzariah, the study advocates for legislative amendments to rectify existing weaknesses and ensure equitable implementation, thus promoting sustainable coastal management and community well-being.
Highlights:
- Comprehensive analysis: Investigating coastal zoning policy challenges from legal, social, environmental, and fiqh perspectives.
- Implementation issues: Identifying irregularities hindering effective policy implementation and their impact on coastal communities.
- Fiqhiyyah solutions: Proposing amendments informed by Fiqhiyyah principles to promote equitable implementation and sustainable coastal management.
Keywords: Principles of Fiqhiyah, RZWP3K Policy, Government.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau mencapai 17.500, luas daratan indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan wilayah laut kurang lebih 7,9 juta km2, sebanyak 22 % dari total penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 1 angka 2 memberikan definisi mengenai wilayah pesisir yaitu “Daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengarui oleh perubahan di darat dan di laut”. Mengingat luas wilayah laut yang dimiliki oleh negara Indonesia lebih luas daripada wilayah daratan, menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi yang sangat penting. Nybaken menjelaskan bahwasanya kawasan pesisir memiliki produkifitas hayati yang paling tinggi dan kawasan pesisir adalah ekosistem yang paling mudah terkena dampak pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan potensi yang dirasa memiliki nilai ekonomis tersebut wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang cukup tinggi terhadap keberadaan dan kelangsungan ekosistem.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan pesisir menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosisem, banyaknya aktifitas yang terus berlangung sehingga menimbulkan dampak negatif. Dampak tersebut berupa polusi, erosi, kerusakan kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung lingkungan dan kerusakan biota laut. Pentingnya pengaturan yang jelas mengenai wilayah pesisir saat ini sangat diperlukan oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat pesisir itu sendiri, karena mereka yang terlibat langsung dengan lingkungan.
Selama ini pemanfaatan dan pengelolaan pesisir belum memperhatikan konsep daerah persisir sebagai satu kesatuan ekosistem. Meskipun telah ada undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No.27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil akan tetapi pada faktanya belum mampu memberikan solusi yang konkret guna mengatasi permasalah bagi wilayah pesisir. Justru dengan adanya undang-undang tersebut seolah semakin memberikan kebebasan bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memanfaatnya karena dalam undang-undang tersebut justru mengandung unsur ketidak transparan hukum.
Pasal 9 angka 2 meyebutkan bahwasanya RZWP3K diserasikan, diselaraskan, dan di seimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota, sedangkan pada angka 5 Pasal 9 Undang-Undang No 27 Tahun 2007 jo Undang – Undang No. 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwasanya RZWP3K ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan adanya pengaturan yang sedemikian rupa menyebabkan peluang terjadinya tumpang tindih terhadap peraturan perundang-undangan sangat terbuka. Kemudian dalam Pasal 14 angka 2 menyebutkan secara jelas bahwasannya masyarakat dalam hal mekanisme penyusunan RZWP3K turut di libatkan. Dalam hal ini yang dimasksud dengan keterlibatan masyarakat adalah secara langsung dan menyeluruh, bukan hanya stakeholder utama sebagai perwakilan dari mereka dalam memberikan masukan dan saran.
Pengaturan pemanfaatan laut melalui tata ruang laut yang selama ini berlaku tidak lepas dari model ekonomi biru, model tersebut memiliki cara pandang yang bertujuan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya laut secara efisien untuk pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya penerapan model ekonomi biru ini sangat merugikan nelayan, karena komponen dari ekonomi biru tersebut selain meliputi bidang perikanan, pariwisata dan perhubungan laut juga mendorong kegiatan eksraktif seperti pertambangan bawah laut dan bioteknologi kelautan. Dengan penerapan model tersebut tentu semakin membuka peluang besar bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu dengan melakukan eksploitasi sebesar-besarnaya terhadap pemanfaatan laut. Apabila hal tersebut dilakukan dalam jangka panjang dan secara terus-menerus maka pencemaran terhadap laut dan kerusakan terhadap ekosistem tidak lagi dapat di hindari.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tersebut, dalam hal ini penulis mencoba untuk mengkaji dari sudut pandang kaidah fiqhiyah sad adz-dzariyah yang menurut Wahbah Zuhaili sad adz-dzariyah terbagi menjadi dua kategori yaitu 1) Ketidakbolehan untuk menggunakan sarana tersebut, dikarenakan akan mengarah pada kerusakan, 2) Kebolehan untuk menggunakan dan mengambil saran tersebut dikarenakan akan mengarah pada kebaikan.Jika dikaitkan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka yang terlebih dahulu diperhatikan dari adanya atau diberlakukannya suatu undang-undang adalah aspek kemanfaatan dari adanya atau diberlakukannya undang-undang tersebut, apabila dengan adanya atau berlakunya undang-undang tersebut menimbulkan keburukan maka seyogyanya undang-undang tersebut di cabut atau di perbarui. Sedangkan menurut kajian Fath adz-dzariyah yang artiya adalah membuka dan maknanya merupakan suatu sarana (peraturan perundang-undangan) wajib di gunakan atau dipakai guna menghindari kerusakan dan mencapai kebaikan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disampaikan, Maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Permasalahan Yang Melingkupi Proses Perumusan Dan Pelaksanaan Kebijakan RZWP3K Ditinjau Dari Aspek Hukum, Sosial, Dan Lingkungan?
2. Bagaimana Konstruksi Penyelesaian Problematika Perumusan Dan Pelaksanaan Kebijakan RZWP3K Dari Aspek Kaidah Fiqhiyah?
Metode
Metode penelitian yang digunakan meliputi jenis penelitian dan pendekatannya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian yang berkaitan dengan dokumen-dokumen hukum seperti peraturan perundang-undangan positif. Penelitian normatif kualitatif berkaitan dengan sistem norma sebagai pusat kajiannya, atau tentang kaidah dan aturan. Dalam penelitian ini kaidah yang dimaksud adalah kaidah bersumber pada Agama Islam, serta aturan yang dimaksud adalah aturan-aturan mengenai Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Metode penelitian bersifat “Deskriptif Kualitatif” yang berusaha untuk menguraikan laporan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
A. Permasalahan Yang Melingkupi Proses Perumusan Dan Pelaksanaan Kebijakan RZWP3K Ditinjau Dari Aspek Hukum, Sosial, Dan Lingkungan
Pantai merupakan daerah tepi perairan sebatas antara surut terendah dengan pasan tertinggi. Dikarenakan wilayah negara Indonesia wilayah lautnya lebih luas daripada wilayah daratannya, apabila suatu penduduk suatu negara kurang lebih berjumlah 5,3 miliar dan negara tersebut memiliki luas wilayah laut yang lebih banyak, maka 2,65 sampai 3,7 miliar masyarakatnya akan tinggal di wilayah pantai.[1] Daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan daratan pantai yang sebagian besar masyarakat menyebutnya sebagai daerah atau wilayah pesisir. Ekosistem pesisir memiliki ekosistem yang dinamis dan memiliki kekayaan habitat yang beragam baik dari darat maupun laut yang keduanya saling berinteraksi satu sama lain, selain itu dari segi aksesabilitas wilayah pesisir menyediakan ruang aksesabilitas yang tinggi dan lebih murah dibandingkan ruang daratan di atasnya.
Pemanfaatan wilayah pesisir oleh pemerintah daerah maupun masyarakat selama ini sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan. Undang-Undang No 27 tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengamanatkan terhadap pemerintah daerah untuk wajib membuat dokumen rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuan dilakukannya zonasi tersebut adalah untuk membagi wilayah pesisir dalam zona-zona sesuai dengan peruntukan dan kegiatan saling mendukung serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan.[2]
Amanat dari Undang-Undang No. 27 tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 terhadap pemerintah daerah dalam pembuatan dokumen RZWP3K jutru menimbulkan banyak permasalah, baik dalam bidang hukum, sosial, maupun lingkungan. Permasalahan dalam bidang hukum sendiri terdapat saling ketidak sinkronan peraturan yang satu dengan yang lain. Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, RZWPK merupakan wewenangan dari Pemerintah Provinsi, sedangankan Recana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) merupakan wewenang dari Pemerintah Kota, kembali pada Pasal 9 angka 2 Undang – Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwasanya RZWP3K diserasikan, diselaraskan, dan di seimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota. Hal tersebut seolah menjadi problem tersendiri dalam bidang pengaturan melalui peraturan perundang-undangannya. Adanya tumpang tindih serta tarik ulur terhadap wewenang mengakibatkan sistematika dalam penyusunan RZWP3K menimbulkan kerancuan.
Selain adanya permasalahan dalam bidang hukum, permasalahan dalam bidang sosial dan lingkunganpun menjadi salah satu titik fokus yang menjadi bahas sorotan publik. Mengingat pengaturan pemanfaatan laut melalui tata ruang laut berdasarkan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2017 tentang Kebijakn kelautan Indonesia Lampiran II yang selama ini berlaku tidak lepas dari model ekonomi biru atau blue economy yang di dorong oleh bank dunia. Model ekonomi biru atau blue economy memiliki cara pandang yang bertujuan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya laut secara efisien untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan diberlakukanya model tersebut tentu yang dirugikan adalah masyarakat di wilayah pesisir yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan, sebab komponen dari ekonomi biru tersebut tidak hanya meliputi bidang perikanan, pariwisata dan perhubungan laut akan tetapi juga mendorong kegiatan eksraktif seperti pertambangan bawah laut dan bioteknologi kelautan yang justru dengan hal tersebut membuka peluang yang luas bagi para pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri untuk mengeksploitasi laut. Sebenarnya permasalahan tersebut telah berusaha di antisipasi oleh pemerintah dengan adanya Pasal 14 angka 2 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang – Undang 1 tahun 2014 yang menyebutkan bahwasannya masyarakat dalam hal mekanisme penyusunan RZWP3K turut di libatkan, akan tetapi fakta dan teori pelaksanaan sangatlah berbeda, jika dalam teori dan peraturan perundang-undangan menyebutkan dalam penyusunan RZWP3K melibatkan masyarakat pada nyatanya yang terlibat dalam penyusunan hanyalah stakeholder utama, yang justru dengan demikian membuka peluang bagi adanya penyalahgunaan wewenang dari para stakeholder tersebut. Sehingga yang tujuan awal dari peraturan perundang-undangan adalah masyarakat terlibat secara langsung dalam memberikan saran dan masukan agar masyarakat tidak dirugikan jusru yang terjadi malah sebaliknya.
Perihal penyusunan dokumen RZWP3K yang di amanatkan kepada Pemerintah Daerah pun menimbulkan banyak permasalahan. Perda mengenai RZWP3K yang telah disahkan oleh Daerah akan tetapi ternyata tidak menuai kata mufakat dengan masyarakat wilayah pesisir, tujuan zonasi yang awalnya untuk penentuan zona-zona sesuai dengan peruntukannya ternyata dalam realisasinya masih terhalang berbagai kendala, salah satu contohnya adalah dengan adanya ketidakpastian lokasi investasi yang apabila hal tersebut tidak segera di atasi maka dampak negatif yang lebih luas akan mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berupa degradasi kualitas lingkugan dan rusaknya biota laut. Hal ini jutsru berbanding terbalik dengan tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yaitu untuk merehabilitasi, mengkonvensi dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
B. Konstruksi Penyelesaian Problematika Perumusan Dan Pelaksanaan Kebijakan RZWP3K Dari Aspek Kaidah Fiqhiyah
Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada sekarang ini telah di wujudkan dan direalisasikan melalui pembentukan Peraturan Daerah di masing-masing provinsi yang ada di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Hingga saat ini, tercatat sudah ada 18 provinsi yang mengesahkan perda tersebut dan sisanya atau 16 provinsi diketahui masih melakukan pembahasan draf naskah [3]. Dalam perkembangannya pembahasan rencana zonasi ini terus mengalami perkembangan yang signifikan dimana sekarang sudah ada 21 provinsi telah menetapkannya dalam peraturan daerahnya masing-masing. Meskipun terdengar penyusunan perda tersebut adalah upaya yang massif dari pemerintah daerah untuk mengatur secara rigid daerah pesisirnya, nyatanya berdasarkan penelitian oleh KIARA menyatakan bahwa dari semua provinsi yang sudah menyelesaikan pembahasan Perda tak satupun yang menetapkan masyarakat pesisir sebagai bagian utama dari peraturan tersebut. Yang ada, justru menempatkan proyek investasi sebagai bagian utama [4].
Menurut Susan dari 21 perda yang sudah rampung, pembahasan tentang proyek infrastruktur skala besar masih mendominasi di kawasan Pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian peran industri masih mendapat porsi yang besar dan itu berbanding terbalik dengan peran nelayan kecil yang porsinya semakin mengecil. Dengan adanya pemberian kewenangan yang besar bagi industri dalam peraturan RZWP3K membuka peluang bagi industri untuk secara bebas melakukan pembangunan infrastruktur melalui reklamasi, pertambangan, industri pariwisata pesisir dan pulau-pulau kecil, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya, dan kewenangan tersebut akan terus membesar, jika 13 provinsi berhasil merampungkan pembahasan perda.
Dengan adanya keadaan yang memberikan kewenangan besar bagi industri untuk mengelola secara massif wilayah pesisir, sejatinya merupakan pengkerdilan hak-hak masyarakat, bahkan dalam perkembangannya landasan dari penyusunan dan pelaksanaan Rencana Zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil yaitu Undang-Undang Undang-Undang No 27 Tahun 2007 dinyatakan beberapa substansi pasalnya cacat materiil melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.3 Tahun 2010. Sehingga dengan demikian seharusnya tiap-tiap pemerintah daerah yang ada perlu memperhatikan secara jeli aturan yang mereka jadikan dasar dalam pembentukan perda RZWP3K.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang tersebut telah menegaskan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan oleh pemerintah berkenaan dengan hak dan kedudukan masyarakat pesisir, meliputi :
- Hak untuk melintas dan mengakses laut;
- Hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat;
- Hak untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya kelautan dan perikanan; dan
- Hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun temurun.
Adanya putusan ini mengamanatkan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memperhatikan secara berkeadilan hak dari masyarakat pesisir guna mencegah adanya tindakan yang merampas hak mereka dalam pengelolaan hasil laut. Meskipun amanat dari putusan ini sangat jelas untuk mengutamakan masyarakat pesisir, dalam pelaksanaannya putusan ini sangatlah jauh dari kata dipatuhi, sebagai contohnya dalam Peraturan Daerah provinsi Jawa Tengah mengenai RZWP3K terdapat 3 poin kecacatan, meliputi : yang Pertama, menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, dari hasil analisa yang dilakukan bersama Layar Nusantara dan Forum Nelayan Jateng, Pemprov Jateng diketahui masih menggunakan data Badan Informasi Geospasial (BIG) 2013 untuk penyusunan draf raperda. Padahal, data tersebut dinilai sudah tidak relevan dan berpotensi bisa meningkatkan perampasan ruang hidup masyarakat pesisir di Jawa Tengah. Poin kedua yang menjadi perhatian KIARA, adalah karena dalam proses penyusunan draf Raperda RZWP3K Jateng, dalam pelaksanaannya masih belum memberikan jaminan keterlibatan aktif masyarakat pesisir. Fakta tersebut, menjelaskan bahwa draf yang sudah ada sekarang bukanlah berasal dari aspirasi dan kepentingan kehidupan masyarakat pesisir. Poin ketiga yang juga dinilai sebagai kecacatan adalah klausul yang menyebutkan pengaturan tentang izin lokasi, dimana setiap orang harus mengajukan izin pengelolaan [5]. Dari ketiga poin kecacatan yang ada dalam perda tersebut yang menjadi pusat perhatian adalah mengenai kewajiban untuk memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan dimana masyarakat pesisirpun dituntut untuk memiliki izin-izin tersebut. Tentu keadaan ini meresahkan masyarakat pesisir yang notabenenya masih belum melek akan hukum dan belum paham proses pengurusan izin terdiskriminasikan dan terhambat, akibatnya banyak dari masyarakat pesisir yang akan melakukan pelanggaran hukum demi mengelola laut.
Keaadaan-keadaan sebagaimana yang dipaparkan diatas perlulah untuk segera di atasi melalui pendekatan yang lebih responsif dan menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak secara berkeadilan dan berkepastian, maka perlulah untuk mengkaji persoalan tersebut dari sudut pandang kaidah fiqh Adz-Dzariah (Sad adz- dzariyah dan Fath Adz-Dzariah). Terkait dengan penggunaan kata Adz-Dzari’ah dalam metode penetapan hukum Islam, Wahbah Zuhaili menjelaskannya dalam dua bentuk (Sad Adz-Dzari’ah dan Fath Adz-Dzari’ah), dikarenakan apabila dikatikan dengan cakupan pembahasan dalam aspek hukum syari’ah, maka kata Adz-Dzari’ah itu sendiri terbagi dalam dua kategori yaitu:
1. Ketidakbolehan untuk menggunakan sarana tersebut, dikarenakan akan mengarah pada kerusakan, dengan jalan menutup akses kepada keburukan tersebut(Sad Adz-Dzariah),
2. Kebolehan untuk menggunakan dan mengambil sarana tersebut dikarenakan akan mengarah pada kebaikan, dengan jalan membuka akses selebar-lebarnya kepada kebaikan.
Sad Adz-Dzari’ah merupakan sebuah metode yang bersifat preventif dalam rangka menjaga kemungkinan-kemungkinan buruk serta agar tidak terjadi hal-hal yang berdampak negatif, ini bukan berarti sebagai sebuah upaya pengekangan, akan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan [6]. Jika dikaitkan dengan permasalahan ini, maka yang terlebih dahulu diperhatikan adalah upaya untuk mencegah terjadinya pemanfaatan secara berlebihan ruang pesisir dan laut oleh kegiatan industri guna mencegah terjadinya pencemaran, eksploitasi dan degradasi kualitas lingkungan hidup secara berlebihan. Sedangkan Fath Adz-Dzari’ah adalah sebuah metode hasil yang bermakna sarana, alat dan atau wasilah itu wajib untuk dimunculkan dan dipakai apabila hasil dari suatu perbuatan yang menggunakan sarana, alat dan atau wasilah tersebut menghasilkan kemaslahatan dan kebaikan, maka jika dihubungkan dengan persoalan RZWP3K maka putusan hukum yang ada (Putusan MK No 3 Tahun 2010) untuk ditaati oleh para stakeholder yang ada (pemerintah pusat dan daerah, pebisnis, serta masyarakat pesisir) dan esensi dari tujuan pembentukan Undang-Undang yaitu untuk yaitu untuk merehabilitasi, mengkonvensi dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan dapat terealisasikan [7].
Dengan demikian dapatlah dikonstruksikan sebuah solusi guna merelisasikan tujuan awal rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mana solusi ini dilandasi dari pemikiran Kajian Ushul Fiqh Adz-Dzariah, yaitu :
a. Perencanaan Pelaksanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis nilai transendental
Perencanaan program menjadi penting, karena dapat dijadikan arah untuk pelaksanaan (implementasi) program. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 1 Tahun 2014 “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”
Perencanaan berbasis nilai transendental dapat dimaknai sebagai suatu upaya permulaan pelaksanaan program dengan nilai transendental sebagai pedoman. Hal ini akan membuat masyarakat pesisir dapat memanfaatkan hasil laut secara optimal dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan, menumbuhkan sinergitas antara pemerintah dengan masyarakat yang dipimpinnya sehingga dapat berjalan dengan harmonis,sehingga akan tercipta pelaksanaan zonasi wilayah yang berpatokan pada kejujuran, keadilan dan kemanunggalan.
b. I nstrumen Etika Moral Sebagai Prinsip Pelaksanaan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
Etika identik dengan moral, dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup [8], sedangkan etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak [9]. Dengan definisi tersebut dapat digambarkan bahwasannya etika bisa diwujudkan dalam bentuk aturan yang berdasar pada prinsip-prinsip moral, berperan sebagai acuan dalam menghakimi tindakan yang menyimpang. jika kita mengamati secara seksama kebijakan RZWP3K ini, maka akan nampak kekurangan dalam minimnya kepatuhan stakeholder terkait terhadap putusan dan aturan hukum yang ada, belum terinternalisasinya pemahaman masyarakat pesisir sebagai unsur utama yang perlu disejahterakan dan juga tujuan dari adanya RZWP3K yang belum sepenuhnya direalisasikan, dengan demikian, maka perlulah adanya penghayatan terhadap Etika dan moralitas. jika di hubungkan dengan problematika RZW3P sekarang ini etika mempunyai fungsi yaitu memberikan orientasi tentang melakukan kebijakan sesuai dengan hal-hal yang dianggap benar, perlu mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, serta harus memperhatikan norma-norma etis pada hukum yang berlaku.
c. Pengoptimalan Forum Masyarakat Sebagai Media Public Hearing Dalam Penyusunan Kebijakan Yang Berkerakyatan
Menurut KBBI forum adalah lembaga atau badan atau wadah untuk membicarakan suatu kepentingan secara bersama, forum masyarakat dalam tataran perumusan kebijakan menjadi sangat sentral, hal ini dikarenakan keberadaan forum menjadi jembatan informasi pemerintah kepada publik dan menjadi media utama masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya kepada wakil rakyatnya. Untuk mengoptimalkan forum masyarakat maka perlu melibatkan peran masyarakat secara aktif, dengan memberikan mereka kewenangan yang sesuai, yaitu :
a. Penyampaian usulan, saran, masukan dalam proses penyusunan kebijakan RZWP3K
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan Kebijakan RZWP3K
c. Pelaporan terhadap pelaksanaan RZWP3K yang tidak sesuai dengan hukum dan atau aturan yang berlaku.
Simpulan
Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diimplementasikan dalam wujud peraturan hukum oleh pemerintah belumlah sepenuhnya membrikan dampak positif bagi kesejahteraan hidup masyarakat, adanya kebijakan inijustru mendorong dunia industri untuk memasifkan aktivitasnya dala pengeksplorasian sumber daya kelautanyang berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan hidup dan terkesampingkan hak masyarakat pesisir sebagai actor utama dalam pengelolaan kelautan. Untuk mengatasi adanya dampak negatif kebijakan tersebut maka perlulah disusun langkah solutif guna menekan dampak tersebut, sehingga tujuan utama dari kelahiran kebijakan itu dapat benar-benar terwujud.
References
- A. Pramudya, "Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi," Thesis, Undergraduate Program, Universitas Diponegoro, 2008.
- C. Birawa and R. M. Sukarna, "Zonasi Ekowisata Kawasan Konservasi Pesisir di Kecamatan KatingKuala, Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah Ekologi Bentang Lahan," J. Ilmu Kehutanan, vol. 10, no. 1, pp. 1-10, Jan.-Mar. 2016.
- M. Fajar and Y. Ahmad, "Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris," Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
- M. Ambari, "Ruang Hidup Masyarakat Pesisir Dirampas oleh Perda RZWP3K?" [Online]. Available: https://www.mongabay.co.id/2019/05/01/ruang-hidup-masyarakat-pesisir-dirampas-oleh-perda-rzwp3k/. [Accessed: 18-Sep-2019].
- M. Ambari, "Peraturan Zonasi Pesisir Hadir untuk Pinggirkan Masyarakat Pesisir," [Online]. Available: https://www.mongabay.co.id/2019/07/05/peraturan-zonasi-pesisir-hadir-untuk-pinggirkan-masyarakat-pesisir/. [Accessed: 18-Sep-2019].
- M. Ambari, "Pemprov Jateng Langgar Undang-Undang dalam Pembahasan Zonasi Pesisir?" [Online]. Available: https://www.mongabay.co.id/2018/03/16/pemprov-jateng-langgar-undang-undang-dalam-pembahasan-zonasi-pesisir/. [Accessed: 17-Sep-2019].
- N. Baroroh, "Metamorfosis Illat Hukum dalam Sad Adz-Dzariyah dan Fath Adz-Dzariyah," [Online]. Available: http://ejournal.uinsuka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1426/1233. [Accessed: 16-Sep-2019].
- S. Hudiarini, "Penyertaan Etika Bagi Masyarakat Akademik Di Kalangan Dunia Pendidikan Tinggi," J. Moral Kemasyarakatan, vol. 2, no. 1, June 2017.
- V. Rivai et al., "Islamic Business and Economic Ethics," Jakarta: Bumi Aksara, 2012.